Mohon tunggu...
Shinta Nur Kholila
Shinta Nur Kholila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswi BIASA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penjaga Alarm

2 April 2017   21:57 Diperbarui: 4 April 2017   15:18 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tangisan “Alarm” Sakit

Kami dikaruniai seorang anak pertama, laki-laki yang lahir secara normal, meski saat hamil banyak masalah yang menghampiri dan diharuskan “bed rest”. Memiliki tumbuh kembang yang baik.

            Masalah muncul ketika anakku berumur 5 bulan. Setiap saat selalu menangis. Kami mengerti bahwa menangis adalah hal yang wajar untuk bayi. Kami tidak berfikiran apapun saat itu. “ Di rumah sering digendong ya?” . Pertanyaan seperti itu selalu terulang ketika orang lain mengetahui tangisan anakku yang diam ketika digendong. “Iya ini cucu pertama. Mbahnya selalu menggendongnya”. Aku menjawab apa adanya. Karena aku yang memiliki tanggung jawab untuk kembali mengajar di salah satu sekolah, maka anakku kubawa dan kutitipkan di TPA (Taman Penitipan Anak) milik Yayasan. Pengasuh selalu bilang kerepotan mengurus anak laki-lakiku ini. Dia selalu menangis minum susu sedikit. TPA memiliki prinsip untuk tidak selalu sering menggendong anak. Alhasil, anakku selalu menangis. Jejeritan. Tidur tidak pernah nyenyak, ketika kaget dia selalu terbangun. Dan masih dibarengi dengan tangisan.

“Tangisan itu bisa jadi alarm bagi orang tua. Mungkin ada bagian yang dikeluhkan Sang Bayi”. Kata-kata tersebut yang kemudian membawaku untuk tersadar dari masalah tangisan yang tak biasa ini. Segera kubawa anak laki-lakiku ini ke sebuah rumah sakit khusus ibu dan anak. Kami menemui dokter spesialis khusus ibu dan anak. Dan kami menemui dokter spesialis anak. Ketika diperiksa, ternyata anakku mengalami suatu penyakit. Infeksi saluran kencing. Hatiku tiba-tiba lega bercampur sedih. Kami sebagai orangtua merasa terlambat mengetahui “alarm” dari anak laki-lakiku. Mendengar diagnose dokter, kami benar-benar bingung, tidak nafsu makan, lemas, seakan tersambar petir disiang bolong. saat itu juga dokter menawarkan untuk segera dioperasi dan sekalian khitan. Dengan biaya yang lumayan mahal, kami juga bingung dengan masalah biaya. Kami tidak memiliki tabungan cukup untuk masalah ini. Maka aku putuskan untuk pindah dokter. Alhamdulillah… kami menemukan dokter yang mampu mengatasi masalah ini dengan biaya yang cukup terjangkau.

Anak kami bersiap melakukan operasi. Tusukan jarum infuse beberapa kali membuat anak kami menangis. Kami tidak tega melihatnya seperti ini. Aku meneteskan air mata saat menemani disebelahnya. Tapi kami sebagai orang tua selalu yakin, Allah tidak akan membebani umatnya melebihi kemampuan. Setelah beberapa saat kami menunggu dan meninggalkannya di luar ruangan, dengan hati yang pasti sangat cemas akan keadaannya didalam. Maka operasi dan khgitan pun selesai. Kami lega bersyukur, penyebab tangisannya sudah terangkat.

Setelah kurang lebih seminggu di rumah sakit, kami diperbolehkan untuk pulang. Saluran kencing yang baru saja dioperasi hanya ditutupi oleh kain, kasa, atau dibiarkan terbuka. Hampir setiap hari aku mengganti sprei kasur karena cipratan saat dia buang air kecil. Tidak apa. Ini tidak seberapa berat disbanding aku harus melihat anakku kesakitan.

Setelah mendapati kejadian seperti itu. Aku selalu mencemaskan keadaannya yang tiba-tiba panas atau selalu rewel. Kami khawatir akan datangnya penyakit yang tidak kami ketahui, tiba-tiba sudah parah. Karena alas an waspada, terkadang panas yang tiba-tiba datang, kami tak segan untuk langsung membawanya ke dokter. Tidak cukup satu dokter. Kami membandingkan diagnose dokter hingga tes darah. Tetapi ‘mind set’ harus tetap positif. Kami selaluberusaha menanamkan pikiran bahawa “Anak Kami Sehat”.

Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005:28) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Dilihat dari pendekatan belajar pengertian kecemasan adalah suatu respons ketakutan yang terkondisi secara klasik dan gangguan-gangguan kecemasan terjadi bila respons ketakutan itu diasosiasikan dengan suatu stimulus yang seharusnya tidak menimbulkan kecemasan.

Seorang ibu mungkin saja tingkat kecemasannya sangat tinggi dan berlebihan, bagaimana tidak ketika sang buah hati jatuh sakit dan harus menjalani operasi. Saat ibu mengalami tingkat kecemasan yang sangat berlebihan, maka itu akan menyebabkan rasa emosional terganggu. Bisa saja tingkat kecemasan yang berlebihan dapat menjadikan ibu semakin stress yang dapat memicu hal yang tidak terduga.

Adapun yang bisa dilakukan orang tua untuk menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan stress, yaitu :

  • Berdo’alah kepada Allah dan berseralah diri kepada-Nya dengan melakukan sholat tahajjud.
  • Tontolah acara televisi yang menyenangkan.
  • Berkumpullah bersama kerabat anda.
  • Lakukan hal yang dapat membuat hati anda senang dan gembira.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun