"Semua kegiatan radikalisme yang kemudian mengarah ke ekstremisme dan terorisme diawali dari sikap-sikap intoleransi. Intoleransi dengan radikalisme itu bukan irisan yang berbeda, tetapi saling menopang."Â
-Islah Bahrawi-
Pada era ini, kita dihadapkan dengan paham-paham yang tidak sesuai dengan norma masyarakat salah satunya paham radikalisme. Radikalisme merupakan fenomena yang mengkhawatirkan karena potensinya untuk merusak stabilitas sosial dan mengancam keselamatan publik. Radikalisme dalam konteks pendidikan menjadi perhatian khusus karena sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan siswa. Namun, ketika ideologi radikalisme merambah ke dalam lingkungan pendidikan, hal tersebut dapat mengganggu proses pembelajaran dan membahayakan keamanan siswa.
Tindakan kekerasan yang seringkali terkait dengan radikalisme dapat menciptakan atmosfer yang tidak kondusif di sekolah, mengganggu iklim belajar yang seharusnya terjaga dengan baik. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas pendidikan serta mengganggu kesehatan mental dan emosional siswa. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk mengambil langkah-langkah preventif dan proaktif untuk melawan radikalisme serta menjaga keamanan dan integritas lingkungan belajar.
Hafid (2020) menguraikan definisi radikalisme, diambil dari gramedia.com ia menguraikan bahwa radikalisme merupakan sikap yang membawa pada tindakan atau aksi yang bertujuan melemahkan serta mengubah tatanan yang sudah mapan dan menggantinya dengan pemahaman yang baru, terkadang gerakan perubahan ini disertai dengan tindak kekerasan. Sementara itu, M. Saekan Muchith dalam jurnalnya yang berjudul Radikalisme dalam Dunia Pendidikan menjabarkan, dari perspektif bahasa, sebenarnya arti kata radikal jauh berbeda dengan teroris. Karena, radikal adalah proses secara sungguh-sungguh untuk melatih keberhasilan atau cita-cita yang dilakukan dengan cara-cara yang positif.
Banyak aksi radikalisme yang bermuara secara kasat mata di lingkungan kita. Mulai dari fitnah, penyebaran berita hoax, aksi perundungan, tawuran antar pelajar/mahasiswa, dan masih banyak lagi.
Isu-isu terkait aksi radikalisme ini sudah menjamur di kalangan pelajar dan mahasiswa. Dalam artian, lokasi bermuaranya radikalisme saat ini yaitu ada pada lembaga pendidikan. Padahal, lembaga pendidikan merupakan institusi yang seharusnya menjadi sarang ilmu dan pengetahuan guna melahirkan sumber daya berkualitas sebagai partisipan dalam membangun pendidikan bangsa Indonesia. Namun pada kenyatannya, hal tersebut telah bergeser menjadi institusi yang menyengsarakan di mana lembaga pendidikan kita saat ini justru rentan terpapar paham radikalisme. Bahkan jika kita berselancar di internet dan menjelajahi dunia maya, paham radikalisme ini justru lebih rentan menjangkit generasi muda jika dibandingkan dengan paham radikalisme yang menjangkit orang dewasa.
Dilansir dari antaranews.com, pada kegiatan yang digelar Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FPKT) Daerah Istimewa Yogyakarta itu, Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Polisi R. Ahmad Nurwakhid menyebutkan indeks potensi radikalisme di Indonesia tahun 2019 berada pada angka 38,4 persen dan turun menjadi 12,2 persen pada 2020 sampai 2021. Dari indeks tersebut, persentase anak muda generasi Z berusia 14 hingga 19 tahun dan milenial berusia 20 hingga 39 tahun mendominasi, yakni mencapai lebih dari 50 persen. Begitu ironisnya jika bibit-bibit paham yang merusak ini justru lahir dari generasi muda terutama kaum pelajar dan mahasiswa yang notabene merupakan agen perubahan guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Ditinjau dari paparan di atas, perlu ada langkah untuk mengatasi permasalahan aksi radikalisme agar tidak menjangkit lebih luas.Â