A. RIBA
Dalam ajaran Islam, riba merupakan salah satu konsep yang sangat ditekankan untuk dihindari karena dianggap melanggar prinsip keadilan dan keseimbangan dalam transaksi ekonomi. Riba secara harfiah berarti "kelebihan" atau "tambahan," namun dalam konteks muamalah (transaksi dalam Islam), riba diartikan sebagai tambahan yang tidak sah dalam transaksi jual beli atau utang piutang.
Larangan terhadap riba ditegaskan secara tegas dalam Al-Qur'an dan hadis, di mana Allah SWT menyatakan bahwa riba adalah perbuatan yang diharamkan dan mengancam kehancuran ekonomi serta ketidakadilan dalam masyarakat. Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai konsep riba menurut Islam, jenis-jenisnya, serta dampak negatif dari praktik riba.
1. Definisi Riba
Secara istilah, riba adalah tambahan yang diambil dari transaksi pinjaman atau pertukaran barang, yang tidak seimbang atau tidak setara dengan nilai yang ditransaksikan. Tambahan ini dianggap tidak sah menurut syariat Islam karena tidak mencerminkan transaksi yang adil dan merugikan salah satu pihak.
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT menyebut riba sebagai sesuatu yang dilarang dengan tegas. Salah satu ayat yang mengandung larangan riba adalah sebagai berikut:
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah karena mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
(QS. Al-Baqarah: 275)
Dari ayat ini, jelas bahwa Allah membedakan antara riba dan jual beli, di mana riba dianggap sebagai kelebihan yang tidak wajar dan tidak adil.
2. Jenis-Jenis Riba
Dalam kajian Islam, riba diklasifikasikan menjadi dua jenis utama, yaitu riba nasiah dan riba fadhl. Keduanya berkaitan dengan transaksi keuangan dan jual beli, namun memiliki karakteristik yang berbeda.
a. Riba Nasiah (Riba dalam Pinjaman atau Kredit)
adalah jenis riba yang terjadi dalam transaksi utang piutang atau kredit, di mana tambahan dikenakan kepada pihak yang meminjam jika pembayaran dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Dalam kata lain, riba nasiah adalah bunga yang dikenakan pada pokok utang berdasarkan lamanya waktu pinjaman. Praktik ini umumnya terjadi ketika seseorang atau lembaga memberikan pinjaman, dan si peminjam diwajibkan membayar lebih dari jumlah yang dipinjam sebagai imbalan karena diberikan waktu lebih lama untuk melunasi utang.
Riba nasiah dianggap sangat berbahaya dalam ajaran Islam karena menciptakan ketidakadilan, di mana pihak yang meminjam, sering kali dalam kondisi membutuhkan, harus membayar lebih dari jumlah yang sebenarnya dipinjam. Hal ini mengarah pada eksploitasi, di mana pihak pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan tanpa kontribusi nyata selain menunggu waktu.
Contohnya, seseorang meminjam uang sebesar Rp10 juta dan diharuskan membayar Rp12 juta setelah satu tahun. Tambahan Rp2 juta dianggap sebagai riba nasiah karena merupakan kelebihan yang diberikan karena jangka waktu pembayaran utang. Tambahan ini dianggap haram dalam Islam karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan keseimbangan dalam transaksi.
Pandangan Islam Tentang Riba Nasiah adalah jenis riba yang paling sering ditekankan dalam larangan Al-Qur'an. Hal ini karena praktik tersebut sering merugikan pihak peminjam dan menguntungkan pihak pemberi pinjaman secara tidak adil. Riba jenis ini dianggap sebagai salah satu bentuk penindasan ekonomi yang dapat merusak tatanan sosial dan menciptakan ketimpangan ekonomi.
Dalam sistem ekonomi Islam, praktik riba, termasuk riba nasiah, dilarang keras, dan sebagai alternatifnya, Islam mendorong transaksi berbasis keadilan seperti bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) serta sistem jual beli yang transparan (murabahah).
b. Riba Fadhl (Riba dalam Pertukaran Barang)
Riba fadhl adalah jenis riba yang terjadi dalam transaksi pertukaran barang, terutama barang-barang yang sejenis, di mana terdapat kelebihan atau perbedaan dalam kuantitas atau kualitas tanpa ada manfaat yang jelas. Riba ini muncul ketika barang yang ditukar tidak setara dalam hal jumlah atau kualitas, padahal barang tersebut berada dalam kategori yang sama.
Dalam Islam, ada beberapa jenis barang yang disebut sebagai barang ribawi, seperti emas, perak, gandum, kurma, garam, dan jelai. Jika barang-barang ribawi ini dipertukarkan, Islam mengharuskan pertukaran dilakukan secara setara dalam hal kuantitas dan langsung diserahterimakan tanpa adanya penundaan.
Contohnya, seseorang menukar 10 gram emas murni dengan 12 gram emas murni. Tambahan 2 gram emas ini dianggap sebagai riba fadhl karena terjadi kelebihan yang tidak seimbang dalam pertukaran barang yang sejenis. Dalam Islam, emas harus ditukar dengan jumlah yang sama tanpa tambahan apapun, kecuali jika terdapat perbedaan dalam kualitas, yang juga harus dijelaskan dan diperhitungkan secara adil.
Pandangan Islam tentang Riba Fadhl. Riba fadhl dianggap haram karena dapat menyebabkan ketidakadilan dan eksploitasi dalam transaksi. Salah satu prinsip utama dalam Islam adalah keadilan, dan riba fadhl dianggap melanggar prinsip tersebut karena pihak yang memberikan lebih banyak dalam pertukaran tidak mendapatkan manfaat yang setara.
Islam menekankan bahwa dalam pertukaran barang sejenis, baik itu barang ribawi atau non-ribawi, harus ada kesetaraan dalam hal kuantitas dan kualitas. Jika tidak setara, maka transaksi tersebut dianggap mengandung unsur riba, yang bisa merusak keadilan dalam transaksi perdagangan.
Hadis tentang Riba Fadhl
Riba fadhl juga dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri:
"Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, haruslah sama jenis, sama takaran, dan dari tangan ke tangan (langsung). Jika berbeda jenis, juallah sesuka kalian, asalkan dari tangan ke tangan." (HR. Muslim)
Hadis ini menjelaskan pentingnya pertukaran barang yang adil dan setara dalam jenis barang ribawi. Jika pertukarannya tidak seimbang atau ada penundaan, maka transaksi tersebut dikategorikan sebagai riba, khususnya riba fadhl.
3. Hukum Riba dalam Islam
Islam mengharamkan praktik riba dalam semua bentuknya. Larangan ini diulang beberapa kali dalam Al-Qur'an dan hadis, yang menunjukkan betapa pentingnya untuk menghindari riba dalam setiap transaksi.
Beberapa alasan mengapa riba diharamkan dalam Islam antara lain:
1. Menimbulkan Ketidakadilan: Riba memperburuk kondisi orang yang berutang dan memberikan keuntungan yang tidak adil bagi pihak yang memberikan pinjaman. Orang yang berutang dipaksa untuk membayar lebih, tanpa mendapatkan manfaat tambahan, sementara pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan dari penderitaan pihak lain.
a. Menghancurkan Keseimbangan Ekonomi: Riba menyebabkan penumpukan kekayaan pada sebagian kecil orang, sementara mayoritas lainnya menderita karena beban utang. Hal ini menciptakan ketimpangan ekonomi yang berbahaya bagi masyarakat.
b. Merusak Kesejahteraan Sosial: Dalam masyarakat yang dipenuhi praktik riba, hubungan sosial cenderung terganggu, karena pihak yang berutang merasa tertindas dan dieksploitasi. Hal ini menciptakan permusuhan dan ketidakpercayaan antara individu.
Â
4. Dampak Negatif dari Riba
Praktik riba tidak hanya dilarang secara agama, tetapi juga memiliki dampak negatif yang besar terhadap ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat. Beberapa dampak negatif dari riba antara lain:
a. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi: Riba memperburuk kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin. Orang yang memiliki kekayaan dapat memanfaatkan riba untuk memperbanyak harta mereka, sementara orang yang membutuhkan semakin terjerat dalam lingkaran utang yang sulit untuk dilepaskan.
b. Beban Utang yang Berat: Dalam sistem yang berlandaskan riba, orang-orang yang meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan dasar seringkali harus membayar bunga yang semakin menumpuk. Akibatnya, mereka sering kali terjebak dalam siklus utang yang tidak berujung.
c. Krisis Keuangan: Sistem ekonomi yang dibangun di atas riba cenderung rentan terhadap krisis keuangan. Hal ini terjadi karena ketergantungan pada utang dengan bunga yang semakin besar dapat menciptakan gelembung keuangan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis ekonomi global.
d. Hilangnya Berkah dalam Transaksi: Islam mengajarkan bahwa keberkahan dalam harta dan transaksi sangat penting. Riba diyakini menghilangkan berkah dalam rezeki dan bisa mendatangkan malapetaka dalam kehidupan individu maupun masyarakat.
5. Solusi Islam Terhadap Riba: Ekonomi Syariah
Sebagai alternatif dari praktik riba, Islam menawarkan solusi yang adil dan etis dalam bentuk ekonomi syariah. Prinsip utama dalam ekonomi syariah adalah keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan bersama. Dalam sistem ini, transaksi dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), jual beli (murabahah), dan sewa-menyewa (ijarah), yang semuanya bebas dari unsur riba.
Melalui sistem ekonomi syariah, Islam mendorong umatnya untuk terlibat dalam transaksi yang etis, di mana setiap pihak mendapatkan keuntungan yang adil, tanpa eksploitasi atau penindasan.
Kesimpulan
Riba adalah tambahan yang tidak sah dalam transaksi utang piutang atau jual beli menurut ajaran Islam. Islam secara tegas melarang praktik riba karena merusak keadilan, keseimbangan ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Dengan menghindari riba dan menjalankan transaksi yang etis sesuai dengan prinsip ekonomi syariah, umat Islam dapat membangun sistem ekonomi yang lebih adil, seimbang, dan berkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H