Mohon tunggu...
Abdul Aziz
Abdul Aziz Mohon Tunggu... -

seorang cowok yang berusaha mengembangkan diri tapi suka tidur,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Manifesto Pergerakan partai Mahasiswa / (Sayonara)

22 Februari 2013   07:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:54 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbicara demokrasi, maka inti dari penyelenggaraan pemerintahan adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Sebagaimana konsep tadi, demokrasi merupakan ruang partisipasi publik yang secara aktif menerima ide-ide ataupun aspirasi dalam usaha mewujudkan kontrol dan sistem pemerintahan masyarakat yang baik (good governance). Konsep tadi, merupakan sebuah grand design yang hingga saat ini coba dan telah diikhtiarkan oleh mahasiswa Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS dalam rangka menjalankan sistem pemerintahan mahasiswa.

Dalam praktiknya, maka kita mengenal istilah legislasi Dewan Mahasiswa (DEMA) sebagai bentuk perwakilan yang mewakili dari tiap kelompok atau organisasi dan dipilih melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu). Dalam pemilu ini pula seorang presiden dalam ranah eksekutif (BEM) dipilih secara langsung sebagai bentuk partisipsi dan aktualisasi dalam berdemokrasi bagi masyarakat (mahasiswa).

Lebih lanjut, dalam mekanisme pemilu kita mengenal sistem kepartaian yang notabene adalah sarana kontestasi yang me-representasikan mahasiswa dalam beragam faksi, ideologi dan kepentingan-kepentingan temporer, serta merupakan sarana pendidikan politik praktis dalam berdemokrasi. Partai, mempunyai beragam peranan fungsi ditilik dari keberjalanannya. Mulai dari kaderisasi, advokasi, pendanaan, persuasi dan terutama pada market-isasi isu dan tawaran solusi pada sebuah perubahan. Fleksibilitas peran semacam inilah yang pada akhirnya mengantarkan sebuah partai pada elektabilitas pemilih yang besar. Seperti kita ketahui, di fakultas dengan jargon “berkarakter kuat dan cerdas” ini, kita mempunyai beberapa partai mahasiswa yang diantaranya ; Partai Academia, Partai Banteng Revolusi (PBR), Partai Orbit Bercahaya (POB), Partai Ki Hajar Dewantara dan Partai Bersama.

Namun, selama keberjalanan pemilu dari tahun ke tahun ada sebuah fenomena dimana partisipan hanya berkisar kurang dari 50% dari total jumlah mahasiswa FKIP, yang berarti angka tadi adalah akumulasi dari partisipan seluruh partai peserta pemilu. Data terakhir menunjukkan partisipan pemilu kemarin hanya sejumlah 1771 mahasiswa. Ada sebuah fakta yang menimbulkan pertanyaan “ada apa dengan pemilu mahasiswa yang berciri khas putih-hitam ini dalam berdemokrasinya?” jumlah 9000-an mahasiswa merupakan gambaran demografi yang relatif besar jika kita bandingkan dengan fakultas lain. Maka, ada hal menarik yang secara cerdas dan khusus perlu kita telaah pada permasalahan pemilu, terutama kondisi kepartaian di fakultas yang secara langsung adalah salah satu unsur utama sukses tidaknya pemilu bagi mahasiswa digelar. Perlu adanya koreksi demi sebuah perbaikan dalam realitas berdemokrasi, sudah sampai sejauh manakah partai dalam menjalankan peranan fungsi.

Setidaknya, dalam perspektif kepartaian ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Menggunakan pendekatan dan analisa dari kompilasi teori gerakan sosial Doug McAdam dan Snow, setidaknya ada tiga aspek yang harus dipenuhi sebuah partai agar dapat bekerja secara optimal, dalam pendekatan ini pula kita melihat kondisi partai secara faktual yang digambarkan sebagai motor gerakan sosial terorganisir, yaitu;

1.Kesempatan Politik (Political Opportunities)

Pada aspek ini, yang dimaksud adalah adanya keterbukaan ruang bagi para mahasiswa, organisator, atau aktivis apapun menyuarakan dan menyatukan kepentingan mereka yang terangkum dalam kesamaan visi-misi atau ideology tertentu dan terformulasikan dalam sebuah partai. Dalam konteks kekinian, hal tersebut sangat jelas terbuka lebar. Era reformasi sekarang, sangat memungkinkan sekali bagi mahasiswa secara umum untuk membentuk partai, berbeda halnya ketika dalam kurun waktu akhir 1970-an. Dimana aktifitas politik mahasiswa dibungkam dengan diberlakukannya kebijakan Normaliasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) sebagai bentuk represi rezim orde baru. Atau, kesempatan itu juga akan kecil ketika dalam sebuah fakultas atau bahkan universitas tidak mengakomodir adanya mekanisme pembentukan pemerintahan mahasiswa melalui kontestasi kepartaian. Dengan kata lain lewat jalur independen (personal-individu), atau prestasi akademik dari mahasiswa itu sendiri.

