Â
Seperti biasa setiap libur lebaran, hari-hari dipenuhi dengan janjian reuni dan syawalan. Apalagi untuk orang-orang yang tinggal di kota asal seperti saya. Seakan ada rasa wajib untuk mengiyakan undangan-undangan tersebut karena kami penjaga pintu pulang. Ada reuni dengan teman kuliah, teman SMA, teman SMP bahkan ada juga reuni TK. Bagi saya hal itu sulit dibayangkan karena saya tak lagi mengingat teman-teman TK saya apalagi di usia melewati kepala 4. Walaupun belum ada penelitian mengenai ini, tapi tingkat reuni agaknya meningkat seiring dengan penemuan aplikasi komunikasi berbasis smartphone seperti BBM, Facebook, WhatsAp, Line dst. Smartphone berbunyi tak henti dengan pesan masuk membahas waktu dan tempat. Jadi suara mercon bukan lagi bunyi dominan yang meningkahi suasana lebaran sekarang. Apalagi untuk saya yang menyaksikan banyak teman menjadi orang penting dengan seabreg kegiatan, sulit sekali menemukan waktu yang memungkinkan semua orang hadir dan bergembira. Suami saya bahkan sedikit senewen dan memilih opsi mute agar bunyi pesan Whatsapp di telepon genggamnya tidak terlalu menggelitik telinga setiap waktu. Selain reuni dengan teman sekolah, ada juga rentetan janjian syawalan dengan trah atau keluarga besar ayah dari ayah, keluarga besar ibu dari ayah, ibu dari ibu dan bapak dari ibu, mertua dst. Belum lagi syawalan kampong dan kantor. Sungguh-sungguh sebuah perayaan yang saya hargai melampaui batas agama karena raya nya. Lebaran membuat kesempatan begitu lebar untuk bertemu dan melepas rindu, tapi sekaligus mendapatkan makna dan semangat baru dalam perjalanan hidup.
Â
Ya lebaran kali ini, saya sekali lagi diingatkan betapa banyak hal baik yang ada di hidup ini walau kehidupan secara umum tidak semakin mudah, malah mungkin sebaliknya. Syawalan dengan teman-teman kuliah di Fakultas Biologi Gadjah Mada tahun ini diadakan di tengah rumpun jati Pusat Studi Lingkungan Sanata Dharma yang terletak di Kota Yogyakarta tepatnya di sini http://pslusd.org/wp-content/uploads/2014/02/denah.jpg. Selain pohon jati dan aneka tanaman lain, Pusat Studi Lingkungan ini juga mempunyai koleksi lobster, ikan, dan….burung-burung yang saat ini masih dikategorikan langka seperti Burung Kakatua Kepala Raja! Di situ mereka terbang bebas di kandang raksasa guna ditangkarkan agar jumlahnya semakin banyak dan dengan demikian menekan keinginan orang untuk memperdagangankannya secara illegal. Rasanya seperti berada di surga langit ketujuh duduk di antara pohon jati dengan meminum kopi terbaik yang diseduh dari biji yang baru saja digiling dengan pandangan ke arah senja, pada sepetak sawah yang tersisa di sela perumahan padat dan mendengar suara burung riuh rendah. Apalagi sepelemparan batu dari Pusat Studi itu sedang dibangun mall terbesar di Jawa Tengah, sungguh sebuah oase teduh yang agak mustahil ada mengingat tingginya harga tanah di Yogyakarta belakangan ini. Rasa mustahil itu semakin menjadi –jadi saat mendengarkan Mas Wawan dan Mas Kristio dua teman kuliah saya yang bergiat di pusat studi lingkungan ini menyampaikan upaya-upaya sederhana nan cerdas untuk menggalakkan orang menanam pohon, melindungi fauna dan memelihara lingkungan dengan cara mengadopsi pohon, donasi biji gratis, dan program-program edukasi lainnya. Saya juga hampir tidak percaya saat candidate doctor Kristio yang mengepalai pusat studi lingkungan ini mengatakan semua fasilitas yang tersedia di situ gratis dan dapat digunakan siapa saja asal menjaga kebersihan dan bertujuan untuk mengembangkan kebaikan khususnya lewat edukasi lingkungan pada generasi muda. Ah saya sejenak lupa pada data-data kuantitatif tentang kerusakan hutan, naiknya suhu udara, menurunya kualitas dan kuantitas air bersih yang sering membuat saya tak bisa tidur. Di pojok ruangan saya melihat Mas Wawan menjelaskan pada beberapa anak yang kami ajak tentang upaya mereka melestarikan Burung Betet Merapi dengan mempromosikan beternak lebah madu agar mereka tidak lagi berburu betet liar. Mereka terlihat asyik menikmati game tebak madu yang dipandu Mas Wawan. Senja itu semakin lezat karena selain kopi yang cakep banget, perbincangan kawan-kawan lama ini juga ditemani dengan ketela, pisang dan kacang rebus dan ditutup dengan makan bersama dari nasi bungkus daun jati, sayur jantung pisang tiada tara (yang selalu menghubungkan saya pada kenangan pada tangan simbah putri tercinta menyuapi saya dengan sayur lodeh bunga pisang di sela nasihat-nasihat yang membesarkan jiwa), lele goreng, bakwan jagung dan lobster goreng. Senja sudah berubah gelap, suara burung-burung langka semakin merendah, cangkir kopi sudah kosong dan kudapan sehat tinggal kulitnya saja. Perut dan hati terasa tenteram. Tapi mimpi dan harapan akan lingkungan yang lebih baik baru saja dimulai oleh orang-orang muda di Pusat Studi Lingkungan Sanata Dharma yang tidak hanya mengantongi idealism tapi juga dibarengi dengan aksi nyata. Itu perlu didukung oleh saya dan anda dengan idealisme dan aksi nyata yang sama. Syawalan yang lebar, syawalan yang memulihkan harapan. Ayo!
Â
http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/15/1329310/Universitas.Sanata.Dharma.Resmikan.Pusat.Studi.Lingkungan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!