Setiap orang memiliki kebebasan berekspresi di media sosial. Media sosial yang hadir dan dapat digunakan untuk menunjukkan kebebasan berekspresi dalam bentuk opini dan pemikiran yang dapat membuat perilaku ataupun pendapat seseorang terhadap sesuatu berubah atau menjadi ragu. Kebenaran objektif dapat menjadi abu-abu ketika muncul suatu informasi baru yang tidak kita kenali sumbernya. Hal itu dapat terlihat dari munculnya konten berita bohong (hoax), berita palsu (fake news), dan ujaran kebencian (hate speech), yang menciptakan iklim jenuh terhadap intoleransi dan prasangka, yang dapat memicu permusuhan, diskriminasi, hingga serangan kekerasan (Sudarmanto & Meliala, 2020). Kamus Cambridge mendefinisikan berita palsu atau hoax sebagai cerita palsu yang tampaknya menjadi berita, tersebar di internet atau menggunakan media lain, biasanya dibuat untuk mempengaruhi pandangan politik atau sebagai lelucon (Cambridge Advanced Learner's Dictionary & Thesaurus 2019; Kedar, 2020: 133).
HOAX, DARI SIAPA DAN UNTUK SIAPA?
Sampai saat ini, penyebaran informasi atau berita melalui media online tidak hanya dilakukan oleh situs berita yang sudah dikenal oleh masyarakat, tetapi bisa dilakukan oleh siapa saja yang menggunakan internet. Namun, informasi atau berita yang disebarkan secara individu atau berkelompok banyak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau terindikasi hoax (Juditha, 2018). Hal ini tentu saja membuat masyarakat menjadi sulit membedakan informasi mana yang faktual dan mana yang hanya hoax semata. Fenomena hoax semakin meningkat saat momen-momen kritis (Sudarmanto & Meliala, 2020), seperti saat pemilihan umum maupun di masa pandemi COVID-19 yang sedang terjadi saat ini.
Beberapa kasus yang terkait hoax di media sosial semakin menjamur di masa pandemi ini. Seperti dilansir dari CNN.com (2021, Maret), isu hoax tersebar sebanyak 2.697 di media sosial dan paling banyak tersebar di platform Facebook dan Twitter. Angka total tersebut merupakan kumpulan isu hoax COVID-19 dari 23 Januari 2020 sampai 10 Maret 2021. Tentu saja kasus-kasus hoax ini bisa diproses menggunakan hukum positif di Indonesia, apalagi ketika kasus hoax ini menimbulkan berbagai konflik sosial di masyarakat.
KASUS HOAX DAN HUKUMNYA
Pelaku penyebar hoax bisa dikenakan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) yang menjelaskan bahwa pelaku penyebar hoax bisa dihukum maksimal enam tahun penjara dan/ denda maksimal sebesar Rp 1 miliar. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 45A ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, yaitu:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”
Selain itu dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga dijelaskan bahwa pelaku penyebar hoax digambarkan sebagai “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
BAGAIMANA PERAN AHLI BAHASA DI PERSIDANGAN?
Dalam hal penanganan kasus hoax, ahli bahasa (linguis) dapat menjadi expert witnesses yang mampu dan kompeten dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan bidang keahlian mereka, sehingga dapat membantu pembuktian dalam proses peradilan pidana. Alasan ahli bahasa diperlukan dalam proses peradilan karena tersangka mengucapkan atau menuliskan kata-kata yang tidak berkenan bagi orang lain dan kata-kata itu harus ditafsirkan oleh ahli bahasa supaya jelas apa makna sebenarnya. Contohnya dalam kasus yang berkaitan dengan harga diri, seperti pencemaran nama baik. Maka dari itu, dalam konteks ini, ahli bahasa dihadirkan untuk memberikan penjelasan apakah kata-kata yang diucapkan seseorang mengandung makna yang merendahkan martabat seseorang atau tidak. Ahli bahasa akan menggunakan keahliannya di bidang linguistik untuk membuktikan makna kata itu.
Jadi, apabila dalam suatu berita palsu (hoax) yang dapat menimbulkan kebencian maupun permusuhan di dalam masyarakat, maka ahli bahasa berperan untuk menganalisis penggunaan kata dalam suatu konteks yang menghasilkan suatu makna yang berbeda-beda tergantung dalam konteks apa pelaku menuliskan atau mengucapkannya. Penjelasan ahli bahasa dalam persidangan dapat memberikan pencerahan kepada hakim tentang suatu kasus, sehingga hakim dapat memberikan putusan hukum seadil-adilnya.
Dalam sistem hukum di Indonesia, kegunaan alat bukti ahli dalam penyelesaian perkara adalah untuk memberikan pendapat berupa penilaian terhadap suatu kasus atau yang ditanyakan kepada dia (keterangan ahli). Terdapat dua syarat keterangan ahli yakni syarat materiil (Pasal 1 angka 28) yang menjelaskan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan; serta syarat formil (Pasal 160 ayat 4) yakni jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan. Maka dari itu, dalam kasus hoax maupun hate speech, peranan ahli bahasa sangat penting untuk membantu proses pembuktian dalam proses peradilan pidana.
Daftar Pustaka