"Takut berubah biasanya dipicu ketidaktahuan akan apa yang terjadi di masa depan."
Perubahan adalah keniscayaan hidup. Satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
Â
Pagi matahari terbit, sorenya tenggelam. Tanggal di kalender setiap hari selalu berganti. Tantangan hidup berubah. Tubuh yang dulu mulus semakin hari juga berubah semakin keriput.
Â
Perubahan bisa terasa menakutkan. Kita mungkin sedikit cemas saat rambut yang dulu hitam berangsur menjadi kelabu. Menyadari fisik yang tidak sekuat dulu lagi bisa mendatangkan rasa tak nyaman.
Â
Itu sebab, kita cenderung menolak perubahan. Tidak hanya perubahan fisik, tapi juga pada aspek hidup lainnya.
Â
Kita cenderung ingin terus berada di jalur yang sama meski itu membuat kita tidak bahagia atau tidak sehat.
Â
Misal, kita terus menjalani pekerjaan yang tidak kita sukai. Atau tetap mempertahankan hubungan yang sebenarnya sudah terlalu parah untuk diperbaiki.
Â
Kita merasa sudah 'berkorban' banyak untuk mendapatkan pekerjaan atau menjalin hubungan.
Â
Timbul pikiran, sudah 5 tahun saya bekerja. Meskipun tidak menyukai suasana kerja sekarang, mudah-mudahan kondisi akan membaik. Jangan sampai 5 tahun pengorbanan jadi sia-sia, batin kita.
Â
Kondisi ini bisa pula berlaku dalam hubungan romantis, hubungan pertemanan atau relasi sosial lain.
Â
Jadi, alih-alih berusaha berubah (move on) meskipun tidak nyaman, kita lebih memilih mempertahankan status quo meskipun tidak bahagia.
Â
Padahal, semakin lama dalam status quo, kita akan semakin menyia-nyiakan waktu dibanding ketika menerima perubahan sejak lebih awal.
Â
Tidak hanya pada level individu, keengganan berubah juga bisa berpengaruh pada level luas seperti perusahaan atau negara.
Â
Banyak perusahaan besar yang akhirnya rontok karena terlambat berubah. Kodak, misalnya, menjadi perusahaan yang amat kuat saat fotografi masih menggunakan rol film.
Â
Seiring perubahan fotografi menjadi digital, Kodak kesulitan bertahan karena telat menyesuaikan diri dengan tren baru fotografi terbaru.
Â
Selain Kodak, kasus serupa juga terjadi pada Nokia, Blackberry atau Yahoo.
Â
Lantas bagaimana agar kita lebih mudah menerima serta nyaman dengan perubahan?
Â
Pertama, kita harus merasa nyaman berada dalam kondisi 'tidak mengetahui.'
Â
Takut berubah biasanya dipicu ketidaktahuan akan apa yang terjadi di masa depan.
Â
Hanya saja, apakah dengan tidak berubah kita lantas mengetahui apa yang akan terjadi? Tidak juga.
Â
Sebagai contoh, kita takut keluar dari pekerjaan saat ini karena khawatir kesulitan mencari pekerjaan baru. Â
Â
Dalam kondisi ini cuma tersedia 2 pilihan. Meneruskan pekerjaan yang tidak disukai dan 'pasti' tidak bahagia, atau mencari pekerjaan lain yang 'belum tentu' membuat kita bahagia.
Â
Tapi perlu diingat, saat memilih untuk tetap tinggal, sebenarnya tidak ada jaminan kita tidak akan kehilangan pekerjaan.
Â
Rasa terpaksa dan tidak bahagia biasanya berpengaruh pada penurunan performa kerja. Saat kinerja menurun, posisi bisa terancam.
Â
Selanjutnya yang kedua, temukan contoh sukses pada orang yang bersedia berubah.
Â
Temukan inspirasi dari orang di sekitar kita, dari bahan bacaan (buku, artikel), atau dari diri kita sendiri.
Â
Pikirkan kembali ketika kita takut berubah, tetapi bersedia menerimanya, dan perubahan itu ternyata membawa kebaikan. Â
Â
Ambil hikmah dari perusahaan besar yang bersedia berubah yang akhirnya tidak hanya bertahan, tapi juga semakin berkembang. Jadikan ini inspirasi untuk tidak takut menyongsong perubahan.
Â
Dan ketiga, tumbuhkan sikap menerima dengan sepenuhnya realitas yang mengiringi perubahan.
Â
Menerima sesuatu dengan ikhlas membuat kita sadar bahwa melawan realitas hanya akan menyebabkan lebih banyak penderitaan.
Â
Agar mampu menghadapi masalah atau tantangan, pertama kita harus menerimanya terlebih dahulu (tidak menyangkal). Â Â
Â
Dengan demikian, kita tidak membuang energi untuk menyangkal sehingga lebih mampu membuat rencana proaktif untuk menyongsong perubahan.
Â
Pada akhirnya, hidup selalu berubah, terlepas kita bersedia menerimanya atau tidak. Â
Â
Anak-anak tumbuh dewasa, orang menjadi tua dan meninggal, pemerintah berpindah tangan, dan berderet contoh lain.
Â
Kita bisa tetap terjebak di masa lalu atau bersedia merangkul masa depan.
Â
Setiap perubahan bisa membuat kita lebih kuat atau lebih lemah, tergantung bagaimana kita menghadapinya.
Â
Pilihannya cuma dua: menolak dan terjebak menjadi versi kecil diri kita sendiri, atau menerimanya dan menjadi versi diri kita yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih lengkap.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H