Ibu selalu bilang kalau aku gila. Padahal, aku tidak gila, hanya saja pada saat tertentu, terlalu banyak yang melintas di kepalaku. Misalnya ketika berjalan-jalan di sekitar pasar, lantas melihat dua orang anak kecil seumuran keponakanku bergandengan tangan begitu mesra. Kepalaku seolah refleks memutar kata-kata seperti ini: Liat tuh, anak-anak aja sudah gandengan tangan kayak gitu, Kamu kapan? Lantas aku tersenyum. Mengejek diri sendiri yang tak kunjung laku meski sudah hidup selama seperempat abad.
“Dasar gila!” Suara ibuku.
“Aku tidak gila, Bu!” kataku membela diri, “Bagaimana mungkin aku gila, sedang penampilanku se-normal ini, lihat saja sendiri … sepatu bagus, pakaian yang rapi, dan aku mengenakan helm, Bu … bukan kembang sepatu.”
“Tapi kamu tertawa sendiri. Itu apa namanya jika bukan gila!” seru ibu dengan nada tinggi.
Aku diam. Lebih tepatnya memilih diam. Sebab meski kujelaskan, ibu juga tidak akan mengerti. Aku tahu betul seperti apa ibu. Wanita itu selalu menganggapku gila.
Ibu juga sering sekali membanding-bandingkanku dengan anak-anak saudaranya, tetangga, maupun anak teman-temannya. Seandainya kamu seperti Warni, seandainya kamu seperti Tutik, seandainya kamu seperti Lista, seandainya kamu ….
Padahal, bisa saja aku ikut-ikutan membandingkan ibu dengan ibu teman-temanku, tapi itu tidak kulakukan. Sebagai anak, aku hanya bisa diam. Meski sebenarnya sangat ingin kuutarakan, bahwa sebagai seorang ibu, harusnya bersyukur karena telah memiliki anak. Ada banyak sekali wanita di dunia ini yang merasa belum sempurna karena tidak mempunyai anak. Berobat ke sana ke mari agar bisa hamil. Terapi ini, terapi anu, menghabiskan uang yang tidak sedikit. Andai ibu mensyukurinya, niscaya semua akan terasa cukup, ibu pun tidak akan merasa kekurangan. Apalagi sampai mengataiku gila.
Seperti kemarin saat berjalan-jalan di sekitar lorong rumah, aku tersenyum. Bukan karena gila, tetapi lantaran adegan-adegan yang melintas di kepalaku, ketika melihat seorang pemuda yang berdiri di pinggir jalan— membelakangiku. Aku yang memegang sebuah kunci, membayangkan bagaimana reaksinya ketika kunci yang kupegang itu kulemparkan ke kepalanya. Ekspresinya pasti sangat lucu. Jadi, aku tidak gila. Hanya terlalu banyak membayangkan sesuatu yang lucu.
“Kau lihat, dia lagi-lagi tertawa sendiri.”
“Jangan heran, dia kan memang gila!”
Aku refleks memalingkan kepala, mencari sumber suara. Dua orang anak kecil berdiri di pinggir jalan, berseberangan dariku. Yang satu berambut panjang dan keriting yang lainnya berambut pendek—sangat pendek, lurus dan berwarna kecokelatan. Mereka melihatku sambil tertawa. Tawanya seperti mengejek.