Proses pembahasa skema Reducion Emission From Deforestation (REDD) yang ditangani Kelompok Kerja (Pokja) United Nations on REDD (UN-REDD) merupakan tahapan penyiapan (readiness) implementasi REDD pada 2012 nanti. Penyiapan tersebut meliputi memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai REDD, penyusunan strategi nasional dan strategi daerah, kemudian bagaimana mengukur kadar atau level karbonnya, serta bagaimana menghitung penurunan karbon, dan juga menyiapkan para pihak yang berkepentingan dalam program tersebut.
Para pihak tersebut adalah pemerintah, private sector (kalangan bisnis), dan masyarakat lokal maupun masyarakat adat. Penyiapan tersebut termasuk carbon payment mechanism (mekanisme pembayaran karbon) yang menguntungkan masyarakat. Olehnya, penting agar semua pihak memiliki kesepahaman mengenai REDD itu sendiri. Demikian menurut Ketua Fasilitator REDD, Didi Suhariadi di kantor Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah (16/5).
Program REDD ini masih tetap menuai pesimis dari banyak kalangan. Pesimisme itu dilandasi penilaian pemerintah Indonesia melihat REDD hanya sebatas program semata dan akan ada keuntungan ekonomi yang diperoleh lewat skema carbon trade. Sementara itu, kebijakan di dalam negeri mengeluarkan berbagai ijin eksploitasi pertambangan dan ekspansi perkebunan skala besar semacam sawit yang jelas-jelas mengonversi kawasan hutan.
“Jadi Walhi menilai UN REDD bukanlah satu-satunya solusi bagi penyelamatan hutan Sulteng apalagi berkontribusi bagi pemecahan dampak perubahan iklim,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng, Wiliantita Selviana (12/5).
Memang program REDD bernafaskan perdagangan karbon sebagaimana yang juga dikatakan Didi, mekanisme REDD dapat menggunakan mekanisme B to B (business to business) selain mekanisme G to G (government to government). Dalam mekanisme B to B, institusi-institusi bisnis di negara-negara maju yang mengeluarkan karbon bisa langsung berhubungan dengan pelaku bisnis di sini untuk bekerjasama melaksanakan program REDD.
Meski demikian, program REDD tidak bisa langsung masuk ke suatu kawasan. “Program tidak langsung masuk karena ada proses yang namanya FPIC. Masyarakat boleh menerima, boleh menolak. Kalau masyarakat menolak, program tidak akan jadi. Di sini kita memakai prinsip-prinsip FPIC,” katanya.
FPIC atau Free, Prior, and Informed Consent adalah prinsip-prinsip persetujuan terhadap suatu program atau proyek oleh masyarakat lokal/adat yang didahului atas adanya informasi awal berupa segala aspek mengenai pelaksanaan proyek tersebut termasuk dampak-dampaknya. Jadi, FPIC bisa dikatakan peluang masyarakat lokal agar tidak tersingkir dari tanahnya sendiri dan bisa mendapatkan manfaat dari adanya program REDD.
Pelaksanaan FPIC ini tidak mudah dan butuh pemastian. Forest Peoples Programme mencatat pengalaman mereka bahwa untuk memastikan keputusan sungguh-sungguh didasarkan atas FPIC membutuhkan keterlibatan pihak luar, dan lebih penting lagi, masyarakat itu sendiri memperoleh pemahaman yang baik akan prosedur pengambilan keputusan dan implikasi dari keputusan yang mungkin mereka ambil. Kegagalan akan akuntabilitas pengambilan keputusan oleh para pemimpin masyarakat adat bisa berasal dari berbagai faktor termasuk kurangnya apresiasi dari pihak luar atas pengambilan keputusan oleh masyarakat adat; manipulasi terhadap lembaga-lembaga adat mereka; manipulasi pengambilan keputusan oleh para elit adat demi kepentingan mereka sendiri; dan kesalahpahaman masyarakat adat tentang implikasi hukum, sosial dan lingkungan. (Colchester dan Ferrari, 2007). (Sarina)
* Artikel ini pernah dimuat di Majalah Silo--media yang didedikasikan untuk masyarakat adat dan ekologi di Palu, Sulteng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H