Bergesernya zaman menuju ranah digital sudah semakin tidak bisa dipungkiri. Jaring-jaring digital telah menyebar sedemikian rupa sehingga kita yang terjerat di dalamnya dapat berkoneksi satu sama lain dengan hanya satu tap dari jari. Oleh sebab jaring-jaring itu pula, informasi dapat lekas menyebar. Ketika informasi tertentu menyebar luas, serta banyak masyarakat yang terpapar dan menyukainya, sebuah tren baru dapat tercipta.Â
Tren ini kemudian lambat laun akan pudar, "ketinggalan jaman", kemudian tren baru akan lahir. Siklus ini akan terus berputar, melahirkan orang-orang yang takut ketinggalan tren. Fenomena ini disebut dengan FoMO (fear of missing out) yang didefinisikan sebagai ketakutan seseorang akan kehilangan dan tidak ikut serta dari momen berharga yang sedang dialami oleh orang lain, di mana ditandai oleh keinginan yang kuat untuk tetap terhubung dengan yang lain lewat dunia maya (Przyblylski, et al., 2013). Singkatnya, takut tertinggal tren dan dianggap tidak gaul.
Fenomena ini kemudian dapat melahirkan budaya konsumtif, yang dapat didefinisikan secara umum sebagai aktivitas konsumsi yang berlebihan yang dilakukan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan seseorang, di mana hal ini sering dilakukan karena faktor psikologis seperti ingin diakui, mendapat status, kebahagiaan, dan sebagainya (Solomon 2006). Dan tanpa terkecuali, perilaku konsumtif terjadi pula di ranah busana.
Adanya media sosial seperti TikTok, Instagram, Twitter, dan lainnya yang kelewat mudah untuk diakses oleh berbagai kalangan masyarakat menyumbangkan faktor besar dalam trend-setting dan budaya konsumtif. Dalam hal berbusana, masyarakat bisa saja, misal, terinspirasi dari outfit milik artis atau influencer tertentu, kemudian meniru gayanya.Â
Bisa juga melihat style yang sedang menjamur dari beranda rekomendasi. Busana yang diangkat menjadi tren pun beragam, misalnya jenis kerudung pashmina yang menyatu dengan inner hijab, rok dengan motif tertentu, maupun  pakaian yang dikeluarkan oleh brand tertentu. Ketika suatu potongan fashion mulai banyak dicari, didapati pula orang-orang yang mengiklankan potongan-potongan tadi. Produksi tekstil terjadi secara massal. Kemudian tren akan berganti lagi, dan semuanya akan terulang.
Industri fashion yang lekas bergeser menimbulkan adanya fast fashion---produksi berbagai jenis pakaian secara besar-besaran dengan harga terjangkau untuk mengikuti tren pasar, yang seolah-olah membuat masyarakat berpikir bahwa membeli pakaian secara impulsif adalah sesuatu yang mudah dan murah. Sayangnya, produksi tekstil massal ini memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.
Dalam hal produksi, industri tekstil massal membutuhkan jumlah material dan energi yang signifikan. Belum lagi limbah yang dibuang. Setelahnya pun, jika pakaian sudah rusak atau tidak terpakai, banyak orang yang memilih untuk membuang atau membakarnya. Polusi-polusi yang terakumulasi dari produksi massal yang dilakukan untuk mengikuti tren di media sosial pada akhirnya akan merusak lingkungan.
Sejatinya, manusia akan tetap menggunakan busana sebagai media untuk mengomunikasikan diri: baik itu perasaan, status sosial, keinginan membaur, dan lain sebagainya. Ditambah dengan adanya dunia digital yang memudahkan informasi untuk disebar, diterima, dan silih berganti, membuat kita harus terus terkoneksi dan tidak tertinggal dengan dunia. Meskipun begitu, tetap diperlukan pemikiran untuk generasi depan---apakah yang kita lakukan sekarang akan membuat hal yang nanti tetap baik-baik saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H