Mohon tunggu...
Syafril Hernendi
Syafril Hernendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Living Life to Your Fullest

Personal Development Speaker | Email: syafril@syafrilhernendi.com | FB: /syafrilhernendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merasa Sulit Berubah? 3 Tips untuk Mempermudahnya

23 Desember 2020   09:40 Diperbarui: 23 Desember 2020   09:45 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Takut berubah biasanya dipicu ketidaktahuan akan apa yang terjadi di masa depan."

Perubahan adalah keniscayaan hidup. Satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
 
Pagi matahari terbit, sorenya tenggelam. Tanggal di kalender setiap hari selalu berganti. Tantangan hidup berubah. Tubuh yang dulu mulus semakin hari juga berubah semakin keriput.
 
Perubahan bisa terasa menakutkan. Kita mungkin sedikit cemas saat rambut yang dulu hitam berangsur menjadi kelabu. Menyadari fisik yang tidak sekuat dulu lagi bisa mendatangkan rasa tak nyaman.
 
Itu sebab, kita cenderung menolak perubahan. Tidak hanya perubahan fisik, tapi juga pada aspek hidup lainnya.
 
Kita cenderung ingin terus berada di jalur yang sama meski itu membuat kita tidak bahagia atau tidak sehat.
 
Misal, kita terus menjalani pekerjaan yang tidak kita sukai. Atau tetap mempertahankan hubungan yang sebenarnya sudah terlalu parah untuk diperbaiki.
 
Kita merasa sudah 'berkorban' banyak untuk mendapatkan pekerjaan atau menjalin hubungan.
 
Timbul pikiran, sudah 5 tahun saya bekerja. Meskipun tidak menyukai suasana kerja sekarang, mudah-mudahan kondisi akan membaik. Jangan sampai 5 tahun pengorbanan jadi sia-sia, batin kita.
 
Kondisi ini bisa pula berlaku dalam hubungan romantis, hubungan pertemanan atau relasi sosial lain.
 
Jadi, alih-alih berusaha berubah (move on) meskipun tidak nyaman, kita lebih memilih mempertahankan status quo meskipun tidak bahagia.
 
Padahal, semakin lama dalam status quo, kita akan semakin menyia-nyiakan waktu dibanding ketika menerima perubahan sejak lebih awal.
 
Tidak hanya pada level individu, keengganan berubah juga bisa berpengaruh pada level luas seperti perusahaan atau negara.
 
Banyak perusahaan besar yang akhirnya rontok karena terlambat berubah. Kodak, misalnya, menjadi perusahaan yang amat kuat saat fotografi masih menggunakan rol film.
 
Seiring perubahan fotografi menjadi digital, Kodak kesulitan bertahan karena telat menyesuaikan diri dengan tren baru fotografi terbaru.
 
Selain Kodak, kasus serupa juga terjadi pada Nokia, Blackberry atau Yahoo.
 
Lantas bagaimana agar kita lebih mudah menerima serta nyaman dengan perubahan?
 
Pertama, kita harus merasa nyaman berada dalam kondisi 'tidak mengetahui.'
 
Takut berubah biasanya dipicu ketidaktahuan akan apa yang terjadi di masa depan.
 
Hanya saja, apakah dengan tidak berubah kita lantas mengetahui apa yang akan terjadi? Tidak juga.
 
Sebagai contoh, kita takut keluar dari pekerjaan saat ini karena khawatir kesulitan mencari pekerjaan baru.  
 
Dalam kondisi ini cuma tersedia 2 pilihan. Meneruskan pekerjaan yang tidak disukai dan 'pasti' tidak bahagia, atau mencari pekerjaan lain yang 'belum tentu' membuat kita bahagia.
 
Tapi perlu diingat, saat memilih untuk tetap tinggal, sebenarnya tidak ada jaminan kita tidak akan kehilangan pekerjaan.
 
Rasa terpaksa dan tidak bahagia biasanya berpengaruh pada penurunan performa kerja. Saat kinerja menurun, posisi bisa terancam.
 
Selanjutnya yang kedua, temukan contoh sukses pada orang yang bersedia berubah.
 
Temukan inspirasi dari orang di sekitar kita, dari bahan bacaan (buku, artikel), atau dari diri kita sendiri.
 
Pikirkan kembali ketika kita takut berubah, tetapi bersedia menerimanya, dan perubahan itu ternyata membawa kebaikan.  
 
Ambil hikmah dari perusahaan besar yang bersedia berubah yang akhirnya tidak hanya bertahan, tapi juga semakin berkembang. Jadikan ini inspirasi untuk tidak takut menyongsong perubahan.
 
Dan ketiga, tumbuhkan sikap menerima dengan sepenuhnya realitas yang mengiringi perubahan.
 
Menerima sesuatu dengan ikhlas membuat kita sadar bahwa melawan realitas hanya akan menyebabkan lebih banyak penderitaan.
 
Agar mampu menghadapi masalah atau tantangan, pertama kita harus menerimanya terlebih dahulu (tidak menyangkal).    
 
Dengan demikian, kita tidak membuang energi untuk menyangkal sehingga lebih mampu membuat rencana proaktif untuk menyongsong perubahan.
 
Pada akhirnya, hidup selalu berubah, terlepas kita bersedia menerimanya atau tidak.  
 
Anak-anak tumbuh dewasa, orang menjadi tua dan meninggal, pemerintah berpindah tangan, dan berderet contoh lain.
 
Kita bisa tetap terjebak di masa lalu atau bersedia merangkul masa depan.
 
Setiap perubahan bisa membuat kita lebih kuat atau lebih lemah, tergantung bagaimana kita menghadapinya.
 
Pilihannya cuma dua: menolak dan terjebak menjadi versi kecil diri kita sendiri, atau menerimanya dan menjadi versi diri kita yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih lengkap.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun