Mat memberi senyum pada perempuan itu sebagai awal interaksi. Dan ketika perempuan tersebut membalas ramah, Mat pun semakin mantap untuk meminta ciuman padanya.
"Boleh minta cium, Mbak?"
Raut wajah perempuan itu seketika berubah, "Apa-apaan! Mas ini punya agama atau tidak?" sesaat kemudian sebuah tamparan keras berlabuh di pipi Mat. Bersamaan dengan itu, perempuan bermata sipit tadi turun dari angkot. Masih sempat Mat dengar perempuan itu mengucap sumpah serapah, mengeluarkan hampir seluruh isi kebun binatang dari mulutnya, sebelum akhirnya suara perempuan itu hilang ditelan kejauhan.
Itu memang bukan tamparan pertama yang mendarat di pipinya, tetapi baru kali ini Mat merasa malu bukan main. Masalahnya perempuan itu sampai bawa-bawa agama. Seakan Mat telah menjual agama demi mendapatkan uang.
"Tidak usah terlalu dipikirkan, dari awal juga kamu niatnya buat bantu biaya pengobatan ibumu, kan?" bisik sesuatu dari telinga kirinya.
Mat mengangguk.
"Halah, kau sebenarnya cuma mau uangnya kan? Tohselama ini ketika ibumu sehat, kau tidak begitu memedulikannya. Kau menjadikan penyakit ibumu hanya sebagai pembenaran untuk mengikuti ajang ini saja, bukan?" bisik sesuatu di telinga kanannya.
Mat menggeleng. Dia menutup telinganya. Tidak mau mendengar bisik-bisik itu lagi.
Sementara di luar sana, kernet sedang meneriakkan tujuan angkot, namun belum satu pun penumpang yang naik. Andai uang di dompetnya masih ada dua puluh ribu, tentu dia akan memilih turun, dan menahan ojek saja. Tapi, selain uang di dompet tidak cukup, dia juga masih butuh mencium seorang lagi sebelum kembali ke rumahnya.
Tidak lama setelah itu, seorang perempuan dengan enam orang anak  berseragam putih-biru menaiki angkot. Melihat Mat yang masih menutupi kedua telingnya, perempuan tersebut lantas menyapa, "Mat!"
Mat menoleh, dia kenal dengan suara itu, "Kiki!" Mereka kemudian berbincang ringan, saling menanyakan kabar dan kesibukan masing-masing. Setelah komunikasi keduanya cukup lancar, Mat pun menanyakan kesediaan perempuan itu.