Dalam buku yang ditulis oleh Hart pada tahun 1963 yang berjudul law, liberty and morality, menjelaskan tentang perdebatan permikiran antara Mill yaitu seorang ahli filsafat dan Devlin seorang hakim, yang mana dalam perdebatannya Mill menyatakan bahwa kekuaasan negara itu bisa bertindak dengan benar kepada rakyatnya  jika ia  membuat peraturan yang bisa melindungi rakyatnya dari kerugian. Maksudnya ialah sebuah negara tidak dibenarkan membuat peraturan tertentu yang sifatnya melarang atau membatasi kebebasan warga negaranya, tatkala ia tidak merugikan orang lain atau dalam istilah lainya yaitu harm to others. Pendapat ini kemudian ditentang oleh dua penggagas hukum, salah satunya ialah Devlin yang dimuat di dalam bukunya Hart. Ia menyatakan bahwa negara itu bisa merumuskan aturan yang melarang perbuatan tertentu yang sifatnya tidak harus merugikan orang lain, akan tetapi juga bisa juga digunakan melindungi moralitas publik yang sudah dianggap baik oleh masyarakat. Oleh sebab itu, larangan terhadap perbuatan tertentu tidak harus mengandung unsur merugikan orang lain, akan tetapi juga bisa perbuatan itu melanggar moral-moral publik yang sudah diakui kebenarannya oleh masyarakat.
Perdebatan tersebut berdampak besar pada undang-undang di Inggris yang melarang upaya bunuh diri dan homoseksualitas. Sebab  bunuh diri bukanlah tindakan yang merugikan orang lain, namun tindakan tersebut bisa dilarang. Meski perbuatan tersebut tidak merugikan orang lain, namun menurut Devlin, tindakan tersebut menyinggung moralitas masyarakat. Jadi orang yang ingin bunuh diri bisa dihukum. Termasuk kaum homoseksual, meski pelaku kekerasan boleh memilih pasangan sesama jenis, menurut Mill, negara tidak boleh melarang karena tidak merugikan orang lain. Namun menurut Devlin, tindakan tersebut merupakan tindakan yang menyinggung moral masyarakat di Inggris saat itu.
Setelah dipelajari sebuah Putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam peristiwa Obergefell v. Hodges. Melalui Putusan Supreme Court, Amerika Serikat membuat sejarah baru. Supreme Court menggagaskan bahwa pasangan sesama jenis mempunyai hak konstitusional untuk malaksanakan perkawinan. Salah satu perihal yang dipertimbangkan dalam putusannya adalah kekuasaan pokok untuk memilih pasangan pribadi. Sebelum ditetapkannya legalitas, terdapat perdebatan dari 9 orang hakim, yang mana 5 hakim setuju dengan homoseksual, berlandasakan asas kebebasan (liberty), sedangkan 4 lainnya menolak, sebab melanggar moral masyarakat.
Awal mula kasus legalitas homoseksual ini ialah karena adanya seorang pasangan homoseksual yang sampai mereka tua tapi tidak kunjung mendapatkan legalitas dari pemerintah. Setelah mengajukan ke pengadilan dan sampai ke Supreme Court, akhirnya diputuskan secara legal. Setelah turunnya putusan itu, ternyata salah satu pasangannya sudah meninggal. Akhirnya pasangan yang masih hidup merayakan kemenangannya, ini sebagai bukti bahwa pasangan sejenisnya telah dilegalkan oleh konstitusi Amerika Serikat pada tahun 2015.
Sebelum tahun 2015, perkawinan sesama jenis tetap dilarang dan tidak diakui keberadaannya di Amerika. Hal ini disebabkan menurut agama manapun namanya perkawinan definisinya ialah hubungan laki-laki dan perempuan. Di samping itu, sebagian besar orang beranggapan bahwa homoseksual adalah sebuah penyakit, bahkan menurut buku Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental yang diterbitkan American Psychiatric Association pada tahun 1952, homoseksual diklasifikasikan sebagai gangguan mental. Namun pasca tahun 1973, hal itu dianggap wajar. Keputusan yang dibuat oleh negara super power atau adidaya tersebut, mempunyai pengaruh besar ke negara lain.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terpengaruh. Sebab dahulu para penggiat homoseksual di Indonesia yang tidak mau menunjukan taringnya, namun setelah turunnya keputusan legalitas. Mereka berani menunjukan taringnya dan menyuarakan aspirasinya terhadap legalitas perkawin sesama jenis di Indonesia, alasannya ialah sama seperti lima hakim dalam Supreme Court tersebut, yaitu  kebebasan (liberty), dan negara baru boleh melarang jika perbuatan tersebut dapat merugikan orang lain.
Terkait dengan diskursus antara kebebasan dan moralitas, kemudian menghubungkannya dengan hukum pidana. Hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial, yang mempunyai tujuan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat, hukum pidana bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Dalam hukum pidana kebijakan harus dilakukan secara intergratif, sebab ia mempunyai kelemahan. Jika diibaratkan obat maka ia hanya mampu mengobati gejalanya saja, bukan sampai akar penyakitnya. Misalnya adalah banyaknya pelaku tindakan tetorisme yang dihukum mati, namun perbuatan itu masih sering terjadi, begitu juga bandar narkoba yang dihukum mati, namun pelakunya yang lainnya msh ada. Ini merupakan bukti dari kelamahan hukum pidana.
Terkait kebijakan penal (Penal Policy), kriminalisasi menjadi bagian dari politik hukum pidana khususnya pada kebijakan legislatif atau formulatif. Tahap formulatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya karena pada tahap ini akan ditentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang akan dijadikan sebagai tindak pidana. Kriminalisasi sendiri merupakan proses penetapan suatu perbuatan yang awalnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang yang mengancam perbuatan tersebut dengan sanksi pidana. Aspek krusial dalam melakukan kriminalisasi adalah menentukan kriteria atau ukuran yang menjadi dasar perlu tidaknya suatu perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana. Ia merupakan proses yang menjadikan suatu perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Dulu terorisme bukanlah tindakan pidana, namun setelah diproses maka menjadi tindakan pidana.
Karena itulah, sangat menarik jika mencermati Putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam kasus Obergefell v. Hodges. Sebab ada empat hakim  yang memiliki pendapat berbeda. Banyak yang menilai putusan tersebut merupakan hasil pertarungan pemikiran antara liberalisme v. konservatisme atau bisa juga disebut kebebasan v. moralitas. Lima hakim mayoritas menyuarakan paham liberalisme atau pendukung kebebasan, sementara empat hakim minoritas menyuarakan paham konservatisme yang masih berpegang pada prinsip perkawinan tradisional yang berdasar pada moralitas agama. Perdebatan ini hampir sama dengan perdebatan Mill dan Devlin.
Dalam konteks Indonesia, hukum harus didasarkan pada nilai-nilai yang bersumber dari Pancasila, yaitu nilai moral-religius, nilai kemanusiaan, dan nilai kemasyarakatan. Pancasila bukan hanya merupakan norma dasar (grundnorm) akan tetapi lebih mendasar dari itu sebagai nilai-nilai dasar (grundwerten). Atas dasar itulah, maka Hukum Indonesia seharusnya tidak sekuler, namun hukum yang berketuhanan sebagai pengejawantahan Sila Pertama Pancasila. Hukum negara-negara barat yang cenderung sekuler bisa digunakan sebagai perbandingan dan bisa diakomodasi sepanjang tidak bertentangan dengan moral Pancasila.
Jika pancasila itu dikaji dengan menghubungkan teori piramida, maka dari sila pertama sampai sila terakhir sesungguhnya bersifat hirarkis. Sila pertama merupakan ruh dari pancasila, sementara empat sila yang lain  merupakan jasadnya. Jika pancasila kehilangan sila pertama, maka diibaratkan seperti manusia tanpa ruh. Oleh karena itu memahami sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab harus dikaitkan dengan sila pertama.  Artinya ialah kemanusian yang adil dan beradab dapat dipahami bahwa pemerintah negara berkewajiban menjaga terselengaranya kehidupan yang beradab atau bermoral berdasarkan nilai-nilai ketuhanan yang Maha Esa, sehingga nilai hukum yang berada di Indonesia harus mendasarkan kepada moralitas nilai agama. Oleh sebab itu, hukum pidana Belanda atau KUHP tidaklah cocok untuk masyarakat Indonesia, sebab filsafatnya sudah berbeda, bukan liberty namun moralitas yang bersumber kepada ketuhanan yang Maha Esa. Karena itulah, moralitas bangsa ini perlu dijaga, agar identitas bangsa indonesia tidak hilang.