Mohon tunggu...
Shinta Rahayu
Shinta Rahayu Mohon Tunggu... -

Dokter Klinik Kirana

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kualitas Pendidikan Dokter di Indonesia, Sebuah Tantangan

24 Juni 2014   17:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:19 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kualitas Pendidikan Dokter di Indonesia, Sebuah Tantangan

Harian Media Indonesia melalui sebuah artikelnya yang terbit pada hari Selasa 17 Juni 2014, memunculkan berita yang mengejutkan dan patut mendapatkan perhatian kita semua.Berita itu menyebutkan bahwa “ Mayoritas Fakultas Kedokteran Buruk”Dipaparkan bahwa menurut Kolegium Dokter Primer Indonesia ( KPDI ), mayoritas kualitas Fakultas Kedokteran ( FK ) di Indonesia masih dibawah standar.Dari 73 Fakultas Kedokteran Negeri dan swasta, hanya 15 yang terakreditasi A oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi ( BAN-PT ) Kemendikbud.Sisanya masih memiliki mutu kurang baik atau terakreditasi C dan bahkan belum terakreditasi.Buruknya mutu Fakultas berdampak pada dihasilkannya lulusan calon dokter yang tak berkualitas, hal ini disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia ( PB IDI ) Zaenal Abidin.Gambaran buruknya mutu lulusan dapat dilihat dari hasil pelaksanann Uji Kompetensi Dokter Indonesia ( UKDI ) oleh organisasi profesi kedokteran ( Kolegium ) yang berkoordinasi dengan IDI.Banyak dokter yang ikut UKDI tidak lulus dan mengulang berkali-kali ( retaker ). “ ada yang mengulang 3 kali, 5 kali bahkan 20 kali,” ujar Zaenal Abidin.Padahal uji kompetensi oleh Kolegium adalah syarat bagi lulusan dokter untuk mendapatkan surat tanda registrasi ( STR ), sebagai syarat memperoleh Surat Ijin Praktik ( SIP ).

Di tengah perkembangan dunia medis yang semakin pesat serta lajunya arus globalisasi dan pasar bebas yang memungkinkan masuknya dokter-dokter asing ke Indonesia, juga tuntutan masyarakat saat ini, mendambakan pelayanan kesehatan yang prima dan memuaskan.Kemampuan profesionalitas dokter baik teknis, komunikasi, hubungan personal dan etika tentu dituntut semakin baik dan mumpuni.Masyarakat Indonesia semakin pintar dan kritis akan pelayanan kesehatan yang diharapkannya, dan ini tentu menjadi tanggung jawab dokter untuk bisa memberikan apa yang diingini masyarakat atas pelayanan kesehatan.Maka, kualitas seorang dokter sangatlah penting dan menjadi tuntutan saat ini, tidak saja kemampuan profesionalnya tetapi juga semua yang mendukung profesinya sebagai pelayan masyarakat di bidang kesehatan.

Dari berita diatas paling tidak dapat memberikan gambaran bagaimana kondisi sentra-sentra pendidikan dokter Indonesia saat ini.Setidaknya ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian dari kondisi pendidikan dokter di Indonesia, yang menurut saya berpengaruh terhadap kondisi Fakultas Kedokteran di Indonesia.yaitu :

1.Pendidikan dokter di Indonesia “ Mahal

Betapa mahalnya biaya pendidikan untuk menjadi seorang dokter saat ini, bukan merupakan isapan jempol, namun betul-betul sebuah realita.Seorang calon mahasiswa kedokteran baik negeri maupun swasta mesti mempersiapkan biaya tidak kurang dari 100 juta rupiah, itu diluar SPP dan biaya-biaya lainnya ( laboratorium, buku-buku, kegiatan dll ).Belum lagi bila akan melanjutkan ke tingkatan dokter spesialis dimana biaya pun lebih menggila lagi, bisa mencapai milyaran rupiah, bisa jadi pendidikan dokter sudah menjadi sebuah komoditi. Seringkali terjadi seorang anak lulusan SMA yang pandai dan berkualitas dan ingin menjadi dokter,dari segi niat ia mulia karena dia jadi dokter ingin menolong sesama, tapi apa daya karena orang tua mereka hanya kaum proteral, bukan kaum borjuis, orang tua mereka hanya Pegawai Negeri Sipil golongan III bukan eselon, orang tua merekacleaning servicerumah sakit bukan direktur rumah sakit, mereka harus menyerah pada takdir cita-citanya gugur di tengah jalan lantaran orang tuanya tak mampu membayar biayanya!

Maka tidaklah mustahil bila Fakultas Kedokteran yang ada saat ini dipenuhi oleh mereka yang berkantong tebal, meski tidak pandai ( bahkan ada yang SMAnya jurusan IPS….! ) merekalah yang nantinya menunggu waktu untuk menjadi seorang dokter. Semakin banyak animo masyarakat yang masuk sekolah kedokteran dan terbatasnya kursi, maka jika kita lihat menurut prinsip ekonomi akan menguntungkan pihak penyelenggara pendidikan, dan pihak penyelenggara bisa memasang tarif se-fantastis mungkin!

Saya kadang berfikir “ apa sih yang membuat masuk sekolah kedokteran itu mahal ? “jika saya amati dan bahkan merasakan sendiri sistem pendidikan kedokteran di lapangan, secara umum tidak berbeda dengan kuliah-kuliah pada jurusan lain.Dosen mengajar di depan mahasiswa, dan mahasiswa mendengarkan di depan dosen, ditambah praktikum, praktek kerja lapangan dan lain sebagainya.

Dalam falsafah jawa ada filosofi “ bibit, bobot, bebet,” apabila bibit yang masuk sudah tidak berkualitas / tidak berbobot ( hanya modal kemampuan financial yang ok ) maka apalah yang diharapkan nanti dari lulusannya..? Dapatkah terlahir kembali mereka-mereka yang berpikiran seperti dr. Soetomo, dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Wahidin Sudirohusodo?....

2.Kurikulum

Pendidikan dokter di Indonesia memakan waktu lama. Hal ini tentu bukan semata-mata kabar burung,realita yang terjadi memang demikian adanya.Setelah tamat diinstitusi pendidikannya yakni fakultas kedokteran,  harus mengikuti uji kompetensi.  Sampai saat ini banyak dokter baru yang harus antri untuk bisa uji kompetensi.  Setelah lulus uji kompetensi,  dokter harus  magang ( Internship) di rumah sakit selama satu tahun. Selesai magang dirumah sakit  baru STRnya dikeluarkan.  Namun dokter  yang telah punya STR masih belum bisa mandiri karena harus mengikuti pendidikan dokter layanan primer selama dua tahun.  Kalau sebelumnya untuk jadi dokter, butuh waktu 6 tahun, yakni 4 tahun pendidikan S.Ked dan 2 tahun profesi, namun dengan adanya program baru ini seseorang untuk bisa jadi dokter mandiri setelah mengikuti pendidikan selama 8-9 tahun.

Bila dibandingkan dengan pendidikan dokter di luar negeri rata-rata tidak kurang dari 5 ( lima ) tahun dapat lulus sebagai dokter.Tidak heran jika di luar negeri seperti Singapura, Tiongkok dll kita dapat temui seorang professor ( dari bidang kedokteran ) yang berumur relative muda ( 25 – 30 ) sementara pada umur-umur tersebut mahasiswa kedokteran masih berjuang untuk menyelesaikan tahap pre klinik atau mungkin dokter mudanya ( co Ass ).Di Luar negeri mereka yang masuk Fakultas Kedokteran, sudah sejak awal diberikan matakuliah yang memang merupakan fak / intinya.Dengan demikian bisa memperpendek waktu pendidikan.

3.Mudahnya Mendirikan Fakultas Kedokteran

Saat ini sejumlah 73 sentra pendidikan dokter baik negeri maupun swasta ada di Indonesia, bahkan beberapa universitas sudah mengajukan diri untuk mendirikan Fakultas Kedokteran. (FK). Pendirian FK yang bak jamur di musim hujan salah satu penyebabnya adalah efek domino dari tingginya minat dan adanya keleluasaan untuk mematok biaya pendidikan yang fantastis, sehingga bisa jadi merupakan komoditi bisnis tersendiri.Sah-sah saja mendirikan FK namun mesti dilihat kemampuan suatu perguruan tinggi dengan baik, dengan menerapkan standar-standar yang baku pula.Mendirikan sebuah FK bukan sekadar masalah ketersediaan gedung semata, tapi lebih dari itu mesti dilihat sumber daya pengajar yang kompeten, sarana laboratorium yang lengkap, penelitian, Rumah Sakit pendidikannya dll.Serta harus dipantau secara kontinyu berdasarkan akreditasi, yang kualifikasi akreditasinya.

Ketiga hal tersebut agaknya menjadi PR baik bagi pemerintah sebagai pengatur regulasi maupun bagi sentra-sentra pendidikan dokter, juga kolegium dan IDI.Fakultas Kedokteran hanyalah suatu badan dimana didalamnya terdapat sistem dan sumberdaya. Tugas besar bagi semua yang terlibat dalam pendidikan kedokteran, bagaimana bisa institusi pendidikan dokter menghasilkan dokter yang memiliki kompetensi sesuai standar kebutuhan pasar. Meyingkirkan atau paling tidak meminimalisir hal-hal negatif yang mendampingi pendidikan kedokteran selama ini. Jangan  lagi menambah masalah dengan begitu mudahnya mengeluarkan ijin untuk mendirikan institusi pencetak dokter sehingga menghasilkan institusi abal-abal yang justru akan menyulitkan kedepannya. Jangan menjadikan FK menjadi institusi pencetak uang, karena institusi itu adalah pencetak dokter..

Tentu kita berharap agar nantinya tercipta tenaga dokter yang betul-betul berkualitas, betul-betul berhati mulia ingin menolong sesama, tanpa dipengaruhi oleh pemikiran bisnis, “return of investment’ ( balik modal ).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun