Industri media, terutama media cetak nampaknya akan menghadapi masalah yang serius soal oplah media cetak. Kemajuan teknologi terutama di bidang komunikasi dan informasi, membuat media - media online tumbuh pesat, dan seolah mampu menggantikan fungsi media cetak. Masalah ini sangat serius dimana oplah yang berujung pada tingkat penjualan media cetak adalah menjadi roda penggerak industri media cetak. Semakin rendah oplah Media cetak maka keberlangsungan Industri Media tersebut semakin terancam, karena salah satu pemasukan Industri ini adalah dari penjualan itu sendiri, dan juga Iklan. Menyinggung soal Iklan, oplah juga sangat berpengaruh, karena tentu pihak pengiklan akan berpikir ulang memasang iklan di media cetak yang kini semakin meredup secara perlahan.
Permasalahan ini butuh respon yang serius dari para pelaku industri media cetak dan solusi yang tepat guna mempertahankan Industri Media Cetak. Hal ini sebenarnya sudah banyak dirasakan media - media cetak di luar negeri, terutama di Amerika Serikat. Menurut data yang dilansir pihak Biro Audit Sirkulasi ABC (sebuah kantor berita Amerika) pada tahun 2010, oplah koran di Amerika mengalami penurunan yang signifikan, dengan data sebagai berikut USA Today mengalami penurunan oplah 13,58 persen menjadi 1,83 juta eksemplar per hari, The Los Angeles Times turun 14,74 persen (616.606 eksemplar per hari), dan Washington Post turun 13,06 (578.482 eksemplar per hari), The New York Times melemah 8,47 persen (951.063 eksemplar per hari).
Banyak survei yang dilakukan untuk mencoba memecahkan permasalahan ini, dan mencoba melihat lebih detail permasalahan apa yang dialami hingga membuat oplah Koran turun. Konvergensi media yang terjadi akhir - akhir ini menjadi salah satu penyebab utama para pembaca mengalihkan sarana untuk mendapatkan berita. Koran dulunya dianggap sebagai sumber informasi utama, kini sudah tak dirasakan demikian. Perkembangan media elektronik, terutama media online membuat masyarakat kini lebih memilih mengakses informasi dari media tersebut karena lebih murah dan cepat. Media cetak benar - benar menghadapi persoalan yang serius karena turunnya oplah berarti turunnya iklan dan hal ini tentu akan mengancam keberlansungan hidup media tersebut. Memang masalah ini seperti mata rantai yang membentuk lingkaran, dimana biaya cetak tinggi, dan harga kertas yang terus meningkat membuat media cetak terutama Koran harus bisa mempertahankan penjualannya, karena jika oplah terus menurun imbas yang dirasakan adalah mereka tidak "balik modal" karena harus menutupi biaya produksi, disamping itu menurunnya oplah akan membuat media cetak sepi iklan, dan hal ini tentu menjadi dilema tersendiri dalam industri media cetak. Iklan di media cetakpun seakan kini sudah ketinggalan jaman dan dianggap menjadi cara - cara yang sangat konservatif, dari data yang dilansir Suara Merdeka, iklan media online meningkat tajam hingga 400%, hal ini membuat media online tumbuh subur, dan perlahan semakin menggerus media cetak.
Ramalan Philip Meyer, sang penulis The Vanishing Newspaper mungkin akan benar terjadi, media cetak akan benar - benar mati pada tahun 2040. Hal ini tentu tidak hanya isu belaka, melihat semakin merosotnya oplah media cetak dekade terakhir ini, tentu ramalan Meyer hanya tinggal menunggu waktu saja. Dari hasil wawancara saya dengan Pemimpin Redaksi mingguan Minggu Pagi Drs. Sihono HT Msi, beliau sendiri mengungkapkan kegelisahannya akan nasib media cetak selanjutnya. Minggu Pagi, sebuah mingguan lokal di Jogja dalam dua dekade terakhir mengalami penurunan oplah hingga 75%. Hal ini menjadi masalah yang sangat berat, mengingat jika oplah terus menurun ke-depannya, tentu media yang sudah berdiri 64 tahun ini akan terancam gulung tikar. Pak Sihono menjelaskan harus ada inovasi yang efektif untuk menghadapi perubahan yang terjadi dalam masalah konvergensi media, bahkan jika perlu media cetak tak perlu lagi dijual tetapi diedarkan secara gratis. Hal ini tentu belum bisa diterapkan secara langsung di media - media cetak di Indonesia, terutama pada media yang dianggap telah lama eksis dengan sistem manajemen yang sudah menjadi cirinya masing - masing. Peredaran koran gratis sebenarnya bukan hal yang baru, bahkan pada tahun 1947 Dean Lesher menerbitkan koran gratis Contra Costa Times di California AS. Tapi nampaknya ide Lesher akan menjadi solusi tersendiri untuk menghadapi ketatnya persaingan medium informasi saat ini.
Perubahan yang terjadi dalam dunia jurnalisme hendaknya bukan untuk dilawan atau ditentang, tetapi harus disikapi dengan sikap terbuka menerima perubahan tersebut dan menyesuaikannya, tanpa harus merubah ideologi jurnalisme itu sendiri. Perubahan dalam bidang teknologi dan informasi memang merambah ke segala bidang di dunia ini, termasuk dunia pers. Perkembangan tersebut tentu harus kita maknai sebagai sesuatu yang positif dan kita jangan menjadi apatis terhadap perubahan tersebut. Memang kemajuan media online bisa saja menyebabkan industri media mati, dan mungkin akan berdampak buruk bagi sektor ekonomi terutama yang berkaitan langsung dengan industri media cetak. Joko, seorang loper koran di daerah Babarsari yang sudah puluhan tahun membuka kios koran dan majalah merasakan betul dampak penurunan oplah media cetak. Perlahan - lahan para pembelinya semakin berkurang, dan koran harian yang ia jual belum tentu habis dalam satu hari. Padahal ini adalah mata pencaharian utama Joko, dan dengan hasil dari pekerjaan ini ia membiayai tiga orang anaknya. Ini hanya satu dari ratusan atau mungkin ribuan loper koran yang ada di daerah Yogyakarta. Media cetak yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu memang telah membuat suatu sistem ekonomi tersendiri, dan banyak melibatkan Sumber Daya Manusia baik dalam proses produksi hingga distribusinya.
Permasalahan media cetak semakin menjadi kompleks, oplah hanyalah satu dari sekian masalah yang dihadapi media cetak pada masa ini. Beberapa media cetak mencoba untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi, guna menanggapi permasalahan yang terjadi. Kompas misalnya, harian nasional yang sudah puluhan tahun terbit di negeri ini, perlahan mulai merambah sektor media online, dengan kompas.com dan menyajikan harian dalam bentuk electronic paper atau yang akrab kita sebut e-paper, bahkan kompas juga memfasilitasi masyarakat untuk dapat terlibat dalam proses jurnalistik dengan membuat kompasiana, hal ini menjadikan proses citizen journalismsemakin terasa nyata. Hal ini tentu sebuah inovasi yang baru, guna menjawab tantangan perubahan yang ada. Kompas mungkin menjadi salah satu media yang mampu beradaptasi dan terus bertahan dalam perubahan - perubahan yang ada, tetapi hal ini belum bisa dilakukan oleh media cetak lainnya dengan baik, atau bahkan sama sekali belum dilakukan. Media cetak lokal misalnya, dengan keterbatasan di bidang Sumber Daya Manusia dan juga dana, membuat mereka sulit untuk melakukan ekspansi ke dunia media online. Kedaulatan Rakyat Group misalnya, sebuah industri media cetak yang cukup merajai wilayah Yogyakarta, tidak mampu menghadapi persoalan ini dengan baik. Tiga media cetak di bawah Kedaulatan Rakyat Group yaitu Harian Kedaulatan Rakyat, Harian Merapi, dan Mingguan Minggu pagi, dari ketiga Media cetak tersebut hanya Harian Kedaulatan Rakyat yang portal on line-nya dapat diakses, Harian Merapi, dan Mingguan Minggu Pagi portal on line-nya tidak dapat diakses. Hal ini menunjukan bahwa tidak semua media cetak mampu menghadapi perubahan. Padahal jika mereka tidak segera menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang kini telah ditunjang berbagai teknologi canggih, mereka akan ditinggalkan.
Oplah media cetak semakin hari, semakin menurun, tentu para pelaku media cetak tidak dapat tinggal diam menghadapi persoalan ini. Mereka harus terus mencari inovasi untuk menjawab perubahan yang ada, atau media cetak benar akan mati seperti yang diramalkan Philip Meyer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H