Hakikat Pembuat Undang-Undang dan penegak hukum di Indonesia kunci mendasar pada moralitas dari nilai (baik atau buruk) adalah inti dari setiap sistem moral. Ada pengaruh timbal balik antara hukum dan moral dalam berbagai aspek kehidupan manusia, ada kontribusi moral terhadap hukum dan kontribusi hukum terhadap moral. Moralitas dalam suatu masyarakat juga mempengaruhi produk hukum, sedangkan hukum mempengaruhi pandangan baik dan buruk masyarakat tersebut. Hukum mengikat semua orang sebagai warga Negara, namun moralitas memperlakukan orang hanya sebagai individu. Salah satu paradigma hukum merupakan nilai sehingga hukum dapat dipandang sebagai figur nilai juga.
Selanjutnya, hukum Islam lebih cenderung ada dalam domain etika atau moral Islam dari pada teologi atau filsafat Islam. Sumber moral Hukum Islam ialah al-Qur'an dan as-Sunnah, di dalamnya terdapat nilai-nilai yang terkandung atau sering disebut dengan istilah maqashid syari'ah (tujuan syari'at). Pencetusnya ialah Imam asy-Syatibi dengan karyanya yang berjudul Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Dalam kitab ini ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqashid syari'ah. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Mashlahat menurutnya yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala bentuk upaya untuk memelihara kelima macam ini dipandang sebagai mashlahat, dan merusaknya adalah mafsadat.
Asy-Syatibi membagi urutan prioritas maslahat menjadi tiga urutan: Pertama dharuriyah, ialah menjamin keamanan dari kelima kebutuhan hidup yang primer. Kedua  hajiyah, yaitu menjamin keperluan hidup. Ketiga  tahsiniyah, ialah menjadikan sesuatu yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan mampu megatur kehidupan yang lebih baik. Dari sinilah dapat diketahui bahwa Hukum Islam diciptakan tidak hanya besandar pada harm to others, akan tetapi lebih luas dari pada itu, yaitu untuk mendapatkan kemaslahatan dan mencegah dari kemadharatan. Ukuran kemashlahatan dan kemadharatan tersebut adalah terlindunginya kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannya terutama kebutuhan primer yang menyangkut agama, jiwa, keturunan dan kehormatan, akal, serta harta. Sebagai contoh, kenapa perzinahan dilarang padahal tidak merugikan orang lain? Tentu jawabannya karena menyangkut perlindungan terhadap keturunan dan kehormatan. Tanpanya manusia akan kehilangan martabatnya. Itulah moralitas Islam.
Perbuatan amoral yang bertentangan dengan moral pancasila atau bertentangan dengan kaidah-kaidah semua agama yang diakui di Indonesia, seharusnya dilarang oleh hukum, meskipun perbuatan tersebut tidak merugikan orang lain, sebab landasan hukum itu didasarkan kepada pertimbangan moralitas. Oleh sebab itu, terhadap perbuatan amoral, hukum harus mengambil bagian dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu untuk menegakan moralitas, seperti perzinahan baik heteroseksual maupun homoseksual, percobaan bunuh diri, dan lain sebagainya.
Etika yang merupakan nilai-nilai hidup dan norma-norma serta hukum yang mengatur perilaku manusia. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, Penulis memberikan sekiranya ada dua istilah etika. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil, jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa kita lakukan. Kutipan pendapat Immanuel Kant : "beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah: pertama kebebasan kehendak, kedua imortalitas jiwa, dan ketiga adanya kepercayaan dan keyakinan.
Pada prinsipnya apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis, harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Kebebasan kehendak, imoralitas jiwa, dan adanya dasar kepercayaan dan keyakinan, karena diri kita tidak mempunyai pengetahuan praktis, tanpa terlebih dahulu kita. Selain itu, pangkal dasar pembuat Undang-Undang dan Penegak hukum di Indonesia adalah menyelesaikan problem moral yang kontradiktif antara tuntutan individu (kesadaran eksistensial/motif kewajiban) dan kesadaran sosial (motif kecenderungan).
Dengan mempercayakan diri pada moral pangkal dasar, semua individu dalam suatu komunitas semua sudah baik, maka menjadi baik semua, dan pasti sudah tentu outputnya adalah terwujud dengan nyata.