Mohon tunggu...
Shifana Maulidya
Shifana Maulidya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis untuk lebih bahagia

Social Worker With Disability

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rindu-Merindu-Dirindu-Rerinduan: Mengenang Bahagia atau Melempar Duka?

5 April 2020   19:56 Diperbarui: 5 April 2020   20:06 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Musim seakan berjalan lambat di antara malam yang pekat. Kenang aku akan dirimu habiskan waktu di beranda itu. Yang selalu bertanya di manakah kini engkau berada? Akankah kembali kita berjumpa? dalam suka, dalam bahagia, berbagi kisah melempar duka. Rumah yang kini kosong dan sepi. Sudut penuh cinta tak kutemui. Merindukan hadirmu kasih.

Aku rasa kita semua sepakat bahwa  rindu adalah salah satu rasa yang paling sesak. Merindukan mak, bapak, kawan, kekasih, atau sekedar merindu suatu tempat atau suasana tempat kita pulang. Pulang saat kita butuh berbaring dan menghela nafas yang terjejal kesal, pulang saat mata sudah tak lagi kuat menahan tangis yang hampir saja pecah, bahkan pulang saat diri ini diberi bahagia yang tak ingin berlalu sia-sia tanpa dibagi dengan orang tersayang. 

Mungkin rindu adalah situasi yang diciptakan Tuhan untuk melahirkan bahagia bagi manusia. Betapa tidak? Setelah berhari- berbulan- bertahun rindu itu tergadai situasi, akan terasa sangat bahagia dan lega jika kita bisa menebusnya dengan tuntas, bukan? 

Mudik bertemu mak bapak, bisa jumpa dengan teman dekat yang terpisah oleh kesibukan, bertemu kekasih yang terpisah jarak ratusan kilometer. Atau, bisa mengunjungi tempat yang dulu jadi tujuan pulang saat berada di tanah rantau, bertemu keluarga di sana dan sekedar minum kopi bersama dengan kawan, kakak, dan adik tanpa ikatan darah yang tak terhitung dan seakan jumlahnya beranak-pinak tiap tahunnya?

Lain rasa, jika ternyata rindu itu cukup sulit untuk ditebus. Terhalang jarak, mungkin. Terpisah pulau. Terjebak waktu dan kesibukan. Atau, mungkin, tertahan oleh situasi. Seperti saat ini, misalnya. Saat semua orang terpaksa berjauhan raga karena pandemi Covid-19 yang belum juga menunjukkan kabar membaik. 

Ya, saat- saat hal sepele berubah menjadi sesuatu yang terasa sangat berharga dan dirindukan dalam hidup. Rindu teman- teman kuliah, yang biasanya justru menyebalkan saat berada di kelas. Rindu kuliah tatap muka dengan dosen, karena kuliah daring ternyata sangat membosankan, boros kuota, dan bikin mata jadi berair. 

Rindu berbelanja ke pasar, padahal biasanya jadi hal yang melelahkan dan menguras keringat. Rindu car free day di hari minggu, padahal biasanya saat libur tiba atau waktu senggang kita sering mager dan rebahan- rebahan 24/7. Rindu teman- teman kantor, padahal biasanya malas bertemu apalagi dimintai tolong menghandle pekerjaan. Rindu bisa makan bakso di pinggir jalan, jajan cireng, beli rujak di tukang buah, makan ayam geprek tanpa was-was higienis atau tidak.

Satu sisi yang bisa kita pahami, bahwa sesuatu yang sudah berlalu dan tampak biasa- biasa saja, ada kalanya jadi sesuatu yang membuat kita berfikir tentang rerinduan. Hal itu terjadi bahkan pada saat-saat yang menyebalkan dan tidak kita harapkan. Misalnya, saat ospek kampus, pengalaman melakukan kesalahan saat tampil di depan umum, dan banyak lagi. Itulah mengapa, ada kalimat "Indah untuk dikenang, tapi tidak untuk diulang". 

Tiap detik yang kita lalui punya makna. Tiap hal yang kita jalani adalah hal yang harus kita nikmati. Tiap hembusan nafas yang kita miliki, adalah karunia yang harus kita hargai. Jangan sampai, penyesalan baru terasa saat kita termenung dan bersenandung tentang rerinduan. Setidaknya, saat kita selalu mengusahakan yang terbaik, rindu itu akan menjadi sesuatu yang indah untuk dikenang meski tak dapat terulang. Bukannya menjadi sebuah penyesalan yang selalu beralibi bahwa kita tak perlu menengok masa lalu.

Jangan terlalu sibuk mencari masalah, saat nyata sebuah potensi ada di depan mata. Jangan terlalu egois mencari, saat orang yang menyayangi kita nyatanya ada di sekeliling kita. Jangan terlalu payah mengejar ambisi, saat kamu tau ada waktu yang harus dinikmati hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun