Nampaknya zaman telah berubah. Revolusi digital ditandai dengan adanya media sosial menghubungkan manusia dengan apa yang disebut symbolic environment oleh Manuel Castells. Ketika realitas kehidupan kita dapat dikonstruksi kedalam satu wujud virtual di dunia maya. Terciptanya ruang-ruang interaksi antara lain facebook,twitter,Instagram dengan berbagai fiturnya menghubungkan orang satu dengan lainya sekedar untuk like,share,dan komen. Toh belakangan ini timbul fenomena menarik di facebook, dengan status berapa like dan share untuk gambar ini, InsyaAllah surga.Surgane siapa Pakdhe?
Fenomena unik sekaligus mengherankan yang mengambarkan era masyarakat jaringan dengan segala perkembangan teknologi yang ada. Keterbukaan informasi dan akses publik untuk berjejaring lewat sosial media nampakanya tidak dapat dibendung oleh zaman.Â
Reperesentasi ke esksistensian dengan turut andil dalam berjejaring di dalam media sosial kini menjadi suatu kebutuhan seperti halnya kebutuhan pokok. Tanpa media sosial hidup akan hambar, darah tak lagi muda seperti halnya lagu darah muda darahnya para remaja yang dinyanyikan Rhoma Irama, dirimu terlihat tua dan ndeso.
Moderenisasi dengan semangat saling terkoneksi menjadikan hubungan LDR tak jadi masalah. Media sosial menjadi suatu kehendak unsur essensial dari diri manusia (Das Ding an Sich) ketika berada dimanapun di zaman ini, dalam pemikiran filsafat Nietzsche. Asalkan bisa chat,komen,like, dan share hidup tanpa dee pun bagaikan sudah lengkap.
Balada perkembangan zaman, begitulah dengan pelbagai dampak dan konsekuensinya. Negatif maupun positif adalah suatu realitas di kehidupan sosial manusia.Kuncinya saling mengingatkan, ketika zaman beralih dengan arus yang deras, fanatisme media sosial sedikit demi sedikit mengrogoti kultur literasi dan semangat intelektualitas. Seperti kata Nabi, "ad-diinu nashihah". Agama adalah nasehat! .Nampaknya harus dijadikan hal fundamental agar dirimu dan diriku tak di terjang arus yang deras.
Teologi dalam agama islam nampaknya kian hari kian pudar.Bukan termakan oleh zaman, namun zaman yang nampaknya memukul mundur hinga krisis dan lupa adalah patologi yang dialami umat.Jika dahulu KH. Ahmad Dahlan membawa teologi Al-Ma'un saat mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912, semboyan "jadilah guru sekaligus jadilah murid". Belajar, paham lalu mempraktikan yang kala itu dibawa beliau KH. Ahmad Dahlan menjadi dasar Muhamadiyah dan merupakan teologi yang didasarkan pada Al Qur'an (107:1-7).
Teologi Al-Ma'un yang mengajarkan bahwa ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Bukti konkrit bahwasanya teologi yang di dasarkan Al-Qur'an menjadi solusi bagi permasalahan secara keseluruhan. Sedikit bergeser ke zaman sekarang, fenomena fanatisme media yang membuat aku,dirimu, dan dirinya terjabak dalam gelapnya kultur literasi dan lunturnya semangat intelektulitas.Â
Kacang lupa kulit begitulah, padahal kau bukan kacang pilus.Lupa bahwasanya Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam tepatnya sepuluh Agustus 610 M dimasa beliau suka mengasingkan diri ke gua Hira' di Jabal Nur mendapatkan wahyu pertamanya, Surat Al-Alaq yang diawali dengan "Iqro",Bacalah!. Awalan ayat Al-Alaq yang dekat dengan budaya literasi dan semangat intelektualitas.
Begitulah jikalau dimasa sekarang kita acap kali mendengar umpatan,kebanyakan baca buku loe nanti gak gerak. Atau mungkin banyakan gerak loe nanti gak baca buku!, berikan senyum genit terindahmu karena banyak baca dan banyak gerak menurut persepsi diriku lebih baik daripada banyak komentar dan senam poco-poco. Lebih baik lagi ketika antara baca buku dan gerak seimbang di antara keduanya.
Untuk memastikan persepsi diriku mari kita bernostalgia Siroh Nabawiyah Rasulullah Asbabun Nuzul ketika Malaikat Jibril turun membawa Wahyu pertama untuk disampaikan kepada beliau di gua Hiro'.
Kala itu Jibril mendekati beliau seraya berkata "Bacalah!".Beliau menjawab "Aku tak bisa membaca." Â Lalu Jibril memegangi dan merangkul Rasulullah hinga beliau terasa sesak.Melapaskan seraya berkata lagi, "Bacalah!".Rasulullah menjawab, " Aku tidak bisa membaca." Hingga ketiga kalinya Jibril memegangi dan merangkul Rasulullah, kemedian melepaskan beliau lalu berkata seperti di dalam Al-Alaq: 1-5.Rasulullah mengulang bacaan dengan hati bergetar.
Syahdan, wahyu pertama yang layak kita tafsir bersama-sama seyogynya untuk mengetahui seberapa urgensi dari budaya literasi dan semangat intelektualitas dalam teologi Al-Alaq. Ditegaskan oleh Allah yaitu Iqra' atau bacalah,menulis di ayat ke empat ( 'allama bil qalam), dan mengajarkan kepada orang lain tentang apa yang tidak diketahui mereka ('allamal insaana maa lam ya'lam).Nampak jelas bahwasanya hal tersebut adalah pilar tradisi literasi dalam Islam.