Berkaca dari penjabaran diatas, maka pada poin ini, mahasiswa FKIP “lulus” dengan perdikat sangat terbuka kesempatannya dalam beraktifitas politik melalui partai mahasiswa. Namun, hal tersebut juga sekaligus menjadi tantangan bagi partai sendiri. Menurut Eisinger dan Dyke, dalam demokrasi yang sangat terbuka semakin terbukanya akses komplain atau aspirasi, maka semakin mengeliminir peran partai yang menjembatani individu dengan birokrasi. Karena aspirasi dapat secara langsung disampaikan ke lembaga atau institusi pemerintahan tanpa perlu melalui partai sebagai supporting media. Pun, dengan ragamnya unit kegiatan bagi mahasiswa juga memperkecil ruang partai untuk bersaing. Maka, butuh sebuah positioning dan differensisasi agar partai tidak kehilangan peminatnya. Butuh sebuah kemasan cantik agar partai tetap menjadi opsi dalam fungsinya sebagai penyalur aspirasi dan aktualisasi.

2.Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilization)

Melalui teori mobilisasi sumber daya ini, maka secara lebih rinci ada beberapa poin yang menjadikan tinjauan dalam menilai kondisi kepartaian mahasiswa. Pada poin ini kita melihat partai dalam lingkup kaderisasi, jaringan-keuangan, dan kepenguruan.

Seperti kita ketahui, kebanyakan mereka yang menjadi kader atau anggota partai adalah orang-orang dengan background organisator. Entah, DEMA, BEM, UKM, bahkan sampai tataran HMJ/HMP, meskipun prosentasenya kecil. Namun demikian, fakta tadi tidak menjadikan partai begitu menarik dan menyentuh bagi sebahagian besar mahasiswa yang apatis. Kaderisasi hanya berkutat pada lingkup lembaga dimana aktivis partai tadi berada. Pun, biasanya kaderisasi juga baru dilaksanakan menjelang pemilu. Maka adalah sebuah kewajaran jika mahasiswa wilayah tidak tahu akan adanya partai, karena hampir sebagian besar kaderisasi tersentral di daerah pemerintahan mahasiswa. Dan sebuah “ke-relaan” pula jika kemarin ada kabar, mereka yang duduk di dewan legislatif menjadi bulan-bulanan mahasiswa atau UKM lain dalam Sidang Umum-nya. Hal ini menjadi rasional, mengingat mereka yang ter-include sebagai kader baru belum dibekali dengan kompetensi yang memadai, padahal dilain sisi mereka telah terpilih sebagai wakil dari mahasiswa yang mengharuskan siap pada profesionalitas kerja. Belum adanya tata-kelola yang meng-upgrade kompetensi kader secara intensif inilah yang menyebabkan partai atau dewan legislasi tidak maksimal dalam kinerja. Magis dan wibawa dari sebuah lembaga luntur dengan komposisi regenerasi yang kurang kapabel. Akibatnya, bukan hanya partai yang dirugikan, tapi mahasiswa umum melalui Dewan legislasi yang kurang produktif dalam kinerjanya.

Dalam hal jaringan, partai masih bisa bernasib lebih baik dibanding dengan kondisi kaderisasi yang tersebut diatas. Aktifitas kader diberbagai lembaga non-kepartaian memberikan akses dan informasi secara lebih mudah. Hal ini juga biasanya berimbang pada sisi finance partai itu sendiri, yang menjadi jalan pemecahan dari keterbatasan sumber dana internal. Hubungan yang begitu luas memberikan informasi celah mana saja yang bisa dijadikan sumber dana partai. Forum alumni, donator, badan usaha atau bahkan swadaya dari internal partai sendiri, semuanya tadi bisa memberikan ongkos tambahan guna mengoptimalkan kinerja partai. Bagaimanapun, insentif dari fakultas yang tiap setahun sekali menjelang pemilu diberikan sangat tidaklah cukup untuk mengakomodasi semua keperluan partai dalam kegiatannya. Sekedar tahu, per partai pada pemilu kemarin mendapatkan insentif sejumlah Rp 70.000,- dan itu digunakan untuk mobilisasi semua kegiatan partai.

Sebagaimana dijelaskan bahwa hampir semua pengurus partai adalah mereka yang multi-organisasi, maka tak heran keberjalanan partai tergantung dari kesibukan pengurus yang terikat dalam lembaga lainnya. Hal ini juga kadang memicu banyak anggota yang melepaskan jabatan kepartaiannya, karena membutuhkan prioritas dalam aktualisasi lembaga, antara partai yang relatif lebih sepi kegiatan dibanding dengan lembaga non kepartaian tadi. Ditambah kultur akademik yang menyita, juga menyebabkan kaderisasi tidak berjalan dengan baik, karena akomodasi, arahan kerja dan kegiatan yang diharapkan anggota baru belum terwujud. Lebih naas, regenerasi pengurus dikebanyakan partai biasa dibentuk sekedar demi syarat lolos administrasi pemilu, sehingga terkesan asal bongkar-pasang pengurus. Pragmatisme Inilah yang menyebabkan sebagian partai terlihat vakum dan terkesan formalitas sarana pemilu, karena memang pengurus partai tidak dilandasi dengan falsafah gerakan atau ideologi partai sebagai bentuk internalisasi dan visi di kepartaian. Sekedar “gerai dan lapak dalam pekan raya” kalau istilah Gunawan Muhammad dalam sebuah tulisannya.

Hal positif dari kekurangan kepengurusan partai biasanya tertutupi dari figuritas dan tingkat citra pengurus yang familiar kepada mahasiswa umum dengan dedikasi ataupun integritas dilembaga non kepartaian. Tapi ini tidak berlangsung lama, karena rata-rata masa aktif pengurus hanya 1-2 tahun. Dan adalah sebuah kesalahan jika partai hanya mengandalkan branding figuritas personal dari salah satu pengurusnya, karena partai bersifat kolektif.

3.Pembingkaian Aksi Kolektif (Collective action frame)

Hingga pertengahan tahun ini, hampir tidak ada lagi gaung dari partai-partai peserta pemilu. Yang sebenarnya aksinyapun dapat digunakan sebagai control pemerintahan mahasiswa. Dalam kampanye pemilu dialogis partai kemarinpun, apresiasi dari mahasiswa umum juga jauh dari euphoria sebagai pesta demokrasi. Isu-isu yang dibawa juga belum secara spesifik memenuhi ekspektasi umum. Belum adanya pembingkaian isu intern-ekstern kampus sebagai sarana menarik simpati mahasiswa umum yang berimpact pada langkah partisipasi kolektif. Belum terbangun dan terkelolanya budaya intelektual semacam diskusi, pendidikan partai, atau mobilisasi lewat media, yang sebenarnya penting bagi market-isasi partai dan pencerdasan mahasiswa, minimal dilingkungan kader sebuah partai sendiri. Sehingga ada gairah (passion) untuk mengetuk sedikit dari apatisme mahasiswa yang mengharu-biru.

Konstruksi

Dengan tiga komponen pendekatan dari teori di atas, secara jujur kita mengakui memang banyak aspek yang menyebabkan ke-mandeg-an dari sebuah partai. kita mengetahui poin-poin yang menyebabkan partai terkesan stagnan dalam eksistensinya. Dari pendekatan tadi pula, kita bisa membaca karakter dan model pergerakan partai, serta faktor resisten dari intern maupun ekstern partai untuk berkembang.

Adalah sebuah hal utopis jika kita menginginkan praktik demokrasi yang fair, aktif dan dinamis. Sedangkan salah satu perangkat dari terlaksananya demokrasi itu sendiri nyaris tidak tersentuh pada pengelolaan yang baik. Butuh sebuah kolektivitas antar lembaga yang integral dalam memerankan fungsi masing-masing. Butuh sebuah pengemasan ulang agar partai bisa menjadi wadah sekaligus salah satu motor aktualisasi mahasiswa, terkhusus sebagai sarana pendidikan politik. Maka, banyak hal yang harus segera dibenahi jika partai ingin memperbaiki bargaining position-nya dalam tanggung jawab, kepercayaan dan peranannya sebagai wadah aspirasi mahasiswa.

