Di Sulawesi Tengah, terdapat United Nations on REDD (UN-REDD) yang menggodok persiapan menuju implementasi REDD+ pada 2012. Plus-plus REDD, di antaranya, yaitu plus konservasi, suistanaible forest management, peningkatan cadangan karbon dan pertumbuhan ekonomi tujuh persen.
Tak pelak, nyata bahwa UN-REDD adalah persiapan menuju era perdagangan karbon. Bahkan sudah diancang-ancang satu ton karbon akan dihargai U$ 1-2. Menurut Manager Riset dan Publikasi Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, Andika Setiawan, perdagangan karbon terutama skema offset akan sangat merugikan masyarakat karena hal itu sama dengan mengarahkan hutan menjadi lahan privat, Sabtu (7/5). Ia menyebutkan tiga ancaman yang akan dihadapi masyarakat saat berhadapan dengan hukum positif yang melegitimasi REDD. Pertama, masyarakat akan berhadapan dengan skema privatisasi hutan; kedua, masyarakat akan terancam secara tenurial dan tenancy; dan; ketiga, kriminalisasi masyarakat di sekitar hutan karena dianggap menyerobo, bahkan yang paling parah bisa direlokasi.
“Memang salah satu hal positif yang bisa dipetik dari REDD adalah moratorium di sektor kehutanan, karena memang laju kerusakan hutan sangat tinggi. Tapi pemerintah lagi-lagi tidak serius karena moratorium hanya mencakup hutan primer,” ujar Andika, menambahkan.
Pihaknya turut serta berupaya memastikan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yaitu suatu persetujuan sukarela yang diberikan oleh masyarakat sendiri kepada suatu proyek didahului dengan pemberian informasi awal mengenai proyek tersebut dan dampak-dampaknya. FPIC merupakan gagasan yang paling memungkinkan dan senjata untuk membela masyarakat sipil terkait dengan REDD. Pemastian itu berupa masyarakat mengetahu apa itu REDD, level kebijakan tentang REDD, apa itu bahaya dan ancaman yang mungkin datang dari REDD nantinya serta bagaimana posisi masyarakat lokal dan masyarakat adat terkait dengan REDD.
Dengan demikian, perdagangan karbon bisa menjadi rahmat sekaligus petaka. Masyarakat lokal berharap mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung dengan berpartisipasi pada program REDD. Harapan yang jika tidak dipenuhi mesti diwaspadai akan berbuah konflik-konflik baru.
Itulah sebabnya, Koordinator Pokja Dua UN-REDD, Abdul Rauf, mengatakan REDD sebaiknya tidak diisukan sebagai proyek besar karena akan menimbulkan kesan adanya uang yang membuat orang berebut. Jika masyarakat berpikir bahwa REDD adalah perdagangan karbon akan menjadi penyebab munculnya pertanyaan, “Apakah REDD akan dibayar atau tidak?”; “Kalau mau dibayar, bagaimana caranya?”; “Siapa yang membayar dan yang dibayar?”
Jika REDD dipandang sebagai program konservasi yang spesifik pada hutan, maka REDD hanya dipandang sebagai dana suplemen. “Saya hanya katakan bahwa REDD ini hanyalah dana suplemen kepada negara-negara tropis untuk menjaga hutannya. Tanpa dana itu pun negara harus melakukan konservasi hutan karena ada anggaran negara,” kata Abdul Rauf yang juga dosen Fakultas Pertanian di Universitas Tadulako ini, pada Rabu (25/5).
Ia juga menambahkan, negara maju senantiasa memperbaiki teknologi produksinya dari waktu ke waktu, termasuk menciptakan teknologi rendah emisi. Dicontohkan, bahan bakar pertamax lebih rendah emisi daripada bahan bakar premium. Dikhawatirkan, semangat penurunan emisi ini bisa saja digunakan negara-negara maju untuk mendesakkan kepada negara-negara berkembang agar menggunakan teknologi rendah emisi tersebut. Artinya, negara-negara berkembang harus membeli dari negara-negara industri maju. Lagi-lagi, kepentingan ekonomi. (Sarinah)
* Artikel ini pernah dimuat di Majalah Silo edisi 42--–media komunitas yang didedikasikan untuk masyarakat adat dan ekologi di Palu, Sulteng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H