[caption caption="Taman Nasional Tangkoko (gambar: mongabay.com)"][/caption]
“Hah?!” Diri kaget saat mendengat atasan menyampaikan sebuah informasi. Bukan tentang ledakan bom di Sarinah. Percakapan itu terjadi pukul 08.30, sekitar dua jam sebelum ledakan. Pembikin kaget adalah saat beliau bilang bulan depan pemerintah menargetkan 200.000 kunjungan dari Tiongkok.
Tengok rekam jejak berikut dan kau akan paham. Untuk pertama kali dalam sejarah, kunjungan dari Tiongkok menyentuh angka 1 juta. Itu catatan per November lalu. Catatan bulanan tertingginya ada pada Februari kemarin, 137.181 kunjungan. Itu juga rekor yang layak dicatat MURI. Maka untuk mencapai angka 200.000 itu, perlu ada kenaikan sebanyak lebih kurang separuhnya. Lima puluh persen.
Remeh? Kalau perekonomian kita tumbuh sebesar itu, maka kau yang kini tengah membaca tulisan ini, bisa seenaknya membeli PS4 tanpa pusing mikir kapan gimnya bisa dibajak. Makan di warteg bakal susah karena warungnya sudah naik tahta jadi kafe. Dan segala kemakmuran lain yang belum aku dan kau bayangkan.
Belum sempat obrolan itu kutuangkan jadi siaran pers, ada undangan rapat. Di tengah rapat itulah menyeruak kabar ledakan bom. Dan menguaplah pembicaraan di rapat dari kepala.
“Selamat tinggal target 200.000 tadi. Au revoir. Sayonara,” bisikan kecil di kepala.
Mau tak mau, suka tak suka yang namanya bencana macam ini selalu jadi force majeure di sektor pariwisata. Bom Bali jilid I dan II jadi pelajaran. Tak cuma letusan artifisial, yang alami pun berdampak. Sebut satu, gunung yang batuk. Baik kering maupun berdahak lava.
Tunggu. Kok ruang rapat ini selo saja? Padahal ada beberapa orang yang sadar kalau di Sarinah ada bom dan bedil-bedilan. Dan jarak Sarinah itu ya cuma 5 menit ngonthel dan 15 menit mlampah dari kantor. Tapi suara-suara di ruang rapat masih saja bicara soal bagaimana agar tidak dapat rapor merah alias disclaimer.
Semua kalem. Seolah di luar tidak ada apa-apa. Burung masih terbang. Bus Transjakarta masih jalan. Petugas kebersihan di Monas masih leyeh-leyeh selepas sapu sana-sini. Diri heran.
Padahal mau khawatir ya sah-sah saja. Kan Jakarta itu pintu masuk utama wisman, ditemani Batam dan Bali. Dari 8,7 juta kunjungan sampai November tuh 2,1 juta masuk dari Soekarno-Hatta, lalu 3,5 juta dari Ngurah Rai. Wajar kalau cemas-cemas ndak sedap wisman takut ke Jakarta.
Tapi rupanya memang orang Indonesia ini selo sekali. Dalam kasus ini, Jakarta.