Pertama, fakta bahwa organisasi kepartaian yang belum secara masif terurus, pun dengan komposisi yang terkadang tidak memadai, perlu adanya afirmasi pada pengurus sendiri sebagai pengurus partai. Pada tahap inilah pondasi dari partai dibentuk, sebagai basis kontrol kader dan arahan kebijakan partai. Kegiatan semacam pendidikan partai yang berisi aspek-aspek pengembangan personal dalam lembaga, akan sangat berarti pada kesiapan kader di dalam aktualisasinya, terkhusus dilembaga masing-masing. Pendidikan semacam ini pulalah yang dapat difungsikan sebagai sarana kaderisasi, internalisasi ideologi, pengetahuan kekampusan, pemahaman fungsi antar lembaga, atau lainnya, yang menjadi rahim dari kader dengan kesiapan dan kapasitas mumpuni. Aktifitas yang terpola dan kontinyu dalam kegiatan dan berdasar kebutuhan pergerakan, akan bisa memperbaiki eksistensi partai dimata publik.

Kedua, karakter fakultas yang secara geografis terpisah dibeberapa kampus wilayah, memungkinkan kader partai untuk memainkan peranan isu dari kekurangan-kekurangan dan kondisi dimasing-masing wilayah tadi. Ketersediaan infrastruktur perkuliahan, kualitas pelayanan administrasi, sampai masalah advokasi, atau info beasiswa cukup menjadi isu klasik yang bisa menjadikan partai lebih dirasakan keberadaannya. Meskipun dalam tanda kutip kadang melalui lembaga non kepartaian yang diikuti kader (HMJ/HMP). Namun, hal tersebut juga sebagai bentuk sinergisitas antar lembaga dimana kader partai yang terdiri dari mahasiswa kampus pusat dan wilayah berfungsi sebagai jalan tengah atas terputusnya informasi yang kadang terjadi. Peran komunikasi ini juga yang berfungsi sebagai input dan koreksi bagi BEM dan DEMA, tanpa menunggu forum bersama, sehingga dalam kinerjanya bisa secara spesifik menangani masalah riil dan membumi. Dan, dari perspektif kaderisasi kolektif, maka dapat menarik simpati mahasiswa umum dengan diaspirasikannya kebutuhan-kebutuhan penunjang akademik, minimal dengan aktifnya kader partai dapat menjadikan identitas partai lebih kentara dimata mahasiswa.

Ketiga, nuansa akademik yang value orientatistik dan banyaknya organisasi sarana aktualisasi mahasiswa, secara otomatis juga mengurangi porsi partai dalam fungsi wadah kegiatan mahasiswa. Bagaimanapun ajang kontestasi pemilu dan presentasi partai dalam osmaru yang sekali dalam setahun, belum secara signifikan memberikan ruang mobilisasi partai kepada civitas akademika. Keadaan tersebut ditambah lagi dengan minimnya kegiatan kepartaian, yang praktis membuat partai kalah bersaing dengan unit kegiatan lain dalam eksistensinya. Dari sini, maka partai secara sadar harus bisa melihat terkait tipikal gerakan dan model organisasi yang dibutuhkan. Butuh sebuah kecerdasan psikologi dalam membaca karakter sosial mahasiswa secara umum. Maka, optimalisasi kader-kader partai dalam setiap lembaga merupakan sarana memahami kebutuhan untuk mengarahkan mahasiswa pada budaya kritis dan minat kepartaian. Figurisasi tiap kader dengan nilai IPK tinggi, adalah satu contoh dari strategi merayu pragmatisme mahasiswa dalam aspek akademik. Citra semacam inilah yang akhirnya mempengaruhi paradigma mahasiswa terhadap partai.

Dalam epilog tulisan ini, pada akhirnya kembali pada kemauan masing-masing partai, yang berpangkal dari kesiapan pengurus dalam membenahi berbagai aspek yang dihadapinya. Sangat terkesan berlebihan, berharap partai menjadi motor dinamisasi politik kampus. Namun demikian, ada sedikit arti atas sumbangishnya bagi keberjalanan demokrasi mahasiswa. Sebuah apresiasi bagi pengurus partai yang masih bertahan dan loyal pada visi kepartaiannya. Dan sangatlah tidak pantas, mereka, mahasiswa yang apatis mengharapkan kebaikan dari praktik demokrasi. Apalagi mengkritik secara sinis keberadaan partai atau lembaga mahasiswa, sedangkan dalam praktik pemilu atau demokrasi tidak bertindak secara kooperatif terlebih terjun menjadi bagian dari unsur tadi. Aksi kolektif adalah kesadaran, unsur utama perubahan, bukan menggantungkan unsur satu dan lainnya. Dan akhirnya, tinggal pada sebuah pilihan, apakah benar partai sebagai representasi gerakan pencerdasan mahasiswa dalam demokrasi? Sekedar legitimasi dan formalitas yang muncul saat pemilu jabatan pemerintahan? Atau, sebagai the anonymous party yang memang tidak diketahui tujuannya? Salam sayang untuk semua pengurus partai, wallahu’alam bishowab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun