Adanya biaya dalam sarana prasarana pada instansi pelayanan publik ialah hal yang lumrah adanya selama pemungutan biaya tersebut sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Tentu berbeda halnya dengan pungutan liar yang dianggap lumrah di masyarakat, tetapi tidak di mata undang-undang. Pungutan liar dalam praktik pelayanan publik Indonesia seperti sudah mendarah daging di dalam birokrasi pelayanan publik di Indonesia ini. Hal ini sudah menjadi pelanggaran yang dilumrahkan baik oleh pelayan publik maupun masyarakat luas. Karena kelumrahan itu, seringkali masyarakat sudah menyiapkan sejumlah uang sebagai jaga-jaga bilamana ada pemungutan biaya tambahan oleh petugas publik.
Sadar tidak sadar, pungutan liar ini sendiri merugikan kedua belah pihak, baik pelaku pungutan maupun pemberi pungutan. Untuk pelaku sendiri sudah menjadi pelaku tindak pidana, sedangkan masyarakat yang menjadi pemberi tentu mendapat beban yang lebih dari seharusnya yang mereka dapatkan seandainya biaya tersebut sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Kelumrahan adanya pungli ini juga menjadi tekanan tersendiri bagi masyarakat dengan adanya rasa khawatir dan takut bahwa keperluannya tidak akan selesai dengan baik tanpa biaya tambahan yakni pungutan liar tersebut.
Dari data Saber Pungli Indonesia, sejak berdirinya instansi tersebut, 22.000 dari 36.000 tindakan pungli di Indonesia telah berhasil ditangani. Dapaun tiga provinsi dengan jumlah pungutan liar terbesar di Indonesia yakni Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatra Utara. Dari data yang dikeluarkan oleh instansi tersebut, terindikasi bahwa dalam satu tahun setidaknya ada 9.000 kasus pungutan liar terjadi di Indonesia (terhitung sejak tahun 2016, awal Satgas Saber Pungli dibentuk). Namun, pungutan liar yang sudah menjadi budaya ini masih belum selesai dan terus menjadi polemik berkepanjangan di negara ini.
Semakin lamanya waktu yang dihabiskan dalam penangana polemik ini, semakin mengental pula budaya ini di masyarakat nantinya. Namun, perlu juga adanya tinjauan dari sudut pandang lain dalam penyelesaian suatu masalah yang berkepanjangan. Misal dari pelaku pungutan liar sendiri yang tidak lain merupakan pegawai publik yang tidak puas dengan pendapatan yang mereka dapatkan saat ini, atau dari sisi pemberi pungutan yakni masyarakat sendiri yang masih malas dan berusaha mencari jalan instan untuk menyelesaikan urusannya secepat mungkin. Sikap dan tindakan sepele ini yang tidak mau mengikuti prosedur yang berlaku, hanya akan merugikan kedua belah pihak baik masyarakat maupun instansi terkait. Atau mungkinkah prosedur yang berlaku tersebut yang menjadi pemicu masalah ini, dimana masih banyak prosedur dan teknis yang birokratis dan berbelit-belit yang hanya menyusahkan masyarakat dan instansi terkait sendiri.
Penyelesaian polemik ini memang tidak mudah dan tidak cepat, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Pencegahan serta pemberantasan praktik pungutan liar peru peran serta dan gerakan aktif masyarkat bersama pemerintah. Dalam masyarakat sendiri, perlu adanya sikap sadar akan apa yang salah dan benar, apa yang baik dan buruk. Bersamaan dengan itu, pemerintah harus mengeluarkan segala sumber daya yang ada disertai dengan perkembangan teknologi yang pesat ini, yang bisa menjadi alat bantu besar dalam pengangan polemik pungutan liar yang sudah membudaya di masyarkat dewasa ini.(AG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H