Mungkin karena ini Jakarta, lirih Firman dalam hati. Sampai sekarang lelaki itu masih belum percaya bahwa dirinya kini sudah berada di Jakarta. Ibu kota negara yang selama ini hanya bisa dia saksikan keberadaannya di film, koran, dan bacaan semasa sekolah.
Teringat lagi dua hari yang lalu, ketika dia mendapat sepucuk amplop tanpa nama pengirim. Agak heran juga, karena biasanya selalu ada alamat dan nama pengirim yang jelas.
Firman memang sangat antusias ingin mengetahui dunia luar dan segala hal yang terjadi di sana. Itulah mengapa dia rajin mengirim surat pembaca ke koran atau majalah. Dua bulan lalu namanya tampil di surat pembaca salah satu koran nasional. Setelah itu, Firman mendapat tiga surat dari pengirim yang berbeda.
Surat pertama dari Ando yang tinggal di Palembang. Ando bercerita banyak soal kota di selatan pulau Sumatera itu. Mulai dari sungai musi yang selalu ramai sepanjang hari, jembatan ampera yang menjadi ikon wisata kota tersebut, hingga pek-mpek, makanan khas di sana. Ando juga membeberkan resep cara membuat pek-mpek di suratnya. Inilah salah satu yang Firman paling senangi dari memiliki sahabat pena.
Surat kedua dari Faisal yang tinggal di kota seribu sungai, Banjarmasin. Tidak beda jauh dari Palembang, di sana juga terdapat pasar terapung yang selalu ramai selepas subuh. Jangan sekali-kali datang lewat dari jam tujuh, karena yang kalian dapati hanya perahu-perahu dengan dagangan yang sudah habis terjual.
Selain pasar terapung, Faisal juga menceritakan tentang pulau kambang yang letaknya tidak jauh dari pasar terapung. Wisatawan yang kembali dari sana biasanya singgah dulu untuk melihat monyet-monyet yang memang sengaja dikembangbiakkan di pulau itu, sebelum akhirnya kembali menyentuh daratan.
Membayangkan itu, membuat Firman semakin menggebu-gebu untuk suatu hari nanti akan mengunjungi kota-kota yang diceritakan sahabat-sahabat penanya tersebut. Maka ketika surat ketiga datang tiga hari yang lalu, berisi sebuah tiket pesawat Palu-Jakarta, Firman tanpa berlama-lama lagi langsung mengepak pakaiannya, sekali pun surat tersebut datang tanpa nama dan alamat pengirim.
Tempat pertama yang ingin Firman kunjungi tentu saja adalah monas. Ikon ibu kota negara yang selama ini selalu dia mimpikan untuk dikunjungi suatu hari nanti. Tidak perlu bertanya ke sana ke mari untuk mengetahui cara menuju tempat bersejarah itu. Sebab, seseorang yang berpakaian koko seperti yang dia kenakan telah lebih dulu menghampiri dan menyapanya.
“Ke monas, Akhi?”
“Iya, Pak.”