Mohon tunggu...
Inovasi

Gafatar dalam Pemberitaan Media

23 Maret 2016   20:27 Diperbarui: 23 Maret 2016   20:40 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ada yang mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya membutuhkan informasi. Manusia tidak dapat melanjutkan aktivitas sehari-harinya bila belum mendapatkan informasi mengenai dunia luar. Informasi yang dibutuhkan oleh tiap-tiap orang tentunya berbeda. Dari informasi yang didapatkan, barulah manusia dapat menentukan tindakan selanjutnya.

Di sini, informasi dapat diakses melalui media, salah satunya yaitu media cetak. Sebagai sebuah pemberi informasi, media cetak seharusnya memberitakan hal-hal yang penting dan menyangkut kepentingan orang banyak. Selain itu juga, pemberitaan yang disampaikan haruslah faktual dan juga netral. Maksud dari netral di sini ialah, sebuah pemberitaan haruslah memberitakan secara cover both side, bisa dilihat dari pemilihan narasumber untuk diwawancarai. Ini yang akan menjadi fokus saya kali ini untuk membahas mengenai sisi cover both side dari pemberitaan sebuah media terhadap sebuah isu, yaitu gafatar.

Isu mengenai gafatar bukan lagi isu yang baru. Namun isu ini sempat mencuat dan menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Isu gafatar tidak habis-habisnya dibahas di berbagai media, dan bahkan menjadi headline di sebagian media cetak.

Dikenal sebagai aliran sesat, gafatar diberitakan dengan berbagai macam pemberitaan sensasional di berbagai media. Pemberitaan mengenai gafatar ini mulai muncul dari bulan Januari hingga Februari 2016. Awalnya, isu mengenai gafatar belum tampak. Namun, setelah banyaknya laporan mengenai orang hilang, barulah muncul nama gafatar di media.

Media cetak sudah memberitakan hal yang penting dan sesuai dengan salah satu nilai berita yaitu, significance. Namun yang disayangkan ialah pemberitaan yang di munculkan oleh media tersebut. Pemberitaan mengenai gafatar di media jarang sekali menampilkan sisi dari anggota gafatar. Untuk narasumber, media biasanya mewawancarai dari sisi pihak yang kontra. Pemberitaan yang seperti ini, seakan-akan memojokkan pihak gafatar dan memberikan kesan negatif bagi mereka. Pihak gafatar kurang mendapatkan hak mereka untuk angkat bicara mengenai diri mereka atau sekadar penjelasan atas isu tersebut. Pemilihan narasumber yang tidak cover both side secara tidak langsung mengarahkan pembaca dan melihat gafatar sebagai pihak yang bersalah. Masyarakat lalu dituntut untuk melihat gafatar dengan pandangan yang sama dengan media yang memberitakannya. Belum lagi, ketika media membuat sebuah judul yang kontroversial mengenai gafatar. Pihak gafatar merasa tersudut dan tidak memiliki pembelaan.

Pemberitaan secara terus menerus juga menambah kesan negatif terhadap gafatar. Ketika masyarakat terpapar oleh banyaknya informasi dari berbagai media, dalam hal ini ialah gafatar, maka timbul rasa cemas dan khawatir. Masyarakat mulai beranggapan bahwa lingkungan sekitarnya tidak aman, atau ada tetangganya yang ternyata anggota gafatar. Secara tidak langsung, kesan negatif terhadap isu mengenai gafatar juga semakin menguat.

Seharusnya, dalam memberitakan sesuatu, media memilih narasumber secara cover both side. Tugas dari media hanya memberitakan informasi kepada masyarakat luas. Ketika sudah diberitakan dengan benar dan pas, biarlah pembaca yang menentukan pandangan mereka. Biar pembaca yang menentukan mana yang baik dan buruk. Jika hal itu sudah dilakukan, barulah dapat dikatakan kalau media sudah memberitakan secara faktual dan cover both side. Bukan media yang mengarahkan. Pemberitaan yang tidak cover both side ini saya temukan di salah satu media cetak yang sudah memiliki nama besar di masyarakat.  

Mungkin kejadian ini sudah ada di beberapa isu sebelumnya, di mana kaum minoritas kurang mendapatkan hak mereka untuk bicara. Pemberitaan secara sensasional terhadap sebuah isu. Namun kurang terlihat oleh masyarakat yang memang kurang peka dan sudah terlena terhadap pemberitaan tersebut. Saya juga baru menyadari pemberitaan yang tidak cover both side untuk isu gafatar ini ketika sedang mengikuti mata kuliah.

Akhir kata, itulah kekuatan dari pemberitaan di media. Bisa menjangkau banyak orang dan mengubah persepsi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun