Mohon tunggu...
arshinta
arshinta Mohon Tunggu... -

perempuan dengan 3 anak, 1 suami dan mimpi sederhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keadilan dan Perdamaian: Realita Hari Ini dan Aksi Konkrit Kini dan Selanjutnya

1 November 2013   07:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:45 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia  ke-10

Busan 31 Oktober 2013,

Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia hari kedua ditandai dengan Pleno Awal dengan menghadirkan 3 pembicara utama yang membagikan realita mereka masing-masing untuk membantu peserta sidang menemukan relevansi tema besar Sidang Raya Gereja Sedunia ini yaitu Allah Kehidupan Tuntunlah kami dalam Keadilan dan Perdamaian dalam pergumulan sehari-hari.

Pembicara pertama Michel Sidebe menguraikan bahwa pertemuan Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia adalah tempat dan waktu yang tepat untuk mendorong perubahan dunia dan mencapai visi mengurangi penderitaan dan merayakan harapan dan martabat manusia. Sebagai direktur pelaksana UNAIDS (Upaya Bersama PBB untuk Program HIV/AIDS), Michel Sidebe mengakui banyak tantangan yang membuat dunia pesimis terhadap pengurangan dan pengobatan AIDS. Belitan resesi ekonomi dunia, meluasnya gerakan dan pemikiran konservatif di bidang sosial dan politik, kekerasan dan konflik di berbagai belahan dunia khususnya negara-negara Timur Tengah, dan perubahan iklim mengakibatkan akses terhadap layanan pengobatan HIV/AIDS mahal, perlakuan diskriminatif terhadap penderita HIV/AIDS berlanjut dan angka kematian ibu dan anak karena HIV/AIDS  tinggi sehingga secara umum kepercayaan masyarakat  terhadap pemerintahan negara dan kelembagaan menurun.  Tetapi pengalaman 30 tahun UNAIDS membuktikan bahwa pesimisme itu dapat dijawab. Strategi utama adalah leadership yang lebih sederhana (tidak birokratis), inklusif dan fokus pada kebutuhan manusia (people focused). UNAIDS melibatkan penderita HIV/AIDS dalam diskusi untuk menyusun kebijakan tentang penanganan HIV/AIDS. Mereka juga menjalin kemitraan dengan berbagai pihak terutama institusi keagamaan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik dalam upaya mengurangi diskriminasi dan stigmatisasi negative terhadap penderita HIV/AIDS. Selain itu upaya-upaya inovatif dengan memanfaatkan teknologi juga terus dilakukan. Hasilnya menunjukkan harapan yang menggembirakan. Pertumbuhan tingkat kejadian infeksi baru menurun. Semakin banyak orang memperoleh pengobatan HIV/AIDS dengan obat yang lebih murah. Tujuh negara di Benua Afrika dapat mengurangi infeksi HIV/AIDS pada anak-anak sampai 50% hanya dalam waktu 2 tahun. Kemitraan WHO dan WCC memungkinkan 160 institusi pendidikan teologia mendapatkan referensi tentang HIV/AIDS dan lebih dari 30,000 pendeta mendapatkan pelatihan tentang HIV/AIDS sehingga mereka juga menjadi agen perubahan dalam komunitas masing-masing. Pembelajaran lain UNAIDS adalah dialog terbuka dengan berbagai pihak untuk membahas isu sensitif seperti HIV/AIDS karena hanya dengan cara itulah maka kita dapat membangun pemahaman. Sidibe berharap orang dapat berpaling pada gereja untuk memperoleh pengertian dan dukungan. Kekuatan altar dapat mengubah kebekuan dan isolasi menjadi pelibatan (engagement), mengubah kata menjadi karya, mengubah stigma dan diskriminasi menjadi sambutan penyembuhan dan keberpihakan pada pihak rentan, dalam hal ini orang-orang yang menderita HIV/AIDS. Komunitas iman tidak hanya mengadvokasi dan menyerukan keadilan dan perdamaian tapi komunitas iman adalah pelayan sekaligus bukti bagi keadilan dan perdamaian.

