Dalam hidup, luka batin dan kekecewaan merupakan suatu hal yang tak dapat kita hindari. Namun, dengan begitu apakah kita harus tenggelam dalam rasa sakit yang berlarut-larut? Beberapa diantara dari sekian banyaknnya orang yang hidup di zaman sekarang ini, mencari cara untuk menyembuhkan diri dari luka batin adalah sebuah bentuk responsif terhadap suatu tekanan yang ada dalam di kehidupan, baik yang datangnya dari hubungan, pekerjaan, atau lingkungan sosial, bahkan juga termasuk peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu. Luka batin pada seseorang sering kali melibatkan perasaan sakit yang mendalam, seperti perasaan kecewa, kehilangan, atau perasaan tidak diterima, yang bisa berdampak pada kesejahteraan emosional dalam diri seseorang. Dalam kondisi ini, upaya untuk penyembuhan atau healing menjadi hal yang penting agar seseorang dapat mencapai kedamaian batin, menemukan kembali harga dirinya, serta membangun sikap yang positif terhadap masa yang akan datang.
Filsafat Stoik yang muncul dari masa Yunani Kuno di Athena pada awal abad ke-3 SM, menawarkan perspektif yang berbeda dalam menghadapi penderitaan, yaitu melalui seuah proses yang kita kenal sebagai healing atau penerimaan diri. Filsafat Stoik mengajarkan kepada kita bahwa kedamaian batin itu datang dari kemampuan dalam diri kita bagaimana cara kita merespons dan memahami situasi tersebut dengan apa adanya serta memfokuskan diri kepada hal-hal yang berada dalam kendali kita. Konsep ini dikenal sebagai Dikotomi Kendali, di mana kita belajar membedakan hal-hal yang bisa kita kendalikan dari yang tidak bisa kita kendalikan.
Prinsip utama Stoikisme menekankan bahwa untuk mendapatkan perasaan yang tenang dan damai tidak akan bisa dicapai dengan menghindari masalah, melainkan dengan mengubah cara pandang kita terhadap masalah tersebut. Bagi para filsuf Stoik, kehidupan dipenuhi oleh tantangan juga penderitaan, yang pada dasarnya merupakan bagian alami dari eksistensi manusia. Dari sinilah kita dapat memahami bahwa makna healing yang sebenarnya bukan tentang menghapus luka, akan tetapi tentang bagaimana cara kita menerima dan mengelolanya dengan bijaksana.
Di dalam paham Stoikisme healing itu dianggap seperti perjalanan untuk kembali pada diri kita sendiri dengan sadar. Epictetus, seorang filsuf Stoik, mengingatkan kita bahwa penderitaan berasal dari penilaian yang kita buat terhadap peristiwa, bukan dari peristiwa itu sendiri. Artinya, alih-alih menolak atau menyangkal luka yang kita alami, kita bisa memilih untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Bayangkan saja jika kita sedang mengalami kegagalan dalam karier atau pendidikan. Daripada berlarut dalam rasa sakit itu, stoikisme akan mengajak kita untuk melihat kegagalan tersebut sebagai pelajaran dan bukan sebagai akhir dari segalanya. Dalam hal ini, healing bisa menjadi sebuah proses pemulihan disertai sikap yang bijaksana.
Penerimaan diri dalam Stoikisme bukan berarti hanya pasrah saja dan tanpa usaha, akan tetapi menerima diri sendiri secara utuh tentang hal baik dan buruknya. Marcus Aurelius, kaisar romawi yang juga seorang filsuf kaum stoik, menuliskannya dalam Meditations tentang pentingnya menerima diri dan bekerja untuk memperbaiki apa yang kita bisa tanpa terus-menerus merasa rendah diri atau menyesali apa yang sudah terjadi.
Jalanilah hidup sesuai dengan kenyataan yang ada, bukan berdasarkan pada harapan atau tuntutan dari orang lain.
Kita bisa melatih diri kita menjadi stoik agar bisa lebih menerima diri dengan membayangkan bila kita kehilangan hal-hal yang paling kita sayangi atau sesuatu yang kita inginkan. Latihan ini membantu kita memahami bahwa setiap hal yang bersifat sementara dan membantu kita lebih menghargai apa yang kita miliki. Di ujung hari, cobalah meluangkan waktu untuk merenungkan apa yang telah kita lakukan dan bagaimana kita bereaksi terhadap berbagai situasi. Hal ini juga dapat membantu kita menyadari apa yang perlu diperbaiki tanpa merasa terlalu keras pada diri sendiri.
Healing, dalam Stoikisme mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya di setiap luka itu adalah guru yang membawa kita untuk lebih dekat pada sikap yang bijaksana. Saat kita bisa menerima luka menjadi bagian dari perjalanan hidup, kita mampu merangkulnya dengan lebih positif. Alih-alih terjebak dalam penderitaan, kita bisa belajar menerima dan mengelolanya, kemudian bertumbuh dan menjadi manusia yang lebih bijaksana.
Filsafat Stoik memberi kita pelajaran bahwa healing dan penerimaan diri tidak hanya tentang meredakan rasa sakit akan tetapi juga tentang cara membentuk diri kita menjadi sosok yang lebih kuat dan bijaksana dengan mengelola luka sebagai sumber pembelajaran, kita bisa memetik makna mendalam dari setiap peristiwa dalm hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H