Mohon tunggu...
S Herianto
S Herianto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Katanya orang-orang, saya penulis, fotografer, designer grafis, dan suka IT. Bisa jadi. Tulisan saya juga ada di www.cocokpedia.net

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan featured

Logika Terbalik Pendidikan Anti Korupsi?

9 April 2017   04:13 Diperbarui: 9 Desember 2018   13:41 2028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Warga melintas di depan mural yang menulis pesan moral antikorupsi di kawasan Menteng, Jakarta, Rabu (15/5/2013). Masyarakat mengekspresikan dukungan atas pemberantasan korupsi dengan beragam cara.(KOMPAS/RIZA FATHONI)

Pendidikan antikorupsi? Hahaha. Lucu! Lebih lucu lagi sasaran peserta workshopnya, para guru. Para rakyat. Tindaklanjutnya agar guru nantinya bisa menularkan yang disebut sebagai pendidikan anti korupsi itu kepada para siswa dan anak-anak. 

Sementara, mata siswa dan anak-anak terlalu sering menyaksikan tindakan-tindakan yang sebaliknya dari media cetak dan noncetak serta televisi. Bertabrakan, kan? Harusnya para pejabat atau calon pejabat dulu yang harus mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) atau workshop atau apapun namanya. Bukan rakyat dulu. Kalau mereka tidak lulus, ya harus dengan rela hati turun kursi. Begitu seharusnya.

Masih ingat sejarah Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau yang dikenal dengan penataran P4 dulu? Sasarannya seluruh rakyat Indonesia. Rakyat, lo, ya, bukan pemerintah atau para pejabat negara. Pesertanya rakyat. Rakyat sekolah dasar hingga universiti. Bahkan para petani dan dan nelayan. 

Apa coba hasilnya? Nol besar. Wal hasil MPR no. II/MPR/1978 yang menaungi P4 dan Pancasila dihapus! BP7 dibubarkan. Para penatar dipensiunkan. Dan para petatar lupa ingatan. Hahaha!

Sebenarnya, P4 itu baik, tapi tekniknya yang gak pas. Harusnya Top downbukan Bottom up. Harusnya dari atasan dulu memberi suri teladan. Bukannya rakyat yang didoktrin agar Pancasilais dan atasannya justru berlindung di balik Pancasila untuk menutupi arogansi korupnya.

ilustrasi: bantenpos.co
ilustrasi: bantenpos.co
Lagi-lagi dengan cara dan teknik yang sama. Hmm, pendidikan anti korupsi. Hahaha. Lucu, sungguh lucu! Pasti akan jatuh pada lubang yang sama. Pendidikan anti korupsi yang didoktrinkan kini diintegrasikan dengan Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan. Biar bagus dan nge-link ke Pancasila. Bisa bertaut dengan pendidikan karakter. Bagus kok, tapi mengapa mengulang cara yang sama?

Sebenarnya ini pekerjaan awal Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK). Maaf, bukan Kelipatan Persekutuan terKecil. Tapi, Komisi ($) Pemberantasan Korupsi! Nah, apa yang dilakukan KPK? Menindak, kan? Memberantas! Memberangus! Menyampahkan koruptor! harusnya mendidik calon pejabat dengan pendidikan karakter dulu, termasuk pendidikan anti korupsi. Sumpah jabatan menyebut nama Tuhan dan setia pada Pancasila sepertinya kurang menggigit. Terlalu mainstream. Hahaha.

Monggo KPK, bikin diklat dan workshop untuk para presiden dan calon presiden. Para menteri kabinet dan yang punya cita-cita menjadi menteri. Para gubernur dan calon atau yang ambisi menjadi gubernur. Dan seterusnya, dari atas, tapi jangan lagi rakyat! Rakyat biarkan menjadi penonton saja. Posting seluruh kegiatan workshop para pembesar negara itu di media sosial secara terbuka. Kalau mereka tidak lulus, yang silakan diberi pilihan yang sulit. Hahaha.

Lucu! Kita tunggu saja hasilnya 20 tahun yang akan datang seperti apa kira-kira. Menurut data hasil survey Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2011 tercatat 1.053 koruptor di Indonesia. Itu yang tercatat, yang tidak tercatat berapa? Itu tahun 2011, kalau sekarang berapa? Hahaha.

Katakan tidak pada korupsi! Memangnya korupsi itu orang? Korupsi itu perbuatan bukan orang. Korupsi itu seperti makhluk gaib! Suka ngobrol sama yang gaib ya? Yang orang itu koruptornya! Pantas kalau sekarang merajalela perbuatan korupsi karena kita disarankan mengatakan tidak pada korupsi. Kalau kepada koruptornya bilang: mana lagi? Hahaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun