Mohon tunggu...
shevia nabila dan alfiah sri
shevia nabila dan alfiah sri Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

shevia nabila (202413134) alfiah sri (202413133)

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dampak Media Sosial Terhadap Persepsi Dan Kesehatan Mental Remaja

27 November 2024   23:52 Diperbarui: 27 November 2024   23:55 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari, khususnya bagi remaja yang menghabiskan banyak waktu yang berhubungan dengan platform digital seperti Instagram dan TikTok. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan media sosial di kalangan remaja telah menunjukkan peningkatan yang signifikan, yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk persepsi tubuh dan kesehatan mental.


Persepsi Tubuh: Media sosial sering kali memperlihatkan gambaran tubuh ideal yang didorong oleh standar kecantikan yang tidak realistis. Banyak foto dan video yang dibagikan di platform seperti Instagram dan TikTok melalui filter dan penyuntingan, yang menciptakan persepsi bahwa hanya tubuh yang sempurna atau sesuai dengan standar tertentu yang diterima. Hal ini dapat menyebabkan remaja, terutama perempuan, merasa tidak puas dengan penampilan fisik mereka, yang dikenal dengan istilah "body image dissatisfaction."


Kesehatan Mental: Dampak media sosial terhadap kesehatan mental remaja juga sangat signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap media sosial dapat memicu perasaan cemas, depresi, dan rendah diri. Ketika remaja membandingkan diri mereka dengan kehidupan yang terlihat sempurna di media sosial, mereka mungkin merasa tidak cukup baik, yang pada gilirannya dapat menyebabkan penurunan harga diri dan gangguan mental lainnya. Selain itu, interaksi di dunia maya, seperti perundungan siber faktor (cyberbullying), juga dapat memperburuk kondisi psikologis remaja.


Penyebab dan Solusi:

Beberapa faktor yang memperburuk dampak bermedia sosial termasuk kurangnya literasi media sosial, pengaruh teman sebaya, dan ekspektasi yang tidak realistis dari influencer atau selebritas. Untuk mengatasi dampak negatif media sosial, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental dan memberikan edukasi kepada remaja mengenai penggunaan media sosial yang sehat. Dengan pendekatan yang tepat, remaja dapat belajar untuk menilai konten dengan kritis dan menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia maya. Secara keseluruhan, dampak media sosial terhadap persepsi tubuh dan kesehatan mental remaja merupakan isu yang semakin relevan dan membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, termasuk orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan.


Penggunaan Filter dan Edit Foto:

Di media sosial, penggunaan filter dan alat edit foto sudah menjadi hal yang sangat umum. Remaja sering menggunakan filter untuk meningkatkan penampilan mereka dalam foto, seperti menghaluskan kulit, membuat wajah terlihat lebih tirus, atau mempertegas fitur-fitur tertentu. Meskipun fitur-fitur ini sering kali dimaksudkan untuk "meningkatkan" tampilan, hasil akhirnya bisa menciptakan citra tubuh yang tidak realistis dan memperkuat standar kecantikan yang hampir mustahil dicapai. Filter dan alat edit foto tidak hanya diakses oleh remaja tetapi juga digunakan secara luas oleh selebriti, influencer, dan publik figur lainnya di media sosial. Gambar-gambar yang dihasilkan sering kali menampilkan kulit yang sempurna, tubuh yang langsing atau berotot, serta proporsi wajah yang "ideal" menurut standar tertentu. Ketika remaja melihat konten seperti ini secara berulang, mereka cenderung menginternalisasi standar kecantikan tersebut sebagai sesuatu yang seharusnya mereka capai. Hal ini kemudian meningkatkan tekanan untuk memiliki penampilan yang sempurna, meskipun standar tersebut tidak mencerminkan realitas. Penggunaan filter dan edit foto yang berlebihan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental remaja. Mereka mungkin merasa tidak puas dengan penampilan asli mereka dan terus-menerus berusaha untuk "mengedit" diri mereka dalam kehidupan nyata, yang pada akhirnya menurunkan rasa percaya diri dan meningkatkan ketidakpuasan tubuh. Remaja juga mungkin merasa tertekan untuk menampilkan diri sesuai standar kecantikan media sosial setiap kali mereka berinteraksi dengan orang lain secara langsung, yang dapat memicu rasa cemas atau bahkan depresi.
Untuk mengatasi dampak negatif ini, edu  kasi tentang literasi visual menjadi sangat penting. Remaja perlu diajarkan bahwa apa yang mereka lihat di media sosial sering kali telah melalui proses editing dan tidak mencerminkan kenyataan. Selain itu, beberapa platform media sosial kini juga mulai menyediakan fitur atau label yang menandai gambar yang telah diedit, sebagai langkah preventif untuk mengurangi ekspektasi yang tidak realistis. Kesadaran akan dampak negatif penggunaan filter dan pentingnya menerima tubuh apa adanya akan membantu remaja mengembangkan persepsi tubuh yang lebih sehat dan realists. Body shaming, atau tindakan memberikan komentar negatif terkait penampilan fisik seseorang, adalah salah satu masalah utama di media sosial yang berdampak besar pada kesehatan mental, khususnya pada remaja. Di media sosial, siapa pun dapat menjadi sasaran body shaming melalui komentar atau pesan yang merendahkan penampilan fisik mereka. Komentar seperti ini bisa berfokus pada ukuran tubuh, bentuk wajah, warna kulit, hingga tinggi badan, dan sering kali dituliskan tanpa memikirkan dampak psikologis pada orang yang menerimanya.
Perasaan malu dan rendah diri adalah dampak langsung dari body shaming, karena remaja yang mengalami hal ini cenderung merasa penampilan fisik mereka tidak diterima atau dinilai buruk oleh orang lain. Perasaan ini bisa membuat mereka menjadi terlalu kritis terhadap tubuh mereka sendiri dan akhirnya membenci bagian-bagian tubuh yang sebelumnya mereka terima. Ketika hal ini terjadi berulang kali, body shaming dapat berkontribusi pada berbagai masalah kesehatan mental, seperti kecemasan sosial, depresi, hingga ketidakpuasan tubuh yang ekstrem.
Dalam beberapa kasus, body shaming juga mendorong remaja untuk melakukan diet berlebihan, olahraga berlebihan, atau bahkan mempertimbangkan prosedur kosmetik untuk memenuhi standar yang dianggap ideal. Sayangnya, tindakan-tindakan ini sering kali dilakukan tanpa panduan yang benar, sehingga justru membawa risiko pada kesehatan fisik dan mental mereka.
Untuk mengurangi dampak negatif dari body shaming di media sosial, penting untuk menumbuhkan kesadaran akan dampaknya, baik pada remaja maupun pada pengguna media sosial secara umum. Kampanye positif yang mengedepankan self-acceptance (penerimaan diri) dan body positivity (pandangan positif terhadap tubuh) dapat membantu remaja memahami bahwa setiap tubuh unik dan indah dengan caranya sendiri. Di samping itu, peran media sosial dan regulasi platform juga penting, misalnya dengan menyediakan fitur untuk melaporkan atau memblokir komentar negatif, serta mendorong komunitas yang mendukung kesehatan mental.
Body shaming adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian khusus, terutama karena dampak negatifnya terhadap perkembangan remaja. Dengan langkah-langkah preventif dan pendidikan yang tepat, remaja dapat belajar untuk lebih menghargai tubuh mereka sendiri dan tidak membiarkan komentar negatif orang lain memengaruhi rasa percaya diri dan kesehatan mental mereka.


Keterikatan Emosional pada "Likes" dan Komentar:

Remaja saat ini sering kali memiliki keterikatan emosional yang kuat pada jumlah "likes," komentar, dan bentuk respons lainnya yang mereka terima di media sosial. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan untuk merasa diterima dan diakui, yang merupakan bagian dari proses pembentukan identitas diri selama masa remaja. "Likes" dan komentar positif dapat memberikan perasaan dihargai dan meningkatkan kepercayaan diri, sementara kurangnya respons atau respons negatif bisa menyebabkan stres, kecemasan, bahkan perasaan tidak berharga. Ketika remaja mulai mengukur nilai diri mereka berdasarkan respons di media sosial, mereka cenderung menjadi terlalu fokus pada cara orang lain menanggapi setiap unggahan mereka. Akibatnya, mereka bisa mengalami tekanan besar untuk memposting konten yang akan mendapat respons baik. Jika harapan tersebut tidak terpenuhi atau jika mereka menerima kritik, mereka mungkin merasa tidak diterima atau tidak cukup baik, yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan mental mereka. Situasi ini bisa menjadi lebih buruk ketika remaja berulang kali mengecek ponsel mereka untuk memonitor respons, yang memicu rasa cemas yang terus-menerus.
Stres dan kecemasan yang muncul akibat ketergantungan pada "likes" ini bisa berdampak negatif pada suasana hati remaja, mengurangi kepercayaan diri mereka, dan memicu perasaan terisolasi, terutama jika mereka membandingkan jumlah respons yang mereka terima dengan pengguna lain. Beberapa remaja bahkan merasa harus menyesuaikan penampilan atau aktivitas mereka untuk mendapatkan perhatian di media sosial, yang dapat memicu ketidakpuasan tubuh dan gangguan kesehatan mental lainnya. Untuk mengurangi ketergantungan emosional ini, remaja perlu diberi pemahaman bahwa "likes" dan komentar di media sosial bukanlah indikator yang benar tentang nilai diri mereka. Orang tua, guru, dan pendidik dapat membantu dengan mengajarkan pentingnya membangun kepercayaan diri berdasarkan pencapaian nyata di dunia nyata, bukan berdasarkan media sosial. Beberapa platform media sosial juga mulai memberikan opsi untuk menyembunyikan jumlah "likes," yang bisa menjadi langkah positif untuk mengurangi tekanan sosial ini. Kesadaran akan pentingnya batasan dalam penggunaan media sosial dapat membantu remaja mengurangi stres dan kecemasan yang berlebihan akibat keterikatan emosional pada "likes" dan komentar. Hal ini penting agar mereka tidak hanya menjaga kesehatan mental, tetapi juga belajar untuk menilai diri mereka sendiri dengan lebih positif, tanpa ketergantungan pada penilaian orang lain di dunia digital.


Kesimpulan: Media sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap persepsi tubuh dan kesehatan mental seseorang, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, media sosial bisa memperburuk masalah terkait citra tubuh dan meningkatkan kecemasan, sementara di sisi lain, media sosial juga dapat menyediakan dukungan dan edukasi untuk kesehatan mental remaja untuk tetap terhubung dengan teman-teman dan memperoleh informasi yang berguna, serta dapat meningkatkan rasa percaya diri melalui interaksi sosial dan dukungan dari teman sebaya. Penggunaan media sosial secara bijak dan sadar dapat membantu meminimalkan dampak negatif dan meningkatkan dampak positifnya. Namun, di sisi lain, penggunaan media sosial yang berlebihan atau tidak sehat dapat berisiko menimbulkan masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, perasaan rendah diri, dan tekanan sosial. Remaja cenderung membandingkan diri mereka dengan standar kecantikan atau kesuksesan yang ditampilkan di media sosial, yang seringkali tidak realistis, sehingga memengaruhi persepsi diri mereka. Selain itu, paparan terhadap cyberbullying dan perundungan online juga dapat memperburuk kondisi psikologis mereka. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk menggunakan media sosial dengan bijak, dengan kesadaran terhadap dampaknya terhadap kesehatan mental dan persepsi diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun