Mohon tunggu...
Shiffa Ayu Ramadhani
Shiffa Ayu Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB University

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ketika Berita Palsu Merusak Demokrasi, Bagaimanakan Kita Melindungi Pemilu?

24 September 2024   23:56 Diperbarui: 25 September 2024   00:03 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Lebih dari 200 juta pemilih akan berpartisipasi dalam pemilihan presiden, legislatif, dan pemilihan kepala daerah pada tahun 2024, menjadikannya sebagai pemilu yang krusial bagi demokrasi Indonesia. Namun, selama proses ini, ancaman informasi palsu dan berita palsu berkembang dengan cepat, terutama di media sosial. Berita palsu kini sering digunakan oleh para politisi untuk memanipulasi opini publik, sering kali dengan tujuan untuk memecah belah masyarakat dan menjatuhkan kandidat. Meskipun situasi ini bukanlah hal baru, pemilihan umum tahun 2024 akan mengalami dampak yang lebih besar karena rendahnya literasi digital masyarakat dan meningkatnya penggunaan internet.

Menurut Kominfo, pada awal tahun 2024, lebih dari 1.200 hoaks terkait pemilu telah menyebar di situs-situs media sosial termasuk Facebook, WhatsApp, dan TikTok. Berita-berita palsu ini, yang terkadang berisi tuduhan kecurangan atau manipulasi data pemungutan suara, dimaksudkan untuk merusak reputasi politisi tertentu atau menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pemilu dilakukan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Katadata Insight Center menemukan bahwa hampir 60% masyarakat Indonesia masih kesulitan membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, sehingga menjadi sasaran empuk bagi para penyebar berita bohong.

Pada pemilu 2024, hoaks adalah instrumen politik yang berisiko. Berita palsu digunakan oleh beberapa tokoh politik dan tim kampanye untuk memecah belah pemilih dengan topik-topik sensitif seperti agama, etnis, atau kebijakan ekonomi. Rumor palsu tentang afiliasi seorang kandidat dengan kelompok ekstremis atau berita palsu tentang kebijakan ekonomi yang tidak dijalankan, misalnya, sering digunakan untuk mengobarkan ketegangan sosial. Menurut penelitian LIPI, sekitar 45% pemilih muda mengakui bahwa mereka dipengaruhi oleh informasi di media sosial, yang menunjukkan keefektifan informasi palsu dalam mempengaruhi opini publik.

"Mengapa Pemilu sangat terancam oleh berita palsu?"

Pertama, kepercayaan publik terhadap hasil pemilu dapat dirusak oleh informasi yang salah. KPU dan penyelenggara pemilu lainnya dapat mendapat kecaman dari ketidakpercayaan yang meluas yang dipicu oleh hoaks yang menuduh adanya kecurangan pemilu, termasuk manipulasi suara atau campur tangan pihak asing. Pada kenyataannya, hampir 32% publik mengakui bahwa mereka tidak sepenuhnya mempercayai transparansi dan integritas penyelenggara pemilu, terutama karena terpapar berita bohong, menurut data jajak pendapat dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

Selain itu, pengambilan keputusan politik para pemilih dapat secara langsung dipengaruhi oleh informasi palsu. Banyak pemilih, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan dengan akses yang terbatas ke sumber berita yang dapat dipercaya, memiliki kecenderungan untuk menerima informasi dari media sosial dan grup WhatsApp meskipun informasi tersebut belum dikonfirmasi secara independen. Algoritme media sosial memperburuk hal ini dengan seringnya memperkuat konten yang sensasional-termasuk kebohongan-dan meningkatkan visibilitasnya ke khalayak yang lebih luas. Hasil pemilu mungkin akan mengikuti hal ini yang tidak secara akurat merepresentasikan keputusan yang berdasarkan informasi yang cukup.

Meningkatnya perpecahan politik di masyarakat merupakan indikator yang jelas tentang bagaimana penyebaran informasi palsu dan berita palsu akan mempengaruhi pemilu 2024. Masuknya konten palsu di media internet memperparah ketegangan di antara kelompok-kelompok pendukung para kandidat. Selain menyebarkan informasi palsu, hoaks juga dapat memicu keresahan dan perpecahan sosial, terutama ketika topik-topik sensitif seperti agama dan identitas etnis dipalsukan untuk tujuan politik.

Untuk mengatasi ancaman ini, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu bertindak tegas. Pertama, Kominfo perlu melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mengawasi penyebaran berita palsu di media sosial. Meskipun ratusan akun telah diidentifikasi oleh Kominfo sebagai penyebar informasi palsu tentang pemilu mendatang, langkah ini harus diperkuat. Selain itu, situs-situs media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram harus bekerja sama untuk melaporkan atau menghapus konten yang terbukti curang.

Kedua, meningkatkan tingkat literasi digital masyarakat sangatlah penting. 73,7% masyarakat Indonesia adalah pengguna internet aktif, menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), namun banyak di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menyaring informasi. Agar dapat membedakan antara informasi yang dapat dipercaya dan berita palsu, program literasi digital harus dikembangkan, terutama di kalangan pemilih muda dan di daerah pedesaan.

Kesimpulannya, misinformasi dan berita palsu merupakan ancaman besar bagi integritas demokrasi Indonesia dan dapat mempengaruhi Pemilu 2024. Langkah-langkah kerja sama harus segera dilakukan mengingat rendahnya tingkat literasi digital masyarakat dan banyaknya informasi yang salah di media sosial. Bersama-sama, masyarakat, platform digital, media, dan pemerintah harus waspada terhadap dampak buruk berita palsu terhadap proses demokrasi. Pemilu akan menjadi adil, transparan, dan dapat dipercaya jika regulasi diperkuat, pengawasan diketatkan, dan literasi digital turut ditingkatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun