Kisruh PSSI semakin menjadi - jadi, ironis memang sebuah lembaga Sepak Bola yang paling tinggi di negeri ini menjadi lahan politik dan ekonomi. Tentu kita semua tahu kedok petinggi PSSI yang memakai embel - embel akan memajukan sepak bola negeri ini, tetapi justru merusak induk organisasi tertinggi sepak bola negeri ini. Misal dalam bursa calon pemimpin PSSI, jelas aturan FIFA tidak memperkenankan mantan narapidana untuk mencalonkan diri, apalagi menjadi ketua Induk organisasi sepak bola, tetapi kenyataannya Nurdin Halid sang penguasa tetap saja melenggang ke bursa calon ketua PSSI, tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun, bahkan Nurdin mengklaim cacian terhadap dirinya hanyalah usaha untuk menjatuhkan dirinya, yang disokong oleh pihak - pihak yang tidak senang dengan kemajuan sepak bola tanah air, statement yang sangat berani memang.
Bobrok mental petinggi PSSI tak hanya sampai disitu, setidaknya ada beberapa hal yang sudah diketahui publik, diantaranya Kongres PSSI bulan lalu yang tertutup yang diindikasikan adanya rencana untuk melanjutkan kekuasaan Nurdin dalam kongres tersebut, dan yang paling baru adalah informasi dari duta besar Indonesia untuk Swiss, Djoko Susilo, yang mengatakan bahwa sebenarnya FIFA melayangkan surat kepada PSSI untuk melarang Nurdin Halid menjabat sebagai ketua umum PSSI sejak 2007 , tetapi ternyata surat itu disembunyikan oleh pihak Nurdin Halid dan petinggi PSSI, sehingga mereka tetap bisa berkuasa. Jika melihat dari sisi etika saja, tentu hal itu sangat tidak mencerminkan sikap seorang pemimpin, bahkan etika manusia yang bermartabat sekalipun. Pemerintah terkesan lambat dalam menangani kasus ini, hingga akhirnya rakyatpun menekan Menteri Olah Raga dan Pemuda untuk segera menuntaskan kasus ini, dan juga menekan PSSI itu sendiri untuk melakukan revolusi di tubuh organisasinya.
Mari kita lihat mengapa mereka bersikukuh mempertahankan posisinya di induk organisasi sepak bola tersebut. PSSI adalah ladang basah bagi para koruptor, tidak tanggung - tanggung setiap tahunnya uang yang masuk kedalam organisasi ini lebih dari Rp 40 miliar (dana dari pihak sponsor sebesar Rp 27,5 miliar, subsidi FIFA Rp 2,2 miliar, pendaftaran pemain asing sekitar Rp 4,5 miliar, dan denda pelanggaran indisipliner yang tahun lalu mencapai sekitar Rp 4,5 miliar). Dana itupun belum termasuk sebesar Rp 27,5 miliar, subsidi FIFA Rp 2,2 miliar, pendaftaran pemain asing sekitar Rp 4,5 miliar, dan denda pelanggaran indisipliner yang tahun lalu mencapai sekitar Rp 4,5 miliar yang berasal dari subsidi pemerintah, dan APBD dari tiap klub yang bermain di Liga Super Indonesia, juga belum dari pemasukan tiket event - event seperti piala AFF tempo lalu. Jelas hal ini membuat organisasi tersebut kaya. Selain itu faktor lain adalah adanya campur tangan politik dalam Organisasi ini, dimana kita tahu sepak bola adalah olah raga yang digemari seluruh lapisan masyarakat, sepak bola mampu mempersatukan ribuan, bahkan jutaan orang, di segala penjuru, sehingga hal inilah yang membuat para politikus tergiur untuk menguasainya. PSSI seperti lahan potensial bagi yang menguasainya baik itu dari segi politik, ekonomi, dan sumber daya manusia. Pantas saja Nurdin enggan turun dari kursi empuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H