Mohon tunggu...
Shesar
Shesar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemuja Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mencermati Ruyati dan Hukum Qisas

20 Juni 2011   02:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21 1716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus dihukum pancungnya TKW Indonesia yang bekerja di Arab Saudi, Ruyati, sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Ruyati divonis hukuman pancung oleh pengadilan Arab Saudi karena didakwa membunuh istri majikannya, Khairiya, yang mana Ruyati sendiri tidak menyangkalnya. Segera setelah berita tersebut terkabarkan di tanah air, muncul berbagai reaksi terhadap nasib yang dialami oleh Ruyati. Beberapa orang dengan emosional mengutuk Arab Saudi yang dinilai berlaku sangat kejam terhadap nyawa manusia, sementara sebagian yang lain menghujat pemerintah yang dinilai tidak memberikan perlindungan yang optimal terhadap warga. Apakah memang seperti itu keadaannya? Di Arab Saudi, hukum pancung sudah lama ada, dasarnya adalah hukum dalam Islam yang bernama qisas, sebuah hukum yang intinya memberikan sanksi hukuman mati kepada seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja. Dalam pengertian bahasa qisas berarti adil, oleh karena itu hukuman mati untuk seseorang yang membunuh dengan kesengajaan dianggap setimpal karena nyawa harus dibayar oleh nyawa pula. Ada pengecualian dimana hukum qisas bisa tidak diberlakukan kepada seseorang yang melakukan pembunuhan, yaitu ketika keluarga korban memberikan maaf kepada si pembunuh. Jika sudah seperti itu, hukum yang dikenakan kepada si pembunuh adalah diyat, dimana ia diwajibkan membayar denda dengan jumlah tertentu tergantung kepada korban pembunuhan (objeknya). Memang jika ditinjau dari sudut pandang keluarga Ruyati dan sebagian masyarakat Indonesia yang mengikuti kasus ini, hukum qisas terlihat kejam dan melanggar hak asasi manusia, tetapi bagaimana jika dilihat dari sudut pandang keluarga Khairiya? Sudah sering ditayangkan di televisi bagaimana keluarga korban pembunuhan berteriak histeris dan terkadang pula mengumpat hakim karena tak terima dengan vonis terhadap si pembunuh yang hanya berupa hukuman sekian tahun penjara. Mereka yang tidak memaafkan si pembunuh umumnya menghendaki si pembunuh dihukum mati, agar supaya nyawa dibalas dengan nyawa. Sebagai negara yang menerapkan hukum syariat Islam secara kaffah (sepenuhnya), Arab Saudi mempunyai keharusan untuk tetap menerapkan hukum qisas kepada Ruyati, karena meski sudah memfasilitasi mediasi dengan pihak keluarga Khairiya, Ruyati tetap tidak diberikan maaf. Jika Arab Saudi tidak melaksanakan hukum qisas tersebut, misal dikarenakan tekanan dari pihak luar, maka runtuhlah komitmen mereka untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Dan dari pihak pemerintah Indonesia juga tentunya mustahil untuk bisa mencampuri atau bahkan mengubah urusan tatanan hukum internal yang sudah lama diterapkan di Arab Saudi. Sejatinya sebagai manusia yang dalam tubuhnya sama-sama mengalir darah Indonesia, saya sedih dan marah mendengar berita dipancungnya Ruyati. Saya sedih karena satu lagi manusia Indonesia menemui akhir hidupnya dengan cara yang tidak mengenakkan di negeri orang. Saya marah karena bagi saya pribadi usaha diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia sangatlah kurang. Memang betul kita tidak bisa mengutak-atik hukum yang telah lama berlaku di Arab Saudi, tetapi hemat saya ada beberapa hal yang seharusnya bisa dilakukan untuk mencegah dihukum pancungnya Ruyati. Pemerintah Indonesia seharusnya memfasilitasi mediasi antara pihak keluarga Khairiya dengan keluarga Ruyati di Indonesia. Barangkali hasil perundingannya akan berbeda jika keluarga Ruyati sendiri yang berunding dengan keluarga Khairiya. Dan jika kata maaf tercapai, pihak pemerintah Indonesia bisa membayarkan denda kepada keluarga Khairiya sesuai hukum yang berlaku. Selain itu yang terpenting adalah pemerintah Indonesia harus bisa menyelesaikan akar dari permasalah ini, yaitu kurangnya kesempatan kerja di dalam negeri sehingga banyak orang yang mengadu nasib dengan menjadi tenaga kerja asing di luar negeri, menghadapi berbagai resiko yang akan muncul nanti. Jika pemerintah Indonesia tidak bisa menyelesaikan akar permasalahannya, maka kemungkinan kita akan terus mendengar kabar saudara kita yang mengalami nasib buruk di negeri orang, entah sampai kapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun