Mohon tunggu...
Kebijakan Pilihan

Counter-Insurgency

13 April 2019   12:41 Diperbarui: 13 April 2019   12:45 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Counter-Insurgency merupakan kebalikan dari Insurgency yang dimana Counter-Insurgency ( penumpasan pemberontakan ) ialah "upaya militer dan sipil menyeluruh yang diambil untuk mengalahkan dan memadamkan pemberontakan dan mencabut sampai ke akar-akarnya" ( Bureau of Political-Military Affairs, 2009 ) sedangkan Insurgency merupakan penolakan terhadap otoritas yang dimana pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk dari pembangkangan sipil (civil disobedience) sampai kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada.

ada beberapa tokoh yang mengemukakan mengenai teori Counter-Insurgency yaitu Santa Cruz de marcenado, Robert Thompson dan David Kilcullen. Yang dimana santa cruz de marcenado (1684-1732)  dalam bukunya yang berjudul Reflexiones Militares yang diterbitkan pada tahun antara 1726 dan 1730, yang dimana bukunya membahas cara menemukan tanda-tanda awal pemberontakan yang baru terjadi, mencegah pemberontakan, dan melawan mereka, jika mereka tidak bisa dicegah lagi. kemudian Robert Thompson yang menulis buku yang berjudul Defeating Communist Insurgency  pada tahun 1966 yang dimana Robert Thompson menguraikan Counter-Insurgency dalam 5 prinsip. yaitu

  1. Pemerintah harus memiliki tujuan politik yang jelas: untuk membangun dan mempertahankan negara yang bebas, merdeka, dan bersatu yang stabil secara politik dan ekonomi dan layak.
  2. Pemerintah harus berfungsi sesuai dengan hukum.
  3. Pemerintah harus memiliki rencana keseluruhan.
  4. Pemerintah harus mengutamakan mengalahkan subversi politik, bukan gerilyawan.
  5. Dalam fase gerilya pemberontakan, pemerintah harus mengamankan daerah basisnya terlebih dahulu.

Lalu David Kilcullen dalam bukunya yang berjudul The Three Pillars of Counterinsurgency yang dimana tiga pilar itu adalah keamanan, politik dan ekonomi. Kilcullen menganggap ketiga pilar itu penting karena jika dikembangkan secara paralel, kampanye menjadi tidak seimbang: terlalu banyak bantuan ekonomi dengan keamanan yang tidak memadai, misalnya, hanya menciptakan serangkaian target empuk bagi pemberontak.

Demikian pula, terlalu banyak bantuan keamanan tanpa konsensus politik atau pemerintahan hanya menciptakan kelompok-kelompok bersenjata yang lebih mampu. Dalam mengembangkan setiap pilar, kami mengukur kemajuan dengan mengukur efektivitas (kemampuan dan kapasitas) dan legitimasi (sejauh mana populasi menerima bahwa tindakan pemerintah adalah kepentingannya). ( Kilcullen, David 2006 ).

Kasus Counter-Insurgency yang terjadi di indonesia yaitu saat militer indonesia menyergap pemasok senjata OPM di papua nugini yang dimana Pangdam Cenderawasih saat itu, Brigjen Raja Kamil Sembiring Meliala, menerima laporan intelijen bahwa beberapa kali ada helikopter yang datang dengan pintu terbuka di dekat kamp pelintas batas di Blackwater, dekat Vanimo, papua nugini. Helikopter tersebut menurunkan bahan makanan juga peti-peti panjang.Peti panjang itu lah yang diduga berisi senjata.

Intelijen juga mengidentifikasi penumpang helikopter yang berkulit putih. Artinya, bukan orang Papua atau papua nugini.Pangdam kemudian melaporkan masalah ini ke Mabes ABRI. Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani memutuskan untuk mengambil langkah sendiri untuk mengidentifikasi siapa dan negara mana yang melakukan hal itu.Caranya dengan menyusupkan pasukan komando masuk ke wilayah Papua Nugini tanpa permisi.

Tugas tersebut lalu dipercayakan kepada Detasemen 81 Kopassandha (nama Kopassus waktu itu). Sasaran mereka adalah suatu lokasi di wilayah Papua Nugini, sekitar 50 km dari tapal batas perbatasan dengan Indonesia. Pasukan ini berangkat dari Jayapura dengan helikopter, kemudian di drop di suatu tempat dan melanjutkan misi dengan perahu karet agar tidak terdeteksi otoritas Papua Nugini.

Perjalanan dini hari menggunakan perahu karet menuju lokasi sasaran terhadang oleh besarnya ombak di perairan sebelah utara PNG. Seorang anggota Kopassandha sampai terluka cukup parah untuk mempertahankan perahu dari terjangan ombak. Akhirnya, mereka berhasil sampai di titik pendaratan dan langsung bergerak menuju lokasi sasaran. Pasukan komando ini segera mencari tempat-tempat yang dicurigai sebagai lokasi penimbunan pasokan senjata. Tetapi, hasilnya nihil.

Tugas operasi belum selesai, mereka harus bisa mendapatkan bukti seperti perintah dari Jakarta.mereka pun melanjutkan tugas rahasia tersebut. Setelah menunggu selama dua hari dua malam, akhirnya mangsa yang ditunggu muncul dengan cara sembunyi-sembunyi.

Dua orang kulit putih muncul dari balik rimbunnya hutan Papua Nugini. Mereka tanpa sadar melintasi posisi pasukan Baret Merah yang sedang mengintainya. Tanpa membuang waktu, kedua bule ini pun ditangkap. Setelah diperiksa dan diinterogasi, keduanya mengaku sebagai agen Australia. Mereka juga menunjukkan lokasi tempat helikopter Australia yang memasok senjata dan amunisi untuk OPM.

Jadi kesimpulan yang bisa didapatkan, Counter-Insurgency merupakan cara atau metode yang digunakan untuk mengamankan dan menstabilkan keamanan negaranya. karena pemberontakan itu sendiri walaupun termasuk kedalam cara mengapresiasi dari tujuan suatu kelompok, tapi jikalah sampai menyakiti bahkan membunuh, maka itu sendiri sudah melanggar dari HAM manusia, jadi daripada melakukan pemberontakan, maka lebih baik cara preventif dilakukan untuk menghindari Counter-Insurgency yang merupakan reaksi dari insurgency.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun