Mohon tunggu...
Shinta Okky Indriyani
Shinta Okky Indriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Write for Justice

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Polemik Penetapan Hukuman Mati dalam Konstitusi Indonesia

23 Mei 2024   10:00 Diperbarui: 23 Mei 2024   10:06 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara hukum yang menjadikan hukuman mati masih menjadi salah satu hukuman yang diakui. Berdasarkan  ketentuan  pada  pasal  10  dan  11  KUHP  diketahui  bahwa  ketentuan  umum  yang mengatur pidana mati terdapat dalam dua pasal yakni Pasal 10 dan Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila dilihat dari konsepsi yang ada di Indonesia, peraturan pembatasan HAM yang dimiliki konstitusi menjadi landasan tetap diterapkannya hukuman mati di Indonesia. Hukuman mati diterapkan saat dirasa hukuman-hukuman pidana lainnya tidak mencukupi. Dalam pengertian lain, hukuman mati merupakan hukuman yang dijatuhkan pada pelanggaran-pelanggaran yang sudah termasuk dalam kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime (Heltaji, 2021:162). Hukuman mati ini bersifat final dan tidak dapat diubah serta mencabut seluruh hak yang melekat dalam diri terpidana yang dijatuhi hukuman ini.

Hukuman mati dianggap terlalu ekstrim dilakukan karena seolah-olah adanya seseorang yang menggantikan peran Tuhan untuk mengambil hak seseorang yang lain untuk hidup dan melanggar Pasal 3 Declaration Universal of Human Right (DUHAM). Namun, adapun pihak yang menganggap bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang paling pamungkas untuk menciptakan rasa jera dan menjamin hak asasi korban yang dilanggar haknya. Hal ini ditambah dengan banyak negara-negara internasional yang telah menghapus hukuman mati ini dari konstitusi mereka. Hukuman mati masih menjadi perdebatan yang cukup kompleks hingga saat ini. Hingga tercipta dua kubu, yaitu kubu yang mendukung hukuman mati (retensionis) dan kubu yang menentang hukuman mati (abolisionis). Kedua kubu tersebut memiliki titik anjak argumennya masing-masing mengenai hukuman mati ini.

Pihak abolisionis bertolak dari beberapa alasan berikut untuk menentang hukuman mati yang ada di Indonesia, hukuman mati dianggap tidak menimbulkan efek jera pada pelaku kejahatan yang termasuk dalam extra ordinary crime; hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang paling fundamental yaitu hak untuk hidup; hukuman mati bertentangan dengan nilai demokrasi; dikhawatirkan hukuman mati ini dijadikan sebagai alat untuk balas dendam politik; dan sering kali hukuman mati dijatuhkan pada orang yang tidak bersalah. Namun, pihak retensionis juga memiliki alasan-alasan tersendiri mengapa mereka mendukung hukuman mati sebagai berikut, hukuman mati adalah metode represif bagi pemerintah; hukuman mati dianggap memberikan kepastian bahwa terpidana tidak akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya; hukuman mati dijadikan dasar seleksi buatan oleh manusia, agar manusia lain dapat terjaga dan menciptakan ketertiban umum; pelaksanaan hukuman mati dihadapkan di muka umum agar masyarakat lain melihat proses eksekusi tersebut dan menjadi alat untuk mencegah orang lain melakukan hal yang serupa; dengan dasar hukuman mati dapat menjadi alat represif yang optimal, maka kelompok retensionis merasa ketertiban umum akan tercapai (Pane, 2019:39-40).

Akan tetapi dari banyaknya alasan pihak abolisionis menentang hukuman mati yang telah dijelaskan ada satu pendapat yang belum dapat diterima. Pihak berpendapat bahwa hak untuk hidup adalah yang paling fundamental yang melekat dalam diri masing-masing manusia sehingga keberadaannya tidak dapat diintervensi oleh manusia lainnya (Agustinus, 2016:03). Namun, pihak retensionis menyanggah pendapat tersebut dengan kemudian siapa yang akan menjamin hak hidup puluhan bahkan ratusan orang-orang yang mati akibat aktivitas teroris yang dilakukan oleh sekelompok orang? apakah dengan pidana penjara seumur hidup saja dapat menjamin tidak akan ada lagi pelanggaran terorisme yang lain? bagaimana cara atau alternatif hukuman yang lebih pamungkas dibandingkan dengan hukuman mati untuk extra ordinary crime seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Langkah alternatif yang akan diambil untuk menggantikan hukuman pidana mati juga harus dipikirkan apabila menghadapi masalah yang krusial. Sehingga polemik yang terus terjadi tidak hanya sekedar ketegangan yang terjadi diantara kubu tersebut namun juga menghasilkan sebuah jalan keluar yang dapat diterapkan kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun