Dear anak-anakku Nesia, Bening dan Cinta,
Ketika engkau masing-masing membuka dan membaca surat ini, kalian sedang membumbung di angkasa menikmati perjalanan malam menuju ufuk timur. Setelah perjuangan berbulan-bulan membentuk suara kalian menjadi padu dan nikmat di dengar, kalian kini siap menikmati bagian terbaik dari sebuah persiapan panjang yang melelahkan, yaitu merayakan pesta yang sesungguhnya! Lupakan saat-saat kalian terpaksa kurang istirahat siang karena harus berlatih intensif, dan ditegur karena lupa menyimpan teks lagu dengan rapi atau sulit menghapalkan nada dan lirik lagu, dan bangun pagi buta untuk menyiapkan masakan yang dijual membantu penggalangan dana. Tahanlah napas sebentar untuk mengatur degup jantung yang dipenuhi ya kalian akan mengalami 5 hari yang menyenangkan! Berkumpul bersama sekitar tujuh ribuan teman baru, anak, remaja, pemuda dan kaum dewasa yang datang dari berbagai tempat di Indonesia, di Pulau Ambon!
Ibu merasakan keharuan di dada dan mata yang hangat, saat membayangkan bahwa akhirnya kalian, anak-anak ibu yang dulu bayi dan sering ibu tinggal saat bertugas di tempat-tempat pengungsian, salah satunya di Ambon tempat lebih dari 500,000 orang mengungsi (1)selama lebih dari tujuh tahun dan diperkirakan hampir 10,000 orang meninggal karena konflik sectarian berkepanjangan sejak 1999 (2) , akan melihat sendiri pulau yang begitu permai. Ibu selalu punya keinginan bahwa suatu hari kalian akan melihat sendiri tempat-tempat bencana yang pernah ibu kunjungi dan kita akan berbagi kebanggaan yang sama sebagai pewaris negeri elok di khatulistiwa ini, tetapi dengan cerita yang berbeda.
Ketika ibu pertama kali menginjakkan kaki di Ambon 16 tahun lalu, negeri itu dikoyak-koyak kekerasan yang mengerikan, saudara sedarah yang saling mengasihi tak disangka dapat saling membunuh karena alasan perbedaan agama, suatu kebencian yang tampaknya mulia tapi sejatinya sangat menjijikkan. Banyak teori dan alasan yang dikemukakan untuk menjelaskan penyebab konflik yang memakan korban orang-orang tak berdosa itu, mulai dari teori konspirasi, ketidakdilan dan kemiskinan, relasi pendatang dan penduduk asli dan seterusnya tetapi tetap saja fakta yang terlihat di depan mata saat itu adalah orang saling merusak dan membunuh karena dibakar amarah oleh isu perbedaan agama.
Setua bumi ini, kelak kau akan belajar bahwa warna kulit, golongan, keadaan fisik, pilihan agama, status sosial dan seterusnya sering menjadi alasan manusia untukmenghakimi orang lain karena perbedaan adalah hal yang masih sulit dilihat sebagai kekayaan, sebaliknya dianggap sebagai jurang pemisah yang potensial menimbulkan konflik dan kekerasan. Konflik Ambon adalah respon bencana dimana ibu terlibat langsung, dan saat itu ibu tidak dapat tidur selama satu minggu pertama karena begitu tertekan melihat penderitaan perempuan lelaki, anak dan lansia, Muslim dan Nasrani yang terpaksa tinggal di barak pengungsian yang sangat tidak layak sementara suara tembakan dan teriakan permusuhan terdengar sayup-sayup di kejauhan. Kekerasan dan pengungsian bertahun-tahun setelah 1999 terbukti berdampak dan memunculkan masalah-masalah baru dalam masyarakat, dalam keluarga dan dalam individu…sedih ibu mengingatnya, tak hendak ibu larut menulisnya.
Tetapi berbeda dengan 16 tahun lalu, esok pagi kalian akan mendarat di pulau ini untuk merasakan sukacita dan indahnya persaudaraan yang melampaui sekat-sekat sektarian. Cerita kontingen Yogyakarta kelompok dewasa yang berangkat satu hari lebih dahulu daripada kalian, yang begitu terharu disambut dengan meriah oleh saudara-saudara Muslim di Ambon tentu sudah kalian lihat di grup whatsapp bukan?
Jika kalian simak dengan cermat, 28 lagu yang disiapkan untuk Pesta Paduan Suara Gerejawi Nasional ke-11 ini semuanya menyeru pada 1 tema gempita : Kasih dan Damai! Ya negeri elokmu ini terlalu raya dan megah untuk dikerdilkan dalam perbedaan dan konflik sectarian tak berguna. Masakan cita-cita besar pendiri bangsa ini untuk bersatu meraih kesejahteraan adil dan merata di atas perbedaan harus surut dan hancur? Ingat informasi bapak ketua majelis saat ibadah pelepasan kontigen Minggu lalu di GKJ Gondokusuman, bahwa tiga tahun sebelumnya perhelatan akbar Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) nasional ke-24 dilaksanakan juga di Pulau Ambon dan panitia pelaksana di tingkat lokal tidak hanya melibatkan saudara-saudara Muslim tetapi juga pihak kristiani. Sehingga Pesparawi kali ini juga ‘sengaja’ diselenggarakan di Pulau Ambon dan melibatkan panitia dari berbagai kalangan termasuk Muslim untuk menyuburkan semangat kasih dan harapan damai yang sama.
Berbeda bukan halangan untuk hidup bersama. Bahkan dalam kerangka kerja pembangunan dunia yang baru saja disahkan Jumat 25 September lalu di Markas Besar PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) dan akan dilaksanakan oleh 193 negara anggota (3), perdamaian dan keadilan merupakan salah satu goal atau tujuan yang hendak dicapai oleh semua bangsa selama 15 tahun ke depan karena tanpa perdamaian yang berciuman dengan keadilan, mustahil 7 milyar umat manusia dapat hidup berkelanjutan di satu bumi yang sama . Ya perdamaian membutuhkan syarat mutlak yaitu keadilan dan pohon keadilan akar sejatinya adalah kasih, kita tidak dapat bersikap adil jika dalam diri dan sanubari kita tidak ada kasih yang memampukan kita berdamai dengan diri sendiri dan dengan sesama dan dengan alam semesta. Kegagalan dengan itu semua hanya berujung pada kekerasan pada diri, pada sesama dan pada alam, yang sejarahnya kelam dan berdarah-darah, bahkan sampai detik ini.
Sayup-sayup ibu seakan mendengar gumam lagu kalian, “Tuhan berfirman kepada kita berbahagialah kamu yang rukun/ Hidup bersama dengan sesama/ tidak memandang suku agama/ saling berbagi suka dan duka / itu yang wajib kamu pelihara/Tuhan curahkan hujan berkat jika kita hidup dengan rukun”