Setelah beberapa kali tertunda, akhirnya hari ini, Minggu 22 Mei 2011, untuk pertama kalinya saya berkesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan Sunday Birdwatching (SBW) bersama teman-teman dari BICONS (Bird Conservations). Kegiatan SBW hari ini diadakan di daerah Ranca Bayawak, Ujungberung, Bandung, dan jenis burung yang diamati adalah burung air. Setibanya di lokasi pengamatan, kesan saya adalah sangat nostalgia! Kenapa? Karena di kampung halaman saya, dulu periode 90-an masih cukup sering dijumpai blekok di persawahan dekat rumah saya. Saya dan beberapa kawan saat itu senang melihat kawanan blekok yang sedang mencari makan di sawah, meskipun terkadang ada kawan saya yang iseng mbandring (mengetapel) kawanan itu. Dan saat musim migrasi pun banyak blekok yang terbang di langit kampung kami, sehingga terkadang ada saja warga yang kurang beruntung karena mendapat ‘rejeki’ dari blekok-blekok tersebut. Selain pemandangan yang begitu nostalgik, aromanya pun mengingatkan akan masa kecil. Aroma yang saya maksud di sini adalah bau kotoran-kotoran blekok dan kuntul yang bertengger di atas pepohonan bambu. Meskipun baunya lumayan mengganggu tapi tetap saja saya dengan ikhlas menerimanya. Bagaimana saya bisa menolak bau yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah saya cium kembali? Mengamati burung rupanya tak semenjemukan dugaan saya. Dengan berbekal binokuler pinjaman rekan di BICONS, saya mengamati kawanan blekok dan kuntul di atas pepohonan bambu. Untuk pertama kalinya itu saya tahu bahwa morfologi mereka berubah-ubah sesuai tingkat kedewasaan, yang umumnya dibagi menjadi 3 : anak-anak, dewasa, dan masa kawin. Ada satu burung yang cukup menarik dan cantik rupanya, dengan mata berwarna hitam dan kuning, bulu dada merah kekuningan, dan paruh cantik dwiwarna, merah jambu di pangkal dan jingga di ujungnya. Ada pula burung lain yang badannya berwarna coklat, terlihat mencolok karena burung-burung lainnya tubuhnya dominan berwarna putih, dan di ujung paruhnya ada sedikit warna hitam. Hari itu saya diajari oleh rekan-rekan bahwa antar spesies burung bisa terdapat perbedaan ciri yang signifikan tapi bisa pula sangat minor. Saya menjadi kagum dengan ilmuwan yang mendedikasikan dirinya untuk mengamati, menggambar, mendeskripisikan cirri-cirinya, kemudian membuat buku panduan jenis-jenis burung di seluruh dunia. Berpindah tempat dari lokasi pengamatan kami mengamati sekawanan bebek yang sedang mencari makan di sawah. Dan saya geli sekali melihat tingkah mereka! Saat sedang asyik mencari makan di titik A dan belum sepenuhnya selesai mengeksplorasi titik itu, tiba-tiba secara serempak mereka berpindah ke titik lainnya dengan komando salah seekor dari mereka. Yang membuat saya geli adalah semua bebek bisa jadi komandan! Jadi tak peduli bebek A, B, C, atau X sekalipun yang mengajak kawanannya untuk pindah titik makan (umumnya karena ia ada di baris belakang dan mungkin tidak kebagian makanan) maka mereka akan menurut saya, begitu terus selama kurang lebih 20 menit. Saya memberi mereka istilah yang saat ini lumayan populer : ababil (ABG labil), ha-ha-haÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H