Menjaring Matahari
Kabut sengajakah engkau mewakili pikiranku
Pekat, hitam berarak menyelimuti, matahari..
Aku dan semua yang ada di seklilingku
Merangkak menggapai dalam gelap…
Mendung, benarkah pertanda akan seg’ra turun hujan
Deras, agar semua basah yang ada di muka bumi
Siramilah juga jiwa kami semua
Yang tengah dirundung kegalauan
Roda zaman menggilas kita terseret tertatih-tatih
Sungguh hidup terus diburu berpacu dengan waktu
Tak ada yang dapat menolong selain yang disana
Tak ada yang dapat membantu selain yang disana
Dialah… Tuhan…
Dialah… Tuhan…
~~~
Langkah berat kuayunkan kaki menuju daerah tak bernama, tak pernah kulalui. Kebas, itulah yang kurasakan setelah menapaki kerikil dan batu kapur di atas terjalnya jejalanan naik turun yang dilewati kakiku. Kaki ini tak berhenti berjalan sejak siang kemarin turun dari sebuah bus kota yang membawaku ke sebuah kota kecil di bawah bukit pegunungan sejuk, bukit dengan pemandangan yang akan kunikmati dengan sukacita seandainya keadaan tak seperti ini.
Hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh, aku berhenti di sebuah mushola dan mulai membersihkan badan. Aliran air segar membasuh wajah yang pekat oleh keringat dan daki, aku berkumur, melegakan pernafasanku, menegak secukupnya air untuk meredakan dahaga.
Dengan ujung lengan baju, ku keringkan wajah, hari telah senja saat aku duduk di beranda mushola itu. Dengan perut keroncongan hingga melilit karena seminggu belakangan ini tak ada makanan yang sanggup kumasukkan ke dalam mulut. Semua terasa hambar, bahkan berat tubuh telah menyusut beberapa kilo sejak sebulan yang lalu, sejak semua masalah ini bermula.
Kuhela nafasku dengan berat, hanya inilah satu-satunya caraku untuk menghindari semua ini. Ya.. aku menghindar, aku memilih melarikan diri untuk kebaikan semuanya, untuk kebaikan keluargaku, untuk kebaikanku dan... kebaikan Jasmine... Istriku. Atau lebih tepatnya mantan istriku.
Mungkin saat aku sedang memikirkan dia seperti sekarang ini, Jasmine telah menandatangani surat perceraian kami yang dipaksa oleh keluarganya yang tamak. Tak heran, keluarga Jasmine memang tak pernah menyukaiku meskipun aku tak pernah mengecewakan ataupun menolak permintaan mereka. Bagi keluarga Jasmine, aku hanyalah seekor sapi perahan yang bisa mereka peras untuk memenuhi segala keinginan mereka, saat aku tak berguna lagi, mereka dengan mudah menendangku dan mengusirku pergi...
Jasmine... wanita yang aku kira mencintaiku sepenuh hati... hanya bisa memasang wajah datarnya saat aku mengucapkan selamat tinggal padanya, selamat tinggal pada duniaku di sana.
Aku.. seorang pengusaha bangkrut... itulah aku. Hidupku dulu tak separah ini, tak senista ini. Dulu.. saat di masa kejayaanku, uang bisa kuhambur-hamburkan dengan seenaknya. Tidak.. aku tidak suka menghambur-hamburkan uangku, Jasmine dan keluarganyalah yang seperti itu.
Bukan masalah bagiku meladeni gaya hidup mereka, seperti uang bulanan yang biasa kusediakan untuk keluarga Jasmine, belum lagi uang yang setiap saat akan diminta oleh ayahnya, ibunya, adik-adiknya, bahkan kakak-kakak dan kakak iparnya...
Aku... memang dimanfaatkan dengan kejam.
Tapi... karena rasa cintaku yang teramat dalam pada istriku, aku tak keberatan. Perusahaanku sanggup untuk memenuhi gaya hidup yang berlebihan itu. Aku mengirim seluruh keluarga Jasmine untuk bepergian dan jalan-jalan keluar negeri. Seperti Dubai, Eropa, kecuali Amerika.
Ahh... bila kuingat-ingat lagi.. hatiku miris memikirkannya. Tapi aku bersyukur.. kami belum memiliki buah hati yang dapat membuat hidupku semakin berat bila harus mengingat akibat apa yang bisa kuberikan pada anakku.
Namaku Arif, Arifin Santoso lengkapnya. Sudah tiga tahun aku menikahi Jasmine, istriku. Kami dikenalkan oleh seorang teman yang kemudian mengatur pertemuan kami. Pertama kali melihat Jasmine tak ada getar apapun yang kurasakan, namun temanku yang dengan gencar menyemangati dan memuji-muji Jasmine di depanku akhirnya membuatku menyerah dan mencoba untuk menjalin hubungan dengannya.
Saat itu usiaku sudah dua puluh delapan, usia yang cukup untuk membangun sebuah keluarga, terlebih materi bukanlah hal yang perlu aku khawatirkan. Aku mewarisi sebuah perusahaan konveksi milik keluarga yang telah dikelola secara turun temurun sejak tahun 1974. Tak heran uang bukanlah hal yang memberatkan bagiku ketika keluarga Jasmine mengajukan mahar kawin yang membuat para hadirin membelalakan mata saat penghulu menyebutkan jumlah mas kawin yang aku penuhi.
Sebuah rumah mewah berharga 2 Milyar untuk keluarga Jasmine, lengkap dengan perabotan yang tak kalah mewahnya. Dua mobil mewah juga telah menghiasi garasi rumah itu saat penyerahan kunci dan sertifikat kepemilikan. Uang deposito di Bank yang tak ingin kusebutkan jumlahnya di sini untuk masing-masing orang tua Jasmine dan adik-adik beserta kakak-kakaknya (dan juga kakak iparnya).
Keluargaku mendebat keputusanku, aku sendiri heran mengapa aku mau mengabulkan permintaan mertuaku dulu. Rasa cinta yang kumiliki pada Jasmine apakah sebesar itu? Entahlah.... Aku tak sanggup mengingat apa penyebab aku mencintainya... Atau itulah yang aku anggap.
Malam pertama...
Aku ingat saat malam pertama kami... Jasmine menolak berhubungan intim denganku. Dia beralasan kelelahan dan aku pun memakluminya. Aku tak pernah memaksa Jasmine melakukan hubungan layaknya suami istri hingga dua bulan kami menikah. Aku hanya bisa menciumi bibirnya dan sesekali menggerayangi tubuh istriku dengan posesif. Tapi dia selalu menolakku dengan alasan yang terlalu dibuat-buat.
Suatu hari, akupun kehabisan kesabaranku. Malam itu aku ingat pasti, aku sengaja tidak menemui Jasmine, aku mengurung diri di dalam ruang kerja hingga keesokan paginya. Saat pukul lima pagi, aku mulai masuk ke dalam kamar kami, Jasmine masih terlelap dan saat itulah aku mengambil kesempatan untuk mendapatkan apa yang semestinya telah kudapatkan dua bulan lalu, di malam pertama kami.
Jasmine tak bisa menolakku, tubuhnya terlalu lemah karena masih terlelap. Saat akhirnya aku menyatukan tubuh kami, dahiku mengernyit... Jasmine.. tidak sesuci yang coba dia tunjukkan dihadapan kami. Dia sudah tak perawan lagi saat aku menyetubuhinya. Namun sudah kepalang tanggung, aku tak memperdulikannya, aku mengambil jatahku dan tertidur puas di samping Jasmine. Namun sejak saat itu Jasmine selalu melayaniku dengan sukarela, dia tidak pernah menolakku lagi. Apakah Jasmine takut aku akan mengetahui ketidaksuciannya? Entahlah... aku hanya bisa menebak-nebak karena aku tak pernah menanyakan padanya mengenai hal itu.
Selama setahun pertama pernikahan kami, kami cukup bahagia meskipun keluarga Jasmine selalu mencampuri setiap masalah rumah tangga kami. Mertuaku dengan sengaja mendesakku untuk memasukkan anak-anaknya dan saudara-saudaranya yang lain agar bisa mendapatkan posisi strategis di dalam perusahaan. Bila aku menolak, mereka akan memusuhiku dan Jasmine akan menangis karena dia juga dimusuhi dan dimaki-maki oleh keluarganya. Aku tidak tega melihat istriku diperlakukan seperti itu, maka tiada jalan lain selain menerima orang-orang pemalas itu di dalam perusahaanku. Inilah cikal bakal mengapa perusahaanku hancur.
Aku tak pernah tahu kakak iparku, seorang wanita dengan mulut setajam sembilu dan berlidah dua akan tega menghancurkan hidup dan perusahaanku hingga lenyap, lebur dan hancur tak tersisa. Aku masih bersyukur sebelumnya aku telah mengirimkan sejumlah uang yang cukup untuk ibu dan kedua adikku, sehingga mereka tidak perlu merasakan imbas yang menghancurkan ini saat perusahaan kami dilanda musibah.
Leandra nama iparku itu, dia adalah kakak kandung dari Jasmine, wanita berusia tiga puluh lima tahun yang sayangnya pernah mencoba untuk merayuku di setiap kesempatan yang dimilikinya. Bagaimana tidak.. dia adalah asisten sekretarisku. Dia memilih posisi itu meskipun dia tidak mengerti sama sekali dengan pekerjaan yang harus dia lakukan. Dan diapun menggangguku setiap ada kesempatan.
Masih kuingat bagaimana dia mencoba memelukku dari belakang, menggesek-gesekkan dadanya yang kenyal di punggungku. Dia bahkan berani meremas kejantananku. Huh.. Bila kubayangkan saat ini... hal itu memang sangat menjijikkan.. Aku heran bagaimana aku bisa terangsang saat itu terjadi dulu... Tapi tidak... aku tak pernah menyentuhnya bila itu yang kalian pikirkan. Selama aku menikahi Jasmine, hanya dialah satu-satunya wanita yang kutiduri.
Memang aku pernah mencium bibir Leandra, wanita itu terlalu sulit untuk ditolak. Dia seksi, dengan tubuh sintal dan dada besarnya, dia bila masuk ke dalam kantorku akan langsung menduduki pahaku dan menggoyangkan pinggulnya. Aku hanyalah laki-laki normal dengan seorang istri yang tak terlalu memiliki gairah bercinta yang tinggi, sehingga saat Leandra merayuku... gayungpun tersambut.
Tapi... itu hal lain.. bukan itu yang menyebabkan perusahaanku hancur, tapi ketamakan Leandra dan suaminya yang membuat hutang atas nama perusahaan dan memalsukan tanda tanganku...
Ironis... bagaimana semudah itu sebuah perusahaan yang telah dibangun dengan darah dan keringat selama seperempat abad lebih, hancur dalam sekejap mata.
Ahh.. tidak... Bank-bank terlalu percaya padaku, terlalu percaya pada perusahaanku dan tidak mempertanyakan surat hutang sebesar milyaran rupiah yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Saat itu, matilah aku... Perusahaan dinyatakan bangkrut karena tidakbisa membayar hutang-hutang, tiga rumah mewah atas namaku disita. Mobil-mobil dan kekayaan lainnya habis untuk membayar hutang. Aku... diceraikan istriku...
Namun setidaknya hutang itu telah lunas dengan semua kekayaan yang kukumpulkan dengan segala jerih payahku selama ini. Saat kami bercerai, Jasmine mendapatkan tiga per empat kekayaan yang masih tersisa, bila dijumlah dalam rupiah, aku perkirakan dia masih mengantongi uang sebanyak enam ratus juta rupiah, menyisakan dua ratus juta untukku yang langsung kuberikan pada ibu dan adik-adikku.
Aku... sudah tak ingin menginjakkan kaki di kota itu lagi. Aku ingin menghilang dan lenyap dari sana.
Disinilah aku, meratapi nasibku belakangan ini. Teman-teman yang kukira kumiliki semua menghilang saat mengetahui betapa parahnya masalahku. Tak ada yang bersedia menjadi tempatku bertopang. Tapi aku bersyukur, aku tak pernah ingin menyentuh alkohol ataupun obat-obatan keras untuk melampiaskan segala kesusahanku.
Aku lebih memilih menapak tilas perjalanan hidupku, berjalan dari ujung barat kotaku hingga ujung timur pulau ini dan tiba di sebuah desa terpencil yang baru pertama kali aku dengar namanya. Indragiri.
Seorang anak muda memperhatikanku sedari tadi, dia pasti curiga dengan keberadaanku disini. Namun tak sedikitpun dia menunjukkan wajah kebencian atau bermusuhan padaku yang adalah orang asing. Diapun mendekatiku.
“Assalamualaikum...” sapanya.
“Wa’alaikumusalam...” sahutku sekenanya.
“Bapak bukan orang sini ya? Apa ada yang bisa saya bantu mungkin, Pak?”
“Ah... Saya memang bukan orang sini, Dik. Saya kebetulan lewat,” jawabku. “Saya hanya ingin duduk sejenak, rasanya badan saya pegal semua. Tapi terima kasih atas tawarannya. Adik baik sekali.”
Anak muda yang kemudian mengenalkan dirinya bernama Alvin itu mengatakan bahwa dia juga bukan penduduk asli desa ini. Dia adalah pendatang sama sepertiku, saat itu dia tiba di desa ini dengan kakaknya, dalam keadaan yang lebih menyedihkan dariku. Alvin kini berusia empat belas tahun, dia cukup cerdas dari caranya berbicara. Entah mengapa dia lebih senang duduk mendampingiku yang kumal dan berantakan ini dan bukannya pergi meninggalkanku. Ahh... Mungkin tak semua manusia sejahat yang aku kira.
Agak aneh memang karena aku bisa menceritakan masalahku pada anak kecil sepertinya, tapi tidak.. meskipun usia Alvin masih muda, dia mengerti apa yang kukatakan. Dia bahkan mengangguk-angguk sebelum memberikan beberapa kalimat penyemangat yang baru pertama kali kudengar dari orang-orang disekitarku. Anak muda yang baik.
“Pak Arif malam ini mau tidur dimana? Disini gelap kalau malam, Pak. Banyak nyamuk,” kata Alvin sembari menebarkan pandangannya ke sekitar mushola yang kecil itu.
“Ehm... Saya tidak ada pilihan lain, Dik. Tak apa, saya sudah biasa begini. Sudah seminggu lebih saya seperti ini dan ini sudah lebih dari cukup buat saya,” jawabku lemah. Yah... apa yang aku harapkan? Bukankah ini caraku untuk menghukum diri, caraku untuk melupakan segala sakit di hati atas semua kehancuran yang aku akibatkan.
“Bagaimana kalau bapak pulang ke rumah saya saja? Kakak saya orangnya baik, dia pasti akan mengizinkan bapak tinggal disana. Kalau bapak segan, ehm... bapak bisa membantu kami berkebun kalau bapak bersedia. Kebetulan kami memiliki sepitak ladang yang perlu di cangkul,” katanya cengengesan. Haha.. anak muda ini memiliki jalan berpikir yang brilian, apakah dia bermaksud menggunakanku sebagai tukang cangkul ladang kakaknya... oh... anak muda... kau sungguh sangat menarik.
Meski aku segan, namun Alvin mendesakku hingga akhirnya aku mengikutinya dengan patuh. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, begitulah aku masuk ke dalam pekarangan rumah yang dibangun di atas sepitak tanah sempit yang tak lebih dari satu are itu. Rumah yang terbuat dari beton rapuh namun asri dengan berbagai tanaman sayur-sayuran tumbuh di halamannya membuat rumah ini sebagai rumah yang sangat pantas untuk dihuni. Aku yakin mereka tidak perlu untuk membeli sayuran di pasar dan hanya mengambilnya dari kebun mereka ini.
“Assalamualaikum... Kak aku pulang...”
“Wa’alaikumusalam...” jawab sebuah suara seorang wanita dari dalam rumah. Pintupun terbuka dan mata kami bertemu.
Dengan penampilanku sekarang, aku yakin dia tidak akan pernah mengenaliku. Aku dengan kemeja putih yang telah berubah warna menjadi kelabu dan kotor, celana panjang hitam yang tadinya licin dan sehalus sutra kini penuh dengan lumpur dan kotoran dari jalanan. Selebihnya aku tak mengenakan pakaian apa-apa lagi. Tidak ada jaket untuk menghangatkan tubuhku bila tertidur di pos kamling atau sekedar menutupi percikan air hujan saat berteduh di emperan toko-toko. Tidak.. aku memang sengaja menyakiti diriku dengan segala penderitaan ini, aku ingin mengingat semua kesakitan ini agar aku bisa bangkit lagi, lebih baik lagi.
Tapi dia mengenaliku.. sebagaimana aku mengenalinya.
“Asih...” panggilku.
“Mas Arif...”
Bisa kulihat tetesan air mata mulai menggenangi kedua kelopak mata cantiknya. Asih... telah berubah banyak. Selama lima belas tahun terakhir aku tak bertemu dengannya... dia kini... sangat berbeda.
“Ada apa denganmu, Mas? Kenapa kamu bisa seperti ini? Kenapa kamu disini? Bagaimana dengan keluargamu? Dengan perusahaanmu?” tanyanya tiada henti. Asih menghampiriku dan mengajakku masuk ke dalam rumahnya yang mungil namun nyaman.
“Kak, biarkan Pak Arif mandi dulu baru ditanyai, kasihan dia pasti kelaparan.” Alvin menarik lenganku dan membawaku ke sebuah kamar mandi di sudut rumah. Dia menyediakan handuk bersih untukku.
“Mandi dulu, Pak. Nanti saya ambilkan sarung dan baju. Rasanya ada baju yang cukup untuk Bapak,” ujar Alvin dengan mimik serius.
Dengan pikiran penuh berkecamuk dalam kepalaku, akupun membersihkan tubuhku. Untuk pertama kalinya setelah beberapa minggu tubuhku mulai diguyur air. Setelah mandi, tubuhku pun segar dan aku kembali seperti aku yang dulu... tampan, kulit putih bersih dan rambut yang mulai memanjang. Kumis dan cambang yang tipis mulai mengisi wajahku yang kubiarkan begitu saja.
“Makan dulu, Mas,” ujar Asih saat aku baru saja masuk ke dalam rumah setelah mandi di kamar mandi belakang. Wangi masakan membuat perutku berontak, aku sungguh kelaparan.
Kupandangi wajah Asih yang masih sibuk menyiapkan piring-piring di meja, “Kenapa kamu bisa ada disini, Sih?” tanyaku dengan sedikit tuduhan. Masih teringat di kepala saat dia meninggalkanku untuk menempuh studynya ke Amerika, lima belas tahun yang lalu, saat kami baru saja lulus SMU.
Asih dan diriku, kami adalah teman baik. Dia selalu menyemangatiku dahulu, mendengarkan curahan hatiku bila Almarhum ayah memarahiku. Atau bila aku baru saja putus dari pacar-pacarku dulu. Asih selalu ada, selalu menemani susah senangku, namun ketika dia berkata akan pergi ke Amerika untuk kuliah, aku merasa dikhianati. Kami telah berjanji untuk kuliah di Jakarta pada universitas yang sama. Meski demikian, aku tidak ingin menjadi teman yang egois, ini demi kebaikan Asih, agar masa depannya lebih cerah.
Tapi aku tak pernah mengantarnya ke bandara dan sejak saat itu hubungan kami terputus. , dia tidak pernah menghubungiku begitupula aku, dua tahun lamanya aku bersedih karena kehilangan Asih, tapi setelah itu aku melupakannya. Aku menganggap Asih juga melupakanku, bila tidak... dia pasti menghubungiku, karena dia tahu dimana alamat rumahku. Itulah yang kupercayai sejak dulu.
Namun kenyataan di depanku sungguh tak bisa kuduga. Asih disini, dengan adiknya yang tak pernah kukenal, karena setahuku dia adalah anak tunggal, mungkin adiknya lahir setelah dia pergi ke Amerika. Tapi kenapa Asih bisa berada di rumah kecil ini, jauh di pedalaman desa kecil yang bahkan tak mengenal lampu penerangan jalan di kala malam.
Asih seolah tak mendengar perkataanku, dia pura-pura tidak mendengarnya. “Sih,” panggilku lagi kali ini dengan sebuah sentuhan pada pundaknya.
“Kamu kenapa?” tanyaku bingung, air mata Asih telah mengalir di pipi. Buru-buru disekanya dan menghindar dariku. Asih pergi ke dapur dan lama tak kembali dari sana hingga Alvin kembali dari warung sebelah untuk membeli obat nyamuk bakar.
“Kakak Asih mana, Pak?” tanya Alvin, Asih kemudian keluar dari dapur dengan semangkuk sayur bayam yang kuyakin dipetik dari kebun di pekarangan rumah.
“Ayo makan dulu,” ujarnya lagi. Sudah tak ada air mata yang menggenang di pelupuk, tapi Asih tak bisa menyembunyikan sembab di pipinya. Aku menghela nafas, rasanya kehadiranku disini hanya membebani Asih, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Kami makan dalam diam, hanya terkadang Alvin bertanya mengenai kehidupanku dan seperti apa di kota itu. Nampaknya anak muda ini tidak pernah pergi ke kota, menambah kecurigaanku, karena bila selama ini dia hanya tinggal di desa ini, berarti lima belas tahun yang lalu Asih bukanlah pergi ke Amerika, melainkan....
“Alvin tinggal di desa ini sejak kecil?” tanyaku di sela-sela acara makan kami. Bisa kurasakan tubuh Asih menegang di depanku, sementara Alvin mengangguk, dia begitu bersemangat ketika kujanjikan untuk mengajaknya ke kota suatu hari nanti.
Asih tiba-tiba berdiri dan membawa piring dengan makanan yang belum habis ke dapur. Akupun permisi pada Alvin untuk mengejarnya, aku harus tahu apa yang terjadi sebenarnya disini.
“Asih...” panggilku pelan pada tubuh Asih yang berjongkok di lantai semen, kepalanya menunduk, bertumpu pada lututnya, tubuhnya bergetar, dia menangis sesenggukan.
Kusentuh pundaknya, meremasnya pelan, “Bicaralah padaku, Sih. Izinkan aku menolongmu, meski aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan, tapi aku akan berusaha. Kita adalah teman baik, dan selamanya akan begitu. Kau selalu ada saat aku susah dulu, sekarang giliranku. Beritahu aku apa kesusahan hatimu, Sih...” bujukku, tapi punggung Asih semakin berguncang, tangisnya semakin hebat namun berusaha ditutupinya dengan punggung tangan.
“Sih...” bujukku lagi. Akupun ikut berjongkok di belakangnya, memeluk pundaknya, perlahan Asih mulai mempercayaiku, tubuhnya mulai lemas dan bersandar pada dadaku. Ya, Tuhan... apa yang terjadi pada sahabatku ini? Musibah apa yang menimpanya sehingga kehidupannya bisa berubah sedrastis ini?
Setelah kurasa tangis Asih mulai mereda, kuputar tubuhnya hingga menghadapku lagi, tanganku memperbaiki rambutnya yang tergerai lepas dari ikatan, kuhapus juga air mata yang masih membekas di atas pipinya, pipi sahabatku yang telah kukenal sejak kami kanak-kanak.
Untuk pertama kalinya kuperhatikan dengan seksama wajah Asih, matanya begitu indah, bulu mata lentiknya, bahkan hidungnya yang kecil begitu sempurna menghias, membentuk sebuah rupa jelita. Tak pernah kusadari betapa wanita ini begitu cantik.
Sebelumnya aku hanya melihat Asih seperti bagaimana dia kuingat dulu, saat kami bermain di sawah dengan kerbau dan sapi, bermain layang-layang, menangkap belut, karena disanalah kami berkenalan.
Tanganku tak mampu kupindahkan dari pipinya yang lembut. Ya, Tuhan... Aku terpesona oleh rupa di hadapanku ini. Kini kusadari mengapa hatiku selama ini begitu hampa, begitu tak berdaya menghadapi segala masalah yang menerpaku, begitu pasrah saat mantan istriku memperdaya dan tak memiliki minat untuk merubah mereka. Karena hatiku tahu, setengah bagiannya telah pergi tanpa kusadari.
Wanita di depanku ini, secara tak kusadari telah menyimpan hatiku dan tak berkeinginan untuk memberitahunya. Barulah kusadari, kemana rasa cinta yang seharusnya kumiliki, cinta sejati, cinta yang mampu memaafkan, cinta yang mampu menerima apa adanya, cinta yang bersedia berusaha bersama. Cinta yang saling merindukan. Cinta yang posesif...
Asih... sahabatku, bagaimana bisa cinta ini tertutup oleh kabut sahabat? Bagaimana aku bisa begitu buta dan tak menyadari cinta ternyata begitu dekat. Asih...
Dengan serak kusebut namanya, rasanya telah lama beban ini mengganjal di tenggorokan, ketika nama Asih kusebut, tangisan mendesak ke atas, aku bahkan hampir tak bisa berkata-kata, menyeruak kembali segala ingatan lima belas tahun ini, bagaimana aku berusaha mencari kabar mengenai dirinya, pada keluarganya yang tak pernah mau memberi jawaban padaku, pada teman-teman kami yang juga tidak tahu menahu mengenai keberadaan Asih di Amerika.
Dia seolah pergi, ditelan bumi, dan akupun menyerah dan berkata pada hatiku, “Mungkin dia tidak ingin mengenalku lagi.”
“Apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu, Sih?” tanyaku serak.
“Mas... Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Aku malu, Mas,” jawab Asih berusaha melepaskan pelukan tanganku dari lengannya.
“Tidak, katakan padaku, Sih. Atau aku akan mencari tahu, bila perlu kupaksa keluargamu, atau siapapun yang pernah mengenalmu untuk menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu. Dan siapa Alvin? Aku tak percaya dia adalah adikmu,” kataku tegas. Asih harus memberitahuku, semuanya, tanpa ditutup-tutupi.
Asih menangis lagi, kini jauh lebih deras dari yang pertama, “Mas... maafkan aku, aku... aku telah membohongimu. Lima belas tahun yang lalu, aku tidak pergi ke Amerika, aku diusir dari rumah, Mas,” jawabnya dengan tangis sesenggukan.
Ya, Tuhan... Asih... Mengapa kau tidak memberitahuku masalah seperti ini? Kau bahkan berpura-pura pergi ke Amerika?? Ada apa denganmu sebenarnya??
Kupeluk tubuh Asih yang makin berguncang tak terkendali, nampaknya semua luka yang telah terpendam selama lima belas tahun lamanya tertuang sudah, seluruhnya. Bisa kurasakan kehadiaran Alvin di belakang kami, namun dia tidak bersuara, aku rasa dia telah mengetahui kenyataan bila dia bukanlah adik Asih. Lalu siapa Alvin sebenarnya??
Kuhela tubuh Asih berdiri, membawanya ke ruang tamu, kududukkan tubuhnya di atas kursi kayu yang terletak di dalam ruangan. Alvin kuminta untuk mengambilkan segelas air untuk Asih.
“Minumlah, lalu tarik nafasmu, Sih. Jelaskan dengan pelan-pelan, aku disini, kamu bisa mengeluarkan semuanya, katakan semuanya padaku,” bujukku lagi. Asih bisa lebih menguasai dirinya, dia melirik Alvin yang sedang berdiri termenung, wajahnya muram namun tekad yang kuat bisa kulihat dari wajah remajanya. Mereka.. telah melewati begitu banyak pencobaan hingga bisa menjadi orang-orang tabah, membuat dadaku terasa penuh sesak dengan semangat agar mampu juga menjadi seperti mereka.
“Alvin... bisa beliin Mama garam di warung Mpok Minah?” pinta Asih pada Alvin. Akupun terhenyak, kupandangi kedua wajah di hadapanku tak percaya. Alvin... dan Asih? Mereka adalah ibu-anak??
“Iya, Ma.” Lalu Alvin keluar, aku mulai mengerti, semuanya hampir terbuka. Mungkin Asih memberitahu pada Alvin agar memanggilnya Kakak bila di depan orang lain.
“Apakah Mas ingat, waktu selesai ujian dulu? Setelah kita pulang dari sekolah? Mas waktu itu dijemput oleh bapak Mas yang mau ke rumah sakit?” tanya Asih padaku, kejadian itu sudah begitu lama, namun aku masih ingat, karena saat itu almarhum ayahku sudah mulai check up rutin ke rumah sakit karena gula darahnya yang tinggi. Akupun mengangguk.
“Saat aku berjalan pulang menuju rumah, Bayu dan seorang temannya yang tak kukenal mencegatku. Mereka memaksa dan membawaku ke sebuah rumah kosong, aku diperkosa disana bergiliran...” suara Asih bergetar, bisa kurasakan tubuhku ikut bergetar hebat. Tinjuku mengepal, rahangku mengetat, bahkan air mataku mendobrak ingin keluar.
Kupeluk tubuh Asih, aku telah mengerti bila ini adalah awal dari segalanya. Kubiarkan Asih menghabiskan tangisnya di dadaku, perlahan air mataku ikut keluar tak bisa kubendung lagi. Asih... Maafkan aku, seandainya aku menemanimu pulang waktu itu, hal ini tidak akan terjadi. Maafkan aku, Asih....
Asih mendorong tubuhku pelan, dia ingin melanjutkan lagi ceritanya. “Mereka meninggalkanku begitu saja disana. Aku tidak berani mengatakan pada siapapun, Mas.” Suara Asih terhenti ketika kusela.
“Kenapa kamu tidak mengatakan padaku, Sih? Bukankah kita telah begitu dekat? Kita sepakat, semua masalah akan kita pecahkan bersama, tidakkah kamu percaya padaku?” Hatiku merasa terluka karena Asih tidak mau memberitahuku, bukankah itu seharusnya gunaku? Melindungi Asih!!
“Aku tidak sanggup, Mas...” Tangisnya keluar lagi, “Kamu mungkin tidak tahu, selama ini, aku... mencintaimu.” Pengakuan Asih membuat mulutku terbuka, “...Aku malu, aku tidak ingin kamu tahu, bila aku telah ternoda, Mas. Dulu aku sering berdoa, agar kamu menyayangiku juga, tapi rupanya doaku tak terkabul... Aku tidak berani berharap, Mas. Kamu telah memiliki pacar yang kamu ceritakan dengan bahagia, aku tidak tega membuat persahabatan kita pecah hanya karena perasaanku itu.”
Aku hanya terdiam mendengarkan Asih. Aku tidak terima, dia seharusnya mengatakannya padaku. Dia sudah kuanggap segalanya, bahkan dia melebihi wanita-wanita yang kupacari dulu. Aku selalu mengajaknya tatkala jalan-jalan dengan pacarku, karena aku lebih suka bila Asih juga ada disana. Bila dia mencintaiku... bukankah aku hanya menyakitinya dengan memamerkan hubunganku? Asih...
“Bagaimana kamu bisa berada disini?” tanyaku kemudian setelah lama kami hanya membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Waktu aku tahu tamu bulananku terlambat, akupun menduga kalau aku hamil. Bersama ibu, aku ke puskemas, Mas. Ibu menangis, tapi Bapak saat tahu aku hamil menjadi murka. Beliau mengusirku, Mas. Meski Bapak tahu aku diperkosa, tapi Bapak tetap kukuh untuk mengusirku. Sedang ibu tidak bisa berbuat apa-apa, dengan sisa tabungannya, ibu membekali kepergianku. Aku beralasan padamu bila aku kuliah ke luar negeri, hanya agar kamu tidak mengikutiku, Mas. Karena aku tahu, kamu tidak mungkin kuliah ke luar negeri juga melihat kondisi ayahmu yang sudah sakit-sakitan,” jawabnya sedih.
Aku duduk terhenyak di samping Asih, tubuhku begitu lemas, lalu Asih melanjutkan ceritanya. “Alvin lahir enam bulan kemudian, sejak saat itu aku berpindah-pindah, Mas. Suatu hari aku kembali ke sana, aku begitu ingin melihatmu. Saat itu kamu sudah menikah, Mas. Istrimu cantik,” dia tersenyum, “Kamu beruntung memiliki istri secantik itu, kalian sungguh serasi. Aku turut bahagia melihatmu bahagia, Mas. Lalu aku pergi dan bertekad akan memulai hidupku di tempat lain. Hingga aku tiba di desa ini. Alvin tumbuh menjadi anak yang pintar, dia tampan, Mas, dia juga baik. Aku harap dia menjadi anak yang baik hingga dewasa nanti.” Tangis masih membasahi pipi Asih, namun sejumput senyum telah mewarnai bibir merahnya. Bibir yang tak pernah kubayangkan dulu, namun kini sanggup kubayangkan.
“Bayu sudah mati, apakah kamu tahu itu, Sih?” tanyaku tanpa bermaksud membuka luka lama di hati Asih, dia harus tahu, bila laki-laki yang merusak masa depannya itu telah mati karena tersengat listrik saat memperbaiki kabel di rumahnya. Entah itu buah dari perbuatannya atau bukan, tapi dia mendapat ganjarannya, meski tak akan mampu membuat masa depan Asih kembali. Asih telah kehilangan keluarganya, dikucilkan, bahkan diusir dan tidak diakui. Hidup seorang diri, terlunta-lunta selama lima belas tahun, bagaimana mungkin ayahnya begitu tega melakukan ini pada Asih. Dan bagaimana mungkin aku sampai tidak tahu hal ini!!! Teman seperti apa aku!!
“Tidak, Mas. Aku tidak tahu, aku tidak ingin mengetahui kabar laki-laki itu lagi. Aku tidak pernah memberitahu Alvin siapa ayahnya, karena aku sendiri tidak tahu dia anak siapa, Bayu atau temannya.” Wajah Asih begitu mendung, kurasakan kesedihan dalam sorot matanya. Dia pasti sedih karena tidak bisa memberitahu Alvin siapa sebenarnya ayahnya, setiap anak di dunia ini pasti ingin tahu siapa sebenarnya ayah kandung mereka, meski mereka terlahir di dunia dengan cara yang tak diinginkan sekalipun.
“Alvin adalah anakku, Sih,” kataku pelan namun jelas terdengar oleh Asih. Kutatap matanya yang mendongak memandangiku dengan penuh kebingungan.
“Aku tidak mengerti, Mas...”
“Katakan pada Alvin, aku adalah ayahnya. Aku ingin menjadi ayahnya, bila kau bersedia... menjadi istriku,” pintaku tulus. Wanita ini... mengapa butuh berjuta cobaan agar aku menyadari bila dia adalah wanita yang tepat bagiku? Wanita yang kuinginkan, untuk hatiku, untuk hidupku.
“Mas...”
“Katakan, Sih... Bila aku masih cukup pantas untuk mendampingimu, aku berjanji, aku akan bersungguh-sungguh, aku akan bangkit lagi. Aku sanggup, aku akan membuat kita bahagia, aku akan membuatmu dan Alvin bangga, bila aku adalah ayah dan suami yang baik, bagi kalian.”
Asih menangis lagi, namun bukan kesedihan yang terpancar dari wajahnya kini, melainkan kelegaan yang menguap keluar, menularkan padaku, membuat hatiku ikut lega dan bersyukur semua masalah yang kualami akhirnya menuntunku pada cinta sejatiku. Achintya Nurasih.
Lima Tahun Kemudian
Hari ini adalah hari yang kami tunggu-tunggu sekeluarga. Untuk pertama kalinya setelah setahunan menunggu, rumah yang kami bangun akhirnya rampung sudah. Meski tidak semewah rumah-rumahku dulu, namun rumah ini adalah hasil jerih payahku selama lima tahun belakangan, di samping memperbesar usaha yang kurintis lagi dari nol setelah kejatuhanku.
Bersama Asih, Alvin dan buah hati kami Alina yang baru berusia delapan bulan, Ibu dan adik-adikku beserta pacar mereka, juga ikut berfoto di depan photographer yang khusus kupanggil untuk mengabadikan momen indah ini.
Pada hari ini tepat lima tahun yang lalu, Asih menerima lamaranku di depan penghulu. Hari dimana kami akhirnya resmi menjadi suami istri.
Kita tidak akan pernah tahu rencana apa yang dipersiapkan bagi setiap kita oleh-NYA. Hanya cobaan dan rintangan yang mampu membuat mata hati dan mata fisik kita untuk melihat mana yang baik dan mana yang buruk. Setiap cobaan pasti ada alasan di balik semua itu. Seperti rangkaian senyum yang kulihat pada bibir-bibir orang-orang yang kucintai, mereka adalah hidupku.
Pada Asih yang menatapku penuh cinta, wanita yang mampu mendukung riuh rendahku, pada Alvin yang kini remaja, dia adalah anak yang hebat. Dia bahkan telah memanggilku Papa, membuat hatiku mengembang hangat tiap kali anak ini menyebutnya. Pada tatap bahagia ibuku, pada adik-adikku yang penuh hormat pada kakak dan kakak iparnya. Pada Alina... anak perempuanku, buah hati kami semua. Tak bisa kuharapkan kebahagiaan melebihi ini. Aku bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berubah, untuk memperbaiki semua kesalahan.
Yang dulu biarlah berlalu, akan kurajut masa depanku bersama orang-orang yang mencintaiku dengan tulus, orang-orang yang berarti bagiku. Di dalam senyum merekalah aku hidup. Mereka lah matahariku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H