Di usia pernikahan yang ke sebelas, Ikbal mendadak tidak percaya dengan perempuan. Tidak satu pun perempuan di muka bumi ini yang dapat dipercaya, begitu kisahnya padaku. semua berawal ketika lima belas hari yang lalu dia tidak berhenti memimpikan Sri, mantan pacarnya di masa berseragam putih abu-abu dulu. Persoalan putusnya pun klasik : Sri dinikahkan dengan keluarga bapak dan Ikbal melanjutkan study ke luar kota. Kisah perpisahan paling khas di jaman Desi Ratnasari masih menjadi gadis sampul dulu.
Delapan belas tahun kemudian, mimpi itu datang menghampiri Ikbal. Bukan sekali dua kali, melainkan nyaris setiap Ikbal memejamkan mata. Bayangan wajah Sri senantiasa hadir, membuat gelisah. Kegelisahan yang kemudian dia ceritakan pada Herman, sahabat sejak masih senang mandi sama-sama di sungai dekat sawah yang mengalir mengantarai kampung Ikbal dan Herman.
Herman menjadi satu-satunya teman Ikbal yang juga sangat mengerti perasaan Sri. Setiap kali berselisih, Herman lah yang berjasa mendamaikan keduanya. Herman pula yang mengenalkan Ikbal dengan Sri yang adalah keponakan tetangga Herman, yang tinggal di kota, yang saat itu sengaja berkunjung untuk mengisi waktu liburan semester, yang di kemudian hari membawa Sri mengambiil keputusan ingin pindah sekolah saja agar bisa lebih dekat dengan Ikbal, cowok mancung yang dikenalkan Herman lima hari sebelumnya.
Herman yang saat itu masih belum bertemu dengan jodohnya, meski dari segi finansial dan kedewasaan sudah sangat layak menikah itu lantas menyimpulkan kalau mimpi yang Ikbal dapati itu ada kaitannya dengan keberadaan Sri. Mungkin itu semacam sinyal dari semesta agar Ikbal segera menghubunginya.
Kebetulan Herman mengenal paman Sri yang katanya telah menjadi jaksa. Kabar baiknya, seorang jaksa terkenal, biasanya memiliki kantor yang nomor teleponnya terdapat dalam buku telepon dan informasi umum berukuran album dengan sampul berwarna dominan kuning. Di buku itu pula Herman kemudian menemukan nomor ponsel paman jaksa.
Sejak kecil Herman sudah pandai mencari-cari alasan. Itulah mengapa ibu yang super ketat mengawasi Herman masih bisa kecolongan setiap kali Herman pergi ke perbatasan kampung untuk mandi di sungai di bawah jembatan. Dengan kehliannya itu Herman pun berhasil mendapat kontak Sri dengan alasan ingin mengajak perempuan itu reuni SMA.
“Halo?” seberang telepon bersuara khas anak kecil.
“Mama ada, Nak?” jawab si penelepon.
Terdengar samar-samar suara teriakan anak kecil memanggil-manggil mamanya.
“Assalamu alaikum,” suara yang terdengar berat namun tetap lembut akhirnya menggantikan suara anak perempuan tadi.
“Wa alaikum salam,” lelaki di balik telepon menggantungkan kata-kata selanjutnya.