Ada yang mengumpamakan takdir seperti domba yang diikat pada sebatang tonggak di tengah lapangan rumput. Sepanjang rentang tali ikatan, si domba bebas untuk memilih rumput mana yang disukainya. Sedang di luar radius tali ikatan, sehijau apapun rumputnya, domba tidak akan mampu meraih. Perumpamaan ini mirip takdir. Untuk mempermudah, takdir dapat digolongkan sebagai “bisa diubah” dengan yang “tidak bisa diubah”. Lulus atau tidaknya ujian merupakan pemisalan takdir yang bisa diubah atau diusahakan. Sedang kematian sering dijadikan contoh sebagai takdir yang tidak bisa diubah. Namun, kenyataannya akan amat sulit memilah secara tegas mana saja yang bisa diubah dan yang tidak. Tujuan praktis akan keyakinan takdir mungkin saja atas fungsinya sebagai pegangan akhir manusia. Sebagai tempat mencari jawab atas hal tak menyenangkan yang menimpanya. Agar tak putus asa, depresi, apalagi bunuh diri. Singkatnya untuk tetap menjaga kewarasan rohani. Hal tak menyenangkan perlu diberi garis tebal karena orang umumnya tak akan kembali ke takdir untuk menjelaskan keberhasilannya. Hampir semua akan bilang kalau ini hasil kerja keras, keberhasilan lobi, dan lainnya. Biasalah, manusia. Cuma, takdir juga bisa disalahgunakan. Contoh paling ekstrim ada di fatalisme. Buat apa berusaha dan melakukan sesuatu kalau Tuhan toh sudah menentukan sebelumnya. Tak perlu lagi bersusah payah kalau hasil sudah ditentukan. Mungkin sudah tak banyak yang memegang cara pandang ini, namun dalam proporsi kecil dan tak kentara bisa saja bentuk serupa masih bersemayam dalam alam bawah sadar. Penyalahgunaan berikut terjadi saat seseorang menisbatkan takdir atas ketidakmaksimalan dirinya sendiri. Ketidakmaksimalan sering disamarkan dengan kata-kata indah seperti: mungkin ini yang terbaik dari Tuhan, mungkin ini pilihan Tuhan, dan sejenisnya. Ketika seseorang mendapatkan pilihan kedua dan bukan yang pertama, langkah pertama yang perlu ditunaikan adalah meninjau sejauh apa dia telah berusaha. Jika masih banyak waktu yang disiakan, tak sungguh-sungguh dalam berbuat, jelas ini bukan menjadi yang terbaik. Mendapat pilihan kedua tak lain akibat ketidakmaksimalannya. Andaikan lebih sungguh-sungguh, hasil lebih baik sebenarnya telah disiapkan untuknya. Begitulah, dua cara memaknai takdir. Ambil pemaknaan baik, tanggalkan yang buruk. Hidup tak selamanya mudah. Kegagalan, cobaan, musibah bisa datang sewaktu-waktu. Di saat kritis, kesehatan rohani tetap perlu dijaga. Dalam kerangka ini, takdir akan jadi penyeimbang. Bahwa ada kekuatan lain yang turut menentukan arah hidup. Bahwa disamping kemampuan-kemampuannya, manusia tetap perlu merunduk.[] http://syafrilhernendi.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H