Menjamurnya online shop, pengguna vlog, hingga game online beberapa tahun belakangan ini menjadi pertanda meningkatnya interaksi digital di Indonesia, khususnya dalam bidang industri kreatif.
Di era digital seperti sekarang ini memungkinkan orang yang tinggal di Jawa bisa merasakan bawang goreng khas Palu. Mereka yang berdiam di Kendari bisa tahu kekuatan gempa yang terjadi di Aceh. Interaksi digital memungkinkan semua itu. Sayangnya, kemudahan berinteraksi secara digital tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh mereka yang tinggal di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) karena jaringaan komunikasi di sana yang jangankan triji (3G) dapat siji (G) saja susahnya minta ampun.
Saya tahu sebab Alhamdulillah pernah mengalaminya secara langsung ketika diberi kesempatan mengabdi di salah satu pulau terluar negeri ini sebagai sarjana mendidik di daerah 3T (SM-3T). Tidak usah ditanya soal jaringan komunikasi, listrik saja syukur-syukur kalau bisa menyala setengah hari.
Sepenggal kisah di Daerah 3T
Hidup saya yang semula serba otomatis mendadak berubah jadi manual. Mulai dari air, jika biasanya hanya perlu memutar keran untuk memperoleh air, kali ini saya harus berjalan sekian ratus meter untuk mendapatkan air. Itu pun mesti bolak-balik tiga sampai emat kali, solanya tangan saya hanya mampu mengangkut dua gen bervolume 5L saja.
Kemudian listrik, saya yang terbiasa hidup dalam dunia terang benderang tiba-tiba mesti berhadapan dengan kegelapan karena listrik di daerah pengabdian saya termasuk barang langka. Jika biasanya apabila laptop atau ponsel saya kehaabisan daya batrei, saya hanya perlu untuk menyambungkan dengan terminal colokan.Â
Namun di sana, saya mesti menunggu hingga pukul enam sore karena listrik mengalir di jam tersebut hingga enam jam setelahnya. Itu pun lebih sering listriknya mati. Pernah bahkan listrik padam hingga 29 hari. Percaya atau tidak, tapi saya benar-benar menghitungnya! Ibu saya bahkan mengira kalau anak perempuannya saat itu tengah berada di tenda pengungsian, setelah sebelumnya menyaksikan tayangan berita soal kabut asap yang menyelimuti Papua Barat.
Perkara air dan listrik yang langka bukan apa-apa. Saya, yang terbiasa mengabarkan hal apa saja melalui sosial media tiba-tiba merasa hidup di jaman batu. Di daerah asal saya, jangankan setahun, sejam saja hidup tanpa akses internet (semisal kuota habis tanpa disadari) rasanya aneh sekali. Dan kali itu saya mesti rela melewati hari-hari tanpa bersosial media. Sebenarnya bukan hanya perkara sosial media, namun saat itu saya sedang mengikuti kompetisi menulis yang hadiahnya tas, uang tunai, beberapa buku dan (yang paling menarik bagi saya adalah) diterbitkannya tulisan kita.
Kompetisi yang saya ikuti sebelum menginjakkan kaki di tanah Papua itu telah menghadiahi terbitnya cerita saya oleh penerbit sponsor. Namun pengumuman yang berlangsung ketika saya sudah kesulitan mengakses internet lantas menjadi tameng batalnya tulisan saya diterbitkan. Pukpuk.
Belum lagi komunikasi sama ibu dan keluarga, keponakan saya yang lagi lucu-lucunya jadi terhambat karena timbul tenggelamnya sinyal di sana. Lalu kebiasaan saya mengunjungi situs belaja online lantas mengangkutnya ke troli pun benar-benar terhenti dengan sendrinya di kala itu.
Sisi positifnya, saya jadi lebih banyak bercerita secara lisan, lebih banyak mendengarkan, dan lebih mensykuri lagi apa yang pernah saya peroleh yang baru terasa berharganya ketika tidak dapat saya miliki.