[caption caption="Noise meter di tampilkan di layar scoring bard oleh DJ dalam pertandingan dalam WTA Final di singapore untuk mengukur kebisingan suara penonton. sumber foto : dokumen pribadi"][/caption]Baru pertama kali ini aku menonton pertandingan tennis tingkat dunia yaitu WTA Final di Singapore. Pertandingan ini diadakan di Singapore Indoor Stadium, aku sudah sering ke Singapore Indoor Stadium untuk menonton pertandingan badminton biasanya yang kutonton adalah Singapore open super series. Menonton tennis lebih mahal tiketnya, hari minggu yang lalu aku menonton salah satu partai WTA Final antara Simona Halep vs Flavia Pennetta tiketnya 33 SGD kalau menonton Maria Sharapova vs Agnieska Radwanska 66 SGD. Uang sebanyak 33 SGD itu kalau untuk menonton badminton Singapore open misalnya sudah bisa menonton babak peyisihaan sampai final, dari pagi sampai siang sampai malam sampai mata sakit dan badan pegal semua, itu kalau beli tiketnya jauh hari sebelumnya (early bird)
Ternyata suasana menonton pertandingan tennis dengan badminton jauh berbeda. Kalau nonton tennis penonton sangat tertib. Karena penonton tidak boleh teriak sembarangan, tidak boleh memukul clapper sembarangan. Penonton hanya boleh meninggalkan tempat duduk saat break saja. Bandingkan dengan penonton pertandingan badminton bisa keluar masuk tempat duduk kapan saja, bisa memukul clapper sembarang atau bahkan , memukul botol atau drum sembarangan. Wasit dan official pertandingan tidak peduli tapi pemain sangat terganggu konsentrasiya.
Yang paling istimewa dari pertandingan tennis selain penonton yang tertib, ternyata wasit berani menegur penonton yang ribut dan pemain boleh minta kepada wasit untuk menegur penonton yang memfoto menggunakan flash. Hebatnya wasit tahu dimana penonton yang ribut dan penonton yang menggunakan flash. Dalam pertandingan tenis final WTA kemarin juga diperkenalkan Noise Meter untuk mengukur hingar binger suara penonton, noise meter ini ditayangkan di scoring board kalau penonton mulai gaduh.
Tetapi pada kenyataannya suara penonton di national indoor stadium masih jauh dari ambang batas yang dibolehkan. Alhasil penonton pada waktu break malah disuruh berteriak sekuatnya oleh DJ pertandingan dan suaranya diukur dengan noise meter sekedar untuk memberi tahu penonton kalau suara penonton yang tidak terkontrol bisa sampai pada taraf mengganggu. Seharusnya pertandingan badminton juga mulai menggunakan noise meter.
Olahraga badminton juga seperti tenis pemainnya butuh konsentrasi. Saya juga atlet badminton jadi saya tahu bagaimana penonton bersorak sorak bisa menganggu konsentrasi pemain. Di world championship 2015 di Jakarta beberapa waktu yang lalu hiruk pikuk dan kegaduhan peonton telah mengundang kecaman. Banyak pemain merasa terganggu dan dirugikan karena tidak bisa konsentrasi apalagi mendengarkan briefing pelatih. Lin Dan misalnya merasa sangat dirugikan dengan keadaan ini.
Meskipun hingar bingar penonton bisa mengutungkan pemain tuan rumah tetapi itu bukan cara terpuji untuk menjadi juara. Hingar binger penonton di senayan yang yang anehnya dibanggakan itu hanya melahirkan juara palsu yaitu pemain tuan rumah yang terbantu dengan suara hingar binger itu tetapi sebetulnya kualitasnya tidak bagus, contohnya Linda Weni fanetri yang kemarin juara ke 3 World Championship 2015 tapi selalu kalah di babak pertama dalam turnamen di luar negeri apapun kelas turnamennya dengan pemain yang tidak punya nama sekalipun.
Sudah saatnya pertandingan badminton diselenggarakan lebih fair dan sportif, gunakanlah noise meter dan berilah pemain dan wasit hak untuk menegur penonton. Peain berhak untuk tampil bebas dari gangguan penonton, itulah olah raga yang fair dan sportif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H