Pembicara kedua adalah Dr Wedad Abbas Tawfik dari Gereja Koptik Orthodox Alexandria di Mesir Egypt yang mengawali refleksinya dengan mengingatkan peserta bahwa sejak awal kehadirannya di dunia, Keluarga Kudus (Yusuf Maria dan Yesus) sudah mengembara ke Mesir dan kekristenan awal di Mesir telah ditandai dengan tertumpahnya darah St Markus di kota Aleksandria dan hal itu berlanjut selama abad awal dimana ribuan orang Kristen mati dalam kekerasan dan perang.   Kebangkitan Arab Spring di akhir 2010 menumbuhkan ekspektasi di kawasan itu tetapi pada kenyataannya hal itu tidak membawa keadilan dan perdamaian. Bom yang menghantam Gereja Ak Qedissin di Aleksandria di Tahun Baru 2011 menimbulkan korban jiwa dan mendorong Mesir bersatu dan turun ke jalan menyerukan perdamaian. Umat Muslim berdiri memagari gereja melindungi umat Kristen melaksanakan ibadah Natal. Dr Wedad menjelaskan upaya-upaya dialog yang dilakukan oleh gereja baik ke luar dengan saudara-saudara Muslim  maupun ke dalam sehingga tahun lalu terbentuklah Egypt Council of Churches yang merupakan kolaborasi gereja-gereja untuk memperjuangkan transformasi masyarakat dimana martabat manusia dihargai  khususnya perlindungan terhadap kaum minoritas dan rentan.

Pembicara terakhir dalam Pleno Tematik ini adalah Bishop Duleep de Chickera dari Gereja Anglican Sri Lanka membagikan pandangannya berdasarkan pengalaman konflik di negerinya selama puluhan tahun. Beliau menekankan bahwa sejatinya keadilan dan perdamaian adalah karunia utuh, sempurna, cuma-cuma dan tak ternilai dari Tuhan pada manusia.  Tetapi di lain pihak upaya dan keterlibatan manusia diperlukan untuk mengembangkan keadilan dan perdamaian. Perjalanan dan ajaran Yesus sepanjang hidupnya meyakinkan Bishop Chickera bahwa Teologi Korban (Victim Theology) adalah inti dari pikiran dan hati Yesus. Namun luka dan penderitaan yang ditimbulkan oleh konflik dan perang di Sri Lanka khususnya dan realita dunia yang kejam secara umum menunjukkan bahwa keberpihakan pada yang lemah dan tertindas (baca: korban) bukanlah prioritas utama bagi dunia, dan justeru fakta itulah yang melegitimasi betapa pentingya tema sidang raya Dewan Gereja Sedunia saat ini. Jika Yesus adalah tuan rumah dari perayaan dan pernyataan iman kita, maka Teologi Korban tidak boleh tidak harus menjadi kerangka berpikir, kerangka diskusi dan kerangka aksi kita setiap hari dan bukan hanya setiap tujuh tahun sekali atau tujuh kali dalam tujuh tahun.

Penekanan dari Bishop Chickera di atas diperjelas saat Mélisande Schifter, teolog muda dari Jerman berdarah Thailand memandu sesi tanya jawab dengan memohon pentingnya berbagai pihak melibatkan kaum muda dalam semua diskusi dan aksi gereja dalam konteks masing-masing karena kaum muda mempunyai banyak passion dan potensi yang sangat berguna dalam menerjemahkan keadilan dan perdamaian dalam konteks hari ini dan masa depan.  Melisa yang tampil cerdas menawan dalam balutan baju hitam meyakinkan peserta sidang kecintaan dan percayanya pada kekuatan gerakan oikumene dan bahwa banyak kaum muda Kristiani sama seperti dia yang juga memiliki harapan besar akan peran gereja asal dibarengi dengan aksi nyata bagi keutuhan semua ciptaan.

Pleno Tematis yang dibuka oleh  Perdana Menteri Korea, Mr Chung Hongwon ini diakhiri dengan antusiasme yang besar dari ribuan peserta sidang setelah mendengarkan presentasi dan diskusi di atas. Besar harapan bahwa puluhan percakapan oikumene (ecumenical conversation), puluhan workshop, ratusan side event dan pameran serta 4 Pleno Tematis di hari-hari selanjutnya akan menjadi perjalanan ziarah bersama untuk menerjemahkan keadilan dan perdamaian dalam konteks masing-masing peserta dan menguatkan mereka mengartikulasikannya dalam aksi kini dan esok (Arshinta 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun