Demokrasi, sebagai pilar penting bagi arah pemerintahan, memegang peranan utama dalam mencapai tujuan nasional. Namun, di banyak negara, termasuk Indonesia, demokrasi masih diselimuti oleh penyakit-penyakit yang mengganggu kualitas hidup para pekerja sektor publik. Thompson (dalam Mahewari, 2002; Rainey, 2009): Patologi Birokrasi (Bureaucratic Pathology) sebagai perilaku administrasi dari orang-orang yang merasa posisinya tidak aman kemudian mencari timbal balik dengan menggunakan kewenangannya untuk mendominasi dan mengontrol orang lain. Patologi birokrasi menjadi salah satu penyakit sistemik yang membuat birokrasi tak berfungsi sebagaimana mestinya. Ini menciptakan sistem yang tidak hanya kontraproduktif, tapi juga merusak. Dalam demokrasi Indonesia, beberapa penyakit yang kerap terlihat meliputi sindrom status quo, lambannya birokrasi, ketidakpuasan, keangkuhan, korupsi, obsesi terhadap kekuasaan, dan banyak lagi.
Patologi birokrasi yang sering terjadi di Indonesia seperti red tape dan nepotisme. Red tape merupakan salah satu hambatan birokrasi yang paling menjengkelkan dan mengganggu. Prosedur berbelit-belit dan rumit yang tidak jelas tujuannya ini seringkali hanya membuang-buang waktu dan sumber daya saja. Dari perspektif masyarakat umum sebagai penerima layanan publik, red tape menciptakan frustasi yang mendalam karena berlarut-larutnya waktu pengurusan dokumen atau perizinan. Tidak ada kepastian dan transparansi. Nepotisme dalam birokrasi adalah wabah yang sangat merusak tatanan sistem meritokrasi. Dengan menempatkan kerabat dan kroni ke posisi-posisi penting, maka aspek kompetensi dan kualifikasi menjadi terabaikan. Akibatnya, kinerja birokrasi menjadi tidak optimal karena jabatan strategis diisi oleh orang-orang yang mungkin tidak memiliki kapabilitas dan integritas terbaik. Pengambilan keputusan dan kebijakan publik menjadi sesat karena dipengaruhi kepentingan pribadi.
Menurut Max Weber, birokrasi adalah organisasi yang sederhana, diarahkan pada tujuan tertentu, namun dalam implementasinya, sering kali menyebabkan kontraproduktivitas. Patologi dalam birokrasi muncul akibat perilaku birokrat dan kondisi yang membuka celah untuk korupsi serta ketidakefektifan sistem.
Dampaknya terasa luas: pelayanan publik terganggu, kekacauan pemerintahan merajalela, dan pembangunan terhambat. Legitimasi nasional pun terancam. Oleh karena itu, menangani patologi birokrasi harus menjadi prioritas utama dalam agenda pemerintah ke depan.
Beberapa langkah penting untuk menangani patologi ini termasuk reformasi birokrasi menyeluruh, penerapan sistem meritokrasi yang ketat, optimalisasi e-government, peningkatan standar pelayanan publik, serta penegakan hukum yang tegas terhadap kasus korupsi dan pelanggaran.
Reformasi organisasi juga menjadi krusial untuk menciptakan struktur yang efisien. Namun, tidak hanya itu, meningkatkan kapasitas serta memupuk budaya integritas di kalangan staf juga menjadi fokus penting untuk memastikan loyalitas terhadap negara dan masyarakat.
Walaupun sulit, hal ini harus dilakukan demi mencegah dampak lebih buruk di masa depan. Bagi warga negara, baik di pemerintahan maupun masyarakat umum, menjadi penting untuk mendukung pemerintahan yang kompeten, transparan, dan akuntabel agar demokrasi bisa sembuh dari penyakit-penyakit yang menggerogoti kualitasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H