Kota Solo menjadi kanvas dari teriknya mentari kala itu. Adalah sebuah bengkel sepeda di salah satu gang, dengan sepeda lawas berjajar dan riuh kisah serta diskusi yang memenuhi sebagian kecil kanvas tadi dengan lebih banyak warna. Di atas, menuding bangunan tadi, adalah sebuah papan nama berwarna putih dengan tulisan hitam berhuruf kapital yang menyatakan, “Bengkel Sepeda Pak Min”. Figurnya nampak lawas, namun kokoh diterpa angin. Keluar dari naungan atap bengkel adalah H. Ali Imron, menyambut sehangat cuaca yang lambat laun meluruhkan keringat. Di bengkel langganan dari seorang rekan yang berjarak sekitar empat kilometer dari Stasiun Solo Balapan itu, ia dan rekan-rekannya tengah berkumpul sebelum menyambut waktu salat Jumat.
Setelah menawarkan untuk duduk, kemudian mengambil foto, Ali mengisahkan perjalanannya di dekat salah satu sepeda yang terparkir di jalan gang. Tiga bendera telah dihiaskan di belakang sepeda tadi. Satu yang paling besar adalah bendera berwarna hijau tua, dengan lambang Muhammadiyah di tengahnya dan tulisan “PWM KALIMANTAN TENGAH”, keduanya berwarna putih. Ali Imron dan rekan-rekannya tak lain dan tak bukan adalah bagian dari Komunitas Sepeda Tua Indonesia (KOSTI) di Kalimantan Tengah, datang menjadi penggembira Muktamar ke-48 di Solo yang berangkat dari Kalimantan Tengah menggunakan sepeda, terutama sepeda onthel.
Perjalanan resmi bermula dari Palangka Raya pada hari Senin, 7 November dan berlangsung selama sepuluh hari. Di ibu kota provinsi Kalimantan Tengah itulah beliau dan tiga rekannya: Suyatman, Ganda Ganjar Gunartika, dan AKP (Purn) Darmadi dilepas oleh Prof. Dr. H. Ahmad Syar’i, M.Pd. selaku Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Kalimantan Tengah. Dari situ, perjalanan tiga hari tiga malam ditempuh untuk sampai ke Banjarmasin, ibu kota dari Provinsi Kalimantan Selatan. Mereka bersinggah di Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas, dan Kecamatan Marabahan di Kabupaten Barito Kuala. Semangat bak api yang menjalar; di Banjarmasin, peserta gowes bertambah lagi sebanyak tiga orang. Pelabuhan Trisakti di sana menjadi hal terakhir yang turut melepas kepergian para goweser, memberi jalan pada kapal yang mereka naiki untuk menyeberangi Laut Jawa menuju Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya.
Tanpa menurunkan semangat, mereka melanjutkan perjalanan. Ali berkata bahwa kelelahan justru akan berkembang menjadi malas jika kita terlalu lama rehat, sehingga mereka sudah harus berangkat lagi sebelum keringat kering. Beberapa kabupaten mereka singgahi pula, seperti Jombang, Nganjuk, Kecamatan Mantingan di Ngawi, Kecamatan Maospati di Magetan, serta Sragen. Personel gowes yang awalnya berjumlah empat orang dan berkembang menjadi tujuh pun kemudian bertambah satu lagi dari Surabaya, walau mereka baru bersua di Kabupaten Ngawi. Rombongan gowes sampai di Solo pada Rabu sore, 16 November, dan disambut hangat oleh rektor Universitas Muhammadiyah Solo.
Pak Ali mengisahkan pula tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Terutama pada hari sebelum start resmi, ketika beliau dan satu rekannya terlebih dahulu berangkat bersepeda dari tempat tinggal mereka di Kabupaten Kapuas ke Ibu Kota Palangka Raya, di mana jarak keduanya hampir 150 kilometer. Ada pula bagian dari beberapa sepeda yang rusak, yang kemudian harus diganti di Kabupaten Pulang Pisau. Sesampainya di Surabaya, sepeda tadi diperbaiki lagi sebelum dapat melanjutkan perjalanan.
Ide bersepeda menuju Muktamar dicetuskan oleh Ali pribadi. Inspirasinya adalah ingin menyemarakkan dan menggaungkan syiar serta semangat dari Muktamar Muhammadiyah, juga untuk menyambung tali silaturahmi antar PDM, PWM, dan PCM; antar provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Ide ini kemudian disampaikan kepada Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Kalimantan Tengah, Daryana, yang kemudian mendukungnya. Pesan tersebut lalu diteruskan di grup percakapan komunitas. Terbukti mereka mendapat sambutan yang sangat luar biasa, mulai dari rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya yang menginapkan mereka di hotel selama dua hari, mengajak makan bersama, mengapresiasi mereka di kantornya, bahkan memberi hadiah berupa satu unit sepeda. Tak kalah meriah, sambutan untuk mereka di Nganjuk oleh murid-murid SD, SMP, dan SMA Aisyiyah yang semarak walau di tengah teriknya matahari.
Harapnya dalam menjadi penggembira pada Muktamar kali ini, syiar Muhammadiyah akan lebih nampak. Terlebih pada zaman sekarang di mana berolahraga, terutama bersepeda, sedang nge-tren. Untuk generasi muda, terutama yang sedang menempuh pendidikan kuliah, Ali Imron berwejang, “Sebetulnya olahraga yang diimbangi dengan hobi dan kesenangan akan sangat membantu dalam meningkatkan imun dan kesehatan kita. Dan apapun yang dijalankan dengan penuh kesenangan, kebahagiaan, akan menjadi obat. Perasaan bahagia dan senang sebetulnya merupakan obat, tetapi tidak dijual di toko-toko. Obat tadi dijual ya di komunitas, di pertemanan seperti komunitas gowes ini—di mana kita mendapatkan kebahagiaan. Jadi kalau mau sehat dan bahagia, lakukanlah kuliah dengan naik sepeda.”
Semangat yang ditunjukkan oleh Ali Imron dan rekan-rekannya patut dijadikan inspirasi, baik dalam hal berolahraga, maupun dalam kehidupan secara umum. Bagaikan estafet api obor di Olimpiade, semangat ini harus diteruskan kepada generasi muda, niscaya Indonesia akan hangat dan cemerlang karenanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H