Mohon tunggu...
Shenry
Shenry Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit dan Mitos yang Hilang

31 Oktober 2024   22:39 Diperbarui: 31 Oktober 2024   22:47 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyak orang mengatakan dan berspekulasi bahwa langit berwarna biru karena gas dan partikel yang menghamburkan sinar matahari ke segala arah sehingga cahaya biru merambat menjadi gelombang yang lebih pendek dan kecil. Tapi, mari kuceritakan sebuah kisah. Dan, sebelum itu, hai! Namaku, Ambara, tapi di masa lalu, aku dipanggil Langit. Ya, kamu tidak salah membacanya, ini adalah kehidupanku yang kedua. Kehidupanku yang pertama berlatar pada ribuan tahun sebelum tulisan ini ada.

Alkisah, di sebuah desa kecil yang tersembunyi di lembah, hiduplah seorang gadis bernama Langit. Desa itu dikelilingi hutan lebat dan sungai kecil yang berliku. Rumah-rumah dari kayu kasar berdiri rapi di pinggir jalan setapak. Anak-anak sering bermain sambil tertawa lepas, suara mereka bergaung bersama aroma tanah basah dan bunga liar yang tumbuh di sepanjang tepi sungai. Di desa itu, kehidupan masih sederhana dan penuh misteri, seolah setiap sudut menyimpan rahasia alam semesta.

Langit memiliki kemampuan istimewa: ia bisa melihat warna dari semua orang dan makhluk hidup. Ibunya bersinar merah, dan ayahnya berwarna kuning yang sangat cerah. Teman-temannya juga memiliki warna, ada yang ungu, hijau, abu-abu, dan banyak lagi. Namun, ada satu hal yang selalu membuat Langit bertanya-tanya, dia tidak bisa melihat warnanya sendiri. Ia merasa kosong, tak berwarna, meskipun setiap orang di sekitarnya memiliki aura yang terang dan penuh makna.

"Apakah ini artinya aku tak sepenting mereka? Apa aku memang tak diciptakan untuk memiliki warna?" Langit sering bertanya pada dirinya sendiri. Ia merasa terasing, meski selalu ada dalam keramaian. Suatu hari, di tepi sungai desa, ia bertemu dengan seorang tua yang duduk tenang sambil menatap aliran air. Orang tua itu tersenyum dan berkata, "Kau mencari warna, bukan?" Langit terkejut, namun ia mengangguk pelan. "Warna sejati bukan yang bisa kau lihat dengan mata. Warna sejati adalah yang kau berikan dari dalam hati, bukan yang kau terima dari luar."

Kata-kata orang tua itu terus terngiang di kepala Langit, dan suatu hari, saat ia memandang perbatasan bumi dengan ruang luas tak terbatas di atas sana, ia terdiam. Pada waktu itu, langit belum dipanggil langit; perbatasan itu hanyalah batasan tanpa warna yang menutupi dunia. Dan mau tidak mau, Langit merasa perbatasan itu mirip dengannya: tak bernama, tak berwarna, tapi luas dan penuh kemungkinan. "Mungkin perbatasan ini juga membutuhkan warna," pikir Langit.

Ia pun mulai mencari cara untuk mewarnai perbatasan itu, mencoba melukisnya dengan kuas, melempar pewarna, tapi semuanya sia-sia. Akhirnya, dalam sebuah buku tua yang berdebu, ia menemukan satu kalimat yang menarik hatinya: "Perbatasan bumi dengan ruang tak terbatas ini membutuhkan seorang yang tak memiliki warna untuk mewarnainya."

Kalimat itu membuat Langit terdiam. "Apakah perbatasan ini membutuhkanku? Kalau begitu aku akan menyerahkan diriku untuk mewarnainya," gumamnya. Dengan keyakinan baru, ia melangkah ke altar desa, malam telah larut, hanya angin yang mengiringi langkahnya. Ia menggenggam erat surat yang ditulisnya, mengangkat wajah ke atas, ke kegelapan yang menyelimuti perbatasan itu. "Aku tak punya warna untuk diriku sendiri," bisiknya, "tapi aku akan memberikan apa yang kumiliki untuk mewarnai dunia ini."

Begitu ia mengucapkan kata-kata itu, kilat menyambar langit, menerangi seluruh desa dalam sekejap. Saat petir berhenti, desa menyaksikan sesuatu yang luar biasa: perbatasan bumi itu kini dipenuhi warna biru pekat, sebuah warna yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Dalam surat yang ditinggalkan Langit, ia menulis, "Mulai saat ini, perbatasan bumi dengan ruang tak terbatas akan menjadi Langit yang berwarna biru." Dan dengan itu, Langit pergi.

Setelah ribuan tahun berlalu, aku, Ambara, telah bereinkarnasi ke kehidupan ini. Setiap kali aku melihat langit biru, aku merasa seolah melihat bayangan masa laluku sendiri, sebuah kenangan yang samar namun penuh arti. Dan mungkin, birunya langit adalah pengingat bahwa kita semua, bahkan mereka yang merasa tak punya warna, dapat mewarnai dunia.

-- END --

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun