Terdapat dua jenis ketimpangan yang menjadi pusat perhatian, yaitu ketimpangan distribusi pendapatan dan ketimpangan antar daerah. Ketimpangan distribusi pendapatan antargolongan pendapatan diukur dengan indeks Gini dan berapa kue nasional yang dinikmati 40 persen golongan pendapatan terendah. Ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin lebar tercermin dari rasio Gini yang meningkat dari 0,33 (2002) ke 0,41 (2011) dan berada pada angka 0,41 (BPS, 2015). Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40% penduduk golongan terendah justru diikuti kenaikan kue nasional yang dinikmati 20% kelompok terkaya, dari 42,2% (2002) menjadi 48,42% (2011) dan bahkan 48,27% (2014). Sementara kelompok 40% penduduk golongan menengah mengalami penurunan kue nasional dari 36,9% (2002) menjadi 34,7% (2011) dan 34,6% (2014).
(Artikel Prof. Mudrajad Kuncoro di EB News: Trickle Down Effect dan Unbalanced Growth)
Ketimpangan distribusi pendapatan maupun ketimpangan distribusi antar daerah bukanlah hal yang asing di Indonesia. Cerita lama. Namun, tak bosan-bosannya terus digaungkan. Data BPS hingga triwulan IV 2015 menunjukkan struktur perekonomian di Indonesia masih didominasi di Pulau Jawa dengan kontribusi Produk Nasional Bruto (PDB) sebesar 57,9%, yang disusul Sumatera (22%), Kalimantan (9,1%), Sulawesi (5,6%), Bali dan Nusa Tenggara (2,9%) dan Maluku dan Papua (1,9%). Pangsa pembangunan pun sekitar 80% berada di wilayah barat Indonesia.
Dalam rangka mengatasi keterbelakangan ekonomi ini dikenal adanya istilah trickle down effect(efek menetes ke bawah). Singkatnya, pengertian trickle down effect adalah kegiatan ekonomi yang lebih besar diharapkan dapat memberikan efek terhadap kegiatan ekonomi di bawahnya yang memiliki lingkup yang lebih kecil. Namun, pada kenyataannya teori ini sudah tidak berjalan seperti sebagaimana mestinya. Kenyataannya yang terjadi justru trickle up effect atau efek muncrat ke atas. Orang-orang kaya cenderung lebih mendapatkan kemudahan secara ekonomi, justru lupa untuk membangun perekonomian kecil yang berada di bawahnya. Akibatnya, yang kaya menjadi semakin kaya, dan yang miskin menjadi semakin miskin. Oleh karena itu, pembagian kue pambangunan pun justru semakin dinikmati oleh kalangan atas.
Berbagai daerah pun sudah merasakan dampak ketimpangan ini. Alih-alih untuk mensejahterakan, yang terjadi justru sebaliknya. Keran investasi yang terbuka lebar seyogyanya juga perlu memiliki batasan-batasan. Investasi yang besar memang bisa meningkatkan pendapatan daerah. Tapi nyatanya, pembangunan ekonomi di suatu daerah tidak bisa dilihat hanya sekedar dari PDRB nya saja. Apakah PDRB yang tinggi menandakan bahwa masyarakatnya sudah sejahtera? Tidak sepenuhnya benar. Di beberapa daerah PDRB yang tinggi juga diiringi dengan meningkatnya rasio Gini. Sebutlah saja Provinsi Papua. Menurut data dari BPS Provinsi Papua, PDRB Papua cenderung mengalami peningkatan dari kurun waktu 2011 sampai 2015, yaitu 108.188.756,41 (juta rupiah) pada tahun 2011, 112.812.560,53 (juta rupiah) pada tahun 2012, 122.857.170,47 (juta rupiah) pada tahun 2013, 133.539.410,67 (juta rupiah) pada tahun 2014, dan 152.125.954,94 (juta rupiah) pada tahun 2015 (PDRB atas dasar harga berlaku). Sementara untuk rasio Gini dari rentang tahun 2011-2015 sebesar 0,39, 0,44, 0,41, 0,41, dan 0,42. Dari data tersebut terlihat cenderung tidak mengalami perubahan signifikan, bahkan mengalami kenaikan pada tahun 2012 dan 2015.
Rasio Gini yang semakin besar menandakan bahwa ketimpangan di daerah tersebut semakin melebar. Di satu sisi masyarakat dipertontonkan dengan gaya hidup sebagian kalangan yang terlihat amat mewah, sementara di sisi lain masih banyak masyarakat yang sebagian besar dari pendapatannya hanya digunakan untuk konsumsi kebutuhan pokok sehari-hari. Jangan terlalu jauh bermimpi untuk memiliki gaya hidup seperti itu. Hal ini tentunya seringkali menimbulkan kecemburuan sosial dan keinginan yang tinggi untuk dapat bergaya hidup mewah, padahal pemasukan tak memadai alias besar pasak daripada tiang.
Sadar atau tidak sadar, fenomena ini juga berimplikasi pada tatanan hidup masyarakat yang cenderung terlihat semakin hedonis. Banyak orangtua dipaksa untuk bekerja lebih demi memenuhi keinginan sang anak untuk memiliki gadgetterbaru seperti milik teman-temannya di sekolah, kendaraan yang bagus, pakaian dengan mode terkini, dan sebagainya. Untuk kasus yang lebih ekstrem, bahkan ada sebagian orang yang merelakan jatah makannya dikurangi hanya demi membeli gadgetatau membayar cicilan mobil misalnya.
Pada dasarnya, trickle down effect barangkali sudah tidak lagi relevan dengan kondisi perekonomian di Indonesia. Perusahaan besar yang diharapkan bisa memberi dampak langsung terhadap usaha-usaha kecil yang ada di bawahnya seakan “melepas tanggungjawab”. Padahal usaha-usaha skala kecil justru merupakan usaha yang paling bisa bertahan ketika krisis ekonomi melanda, sementara perusahaan besar justru mengalami kebangkrutan dan melakukan PHK terhadap karyawan-karyawannya – yang tentunya justru semakin menambah jumlah pengangguran.
Kemudahan menjalankan usaha hendaknya juga didapatkan oleh pengusaha-pengusaha kecil. Akses terhadap modal seringkali dikeluhkan para pengusaha, terutama yang baru akan memulai. Belum lagi resiko bangkrut yang dapat terjadi kapan saja. Pemerintah daerah setempat juga seharusnya memberikan bantuan dalam hal pendampingan, penyediaan faktor-faktor produksi, serta pemasaran. Maraknya produk-produk dari luar daerah yang masuk dengan harga yang lebih murah – karena faktor produksi barang impor yang cenderung terjangkau, kadangkala menyebabkan usaha-usaha kecil di daerah tidak bisa bersaing. Meskipun juga masih banyak faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi.
Jangan lupakan ekonomi masyarakat kecil. Mari budayakan ekonomi kerakyatan.
Semoga bermanfaat.