Mohon tunggu...
arshinta
arshinta Mohon Tunggu... -

perempuan dengan 3 anak, 1 suami dan mimpi sederhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Rhamona Membuatku Marah!

1 Maret 2015   23:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:18 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti lazimnya wanita di kepulauan itu, Rhamonaberkulit terang, postur tubuh kecil dan berparas ayu. Siang itu aku menumpang berteduh di emper rumah kayunya menanti hujan reda sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke ibu kota kabupaten.Kehamilannya menjadi pemantik diskusi hangat kami di siang berhujan itu karena kalimat tanya pertamaku langsung membuatnya berani berbagi gundah yang tampaknya sudah dipendamnya sekian waktu.

“Maaf bu ijin bertanya, berapa usia kandungan ibu?” tanyaku sambil mengira-ngira dengan mengukur usia gadis cilik yang bersandar manja di kakinya. “Selasa depan saya akan operasi bu, melahirkan di kota,” jawabnya. “Tiga hari lagi.,… wah ternyata sudah sembilan bulan?” batinku sambil menyimpan heran melihat perutnya yang tidak sebesar usia kandungan lazimnya. “Ini akan menjadi anak saya kelima bu, ini Widya anak saya ke empat, usianya 4 tahun,” wanita itu menjelaskan seperti dapat membaca pikiranku. “Kok, harus operasi bu?” tanyaku menyelidik. Cepat wanita itu masuk ke dalam dan kembali ke hadapanku dengan hasil USG yang dilakukan dokter beberapa bulan sebelumnya. “Dokter bilang saya harus operasi bu, Selasa depan ini. Saya takut bu karena biayanya 12 juta dan untuk membawa bayi pulang butuh 5 juta lagi kata mereka. Saya gelisah sekali memikirkan biaya, mengingat rasa sakit, dan mencari sumber dari mana uang kami sebesar itu,” ujarnya dengan risau.“Apakah ibu tahu kenapa dokter memutuskan untuk operasi? Kenapa ibu pikir akan sakit? Siapa yang mengatakan biaya sebesar itu? 12 juta itu sama dengaan biaya operasi saya di kelas 2 di rumah sakit dengan pelayanan prima di Yogya bu, dan jika bayi kita tidak mengalami masalah, kita tidak perlu bayar sebanyak itu pada rumah sakit ?” tanyaku dengan suara tinggi, gabungan antara berusaha mengalahkan bunyi di atas genting dan mulai risau dengan informasi Rhamona. “Saya setahun lalu juga operasi karena hamil di luar rahim di rumah sakit yang sama bu, dengan biaya yang hampir sama, 12 juta. Saya sangat kesakitan dan baru 3 hari setelah operasi dokter datang menjenguk. Saking tidak tahannya melihat saya yang kesakitan, suami saya meminta perawat untuk memberi obat pengurang rasa sakit, semacam disuntik atau apalah, mereka malah menjawab menyuruh kami ke luar negeri saja daripada kami cerewet. Sudah sakit, membayar mahal dengan uang sendiri, masih diperlakukan dengan tidak baik bu. Memang salah saya kemudian dalam waktu 5 bulan setelahnya saya sudah “isi” lagi, tapi bagaimana bu, di kecamatan sini tidak ada yang berani memasang KB untuk saya setelah operasi tahun lalu itu. Beberapa bidan yang saya temui menyarankan saya untuk kembali ke dokter kandungan yang merawat saya. Tapi belum sempat saya ke kota lagi, eh sudah hamil lagi saya.Ibu tahu berapa biaya untuk ke kota bukan? Paling tidak 4 liter minyak, makan di jalan, sakit juga pinggang saya naik di motor suami itu bu,” ujarnya sembari menunjuk motor suaminya yang membuat saya membelalakkan mata. Saya memerlukan waktu 2 jam mencapai tempat ini dengan dudukmanis dalam kendaraan double gardan yang ber AC, itu pun sudah seperti kacanggoyang rasanya karena jalan yang rusak di sana sini. Tidak dapat saya bayangkan rasa pegal Rhamona duduk di atas sadel motor 2 jam apalagi dalam keadaan hamil. “Itulah bu, selama 9 bulan mengandung baru 1 kali saya periksa dokter di kota dan hasilnya USG tadi itu bu yang meminta saya operasi Selasa depan. Saya tidak paham alasan sebenarnya harus operasi untuk kelahiran ini. Kalau setiap bulan harus memeriksakan ke kota, mana saya mampu bu, kami hanya petani ladang. Bisa sih menyewa mobil ambulance rumah sakit dekat sini itu (maksudnya puskesmas), tapi ongkosnya 800 ribu sendiri” jelasnya.“Tapi ibu kan dapat memeriksakan diri ke puskesmas terdekat jika tidak bisa ke kota?” tukasku semakin gusar. “Ibu bisa lihat sendiri ke rumah sakit (maksudnya puskesmas) di kecamatan ini, mereka selalu bilang tidak ada obat. Beberapa bulan lalu saya merasa lemas, terpaksa saya kesana. Mereka bilang tensi saya hanya 60, dan saya mendengar mereka saling berbisik, ‘tidak ada obat di sini’ ..jadi saya hanya dipegang-pegang sebentar perut saya lalu disuruh pulang, tanpa diberi apapun. Silahkan ibu tanya pada 12 staf mereka di sana, tidak ada kalek atau zat besi seperti yang ibu bilang tadi “ tukasnya putus asa.“Tapi ibu ‘kan dapat memakan bayam, kacang merah, sayur mayur bu, selama mereka tidak memberi ibu tablet itu, ibu dapat menggantinya dengan bahan yang tersedia sehari-hari di rumah,” terangku dengan perasaan tidak yakin apakah dia akan mengerti yang kumaksud. “Ibu dapat bertanya tentang makanan lokal bergisi itu pada mereka jika terpaksa sekali mereka tidak punya persediaan vitamin dan mineral dasar untuk ibu hamil, atau bertanya pada kader posyandu,” tambahku. “Tidak ada sama sekali bu penjelasan tentang itu” dia berusaha meyakinkanku.

“Lalu maaf bu siapa yang akan membayar biaya persalinan minggu depan itu? Apakah ibu sudah terdaftar di BPJS?” aku bertanya lagi. “Kakak saya yang di tanah seberang yang akan membantu, manalah ada uang kami Bu, dan saya belum pernah dengar BPJS, bagaimana saya mendaftar dan apa manfaatnya? Apakah kita akan sembuh kalau pengobatannya murah bu?” tanyanya beruntun. “Kalau ibu sudah ada kartu jamkesmas silahkan ibu bawa ke kantor BPJS dengan disertai persyaratan seoertiFC KTP, KK dan pengantar dari desa atau kecamatan supaya mempermudah prosesnya Kalau masalah sembuh tidaknya kita bukan tergantung pada mahal tidaknya tapi sejauh mana kita taat meminum obat, mencegah dini sebelum sakit dan istirahat dan gizi cukup,” kujelaskan sambil menghitung dalam hati, ibu ini adalah orang ke berapa ya yang kutemui selama perjalanan singkat di Nias yang belum tahu sama sekali tentang BPJS.

Akhirnya hujan sedikit reda dan kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Saya berdoa Ibu Siti Rhamona dapat melahirkan dengan selamat.Saya tidak ingin dia ada dalam angka statistic yang mengerikan bahwa kematian ibu karena melahirkan masih mencapai 549 setiap 100.000 kelahiran hidup.Saya berpesan, “Jangan lupa langsung bilang dokter untuk dipasang alat KB yang ibu pilih,” Saya mengulang itu beberapa kali karena beberapa teman menginformasikan bahwa masyarakat di sini rata-rata mempunyai anak 5-10 orang per keluarga (data angka KB di Nias).

Hujan reda dan tapi pertanyaan gelisah justeru semakin deras di benakku, tentang informasi layanan BPJS yang tidak sampai ke pelosok, tentang puskesmas yang langgam ketidakefektifannya masih seperti yang dulu, selalu mengeluh tak punya obat tapi dapat menggaji 12 pegawai, keberpihakan dokter dan institusi kesehatan pada orang miskin yang patutdipertanyakan karena memandang pasien (entah kaya entah miskin) sebagai ATM saja tanpa diiringi dengan semangat memberikan pelayanan publik yang professional (termasuk informasi yang bertanggung jawab dan empatik), tentang keluarga berencana yang tidak selalu diterima sebagai suatu keniscayaan untuk pembangunan bangsa yang pertumbuhan populasinya tidak seiring dengan perkembangan HDI nya. Mobil berguncang-guncang, saya merasa semakin gusar saat tatapan mata tertumbuk pada jalan yang selalu rusak, jembatan yang pembangunannya entah dilanjutkan kapan, yang membuat keterbatasan geogragis menjadi kendala bagi perkembangan ekonomi, pendidikan dan kesehatan sehingga sulit bagi perempuan hamil seperti Rhamona memperoleh pemeriksaan dan pertolongan kesehatan terjangkau yang dia butuhkan. Saya gusar membayangkan anak Rhamona yang lahir nanti akan seperti apa, tidak pernah mendapat asupan vitamin dan mineral,apakah dia akan meniru kakak-kakaknya yang berbadan kecil dan pucat, karena ibunya tidak tahu tentang gizi pokok keluarga karena keterbatasan ekonomi dan tidak didampingi oleh pihak yang kerkewajiban meningkatkan pengetahuannya padahal Rhamona adalah bagian dari para perempuan yang melahirkan generasi berikutnya bangsa ini.

Saya gusar kenapa lagu lama ini selalu saya dengar setelah hampir 20 tahun di lapangan bersama teman-teman organisasi rakyat.Saya gusar membaca berita bahwa wakil rakyat tidak pernah benar-benar tahu kebutuhan dan kesulitan rakyat. Boro-boro melakukan perubahan kebijakan dan terobosan kerakyatan, menjelaskan perbedaan hak dan kewajiban mereka saja, wakil rakyat itu tergagap-gagap, belum lagi keserakahan, rasa harga diri yang tipis dan sistem politik yang membuat mereka harus setor ke partai politik membuat korupsi seolah bukan hal yang memalukan.

Tiba-tiba saya seperti dapat merasakan mengapa Ahok begitu temperamental menghadapi keruwetan DKI Jakarta atau Jokowi begitu kelu melakukan perubahan di Indonesia.Saya pun rasanya mau gila.Kisah Rhamona membuat saya marah!!

http://www.depkes.go.id/article/view/201410160001/menuju-rakyat-kepulauan-nias-yang-lebih-sehat.html

http://ugm.ac.id/en/berita/9041-bonus.demografi.ri.tidak.berlangsung.lama

http://kanalwan.com/anggota-dprd-dki-nuri-shaden-dicemohkan-katanya-hak-angket-itu-hak-bertanya/

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun