[caption id="attachment_371252" align="aligncenter" width="340" caption="Cover Harian BOLA edisi 3 Maret 2015"][/caption]
Hari ini, 3 Maret 2015 adalah hari yang menggembirakan buat rekan-rekan BOLA. Media olahraga pertama di Indonesia itu merayakan ulang tahunnya yang ke-31. Seberapa jauh lagi BOLA akan terus bergulir?
Sejarah panjang mengiringi perjalanan BOLA. Berawal dari suplemen di Harian Kompas (1984), hingga akhirnya memisahkan diri dan bertansformasi dalam beberapa fase penting. Milestone pertama tentu saja saat BOLA terbit mandiri pada 1988. Saat itu, BOLA menyapa pembacanya rutin setiap Jum’at. Pada Maret 1997, atau 13 tahun berselang, BOLA menambah frekuensi terbitnya menjadi dua kali seminggu. Boleh dikatakan inilah masa kejayaan BOLA.
Dinamika terus terjadi hingga akhirnya BOLA terbit tiga kali seminggu (mulai Maret 2010), dan selanjutnya terbit harian (Juni 2013). Setiap perubahan pasti mendatangkan konsekuensi. Begitu juga yang dialami BOLA. (Saya pernah mengulas fenomena ini di Kompasiana pada 2 Juni 2014, berikut ini link-nya: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2014/01/02/ketika-sang-pionir-jadi-pengekor-nasib-harian-olahraga-bola-di-ujung-tanduk-624795.html).
Seperti saya katakan di penutup tulisan tersebut, saya yakin BOLA akan tetap eksis dan melewati masa-masa sulit. Sejauh ini keyakinan saya terbukti, BOLA masih bertahan hingga hari ini mereka merayakan hari jadinya yang ke-31. Tapi, jangan lupa bahwa yang berulang tahun ke-31 bukanlah Harian BOLA, melainkan grup BOLA itu sendiri. Bagi Harian BOLA, usianya belum genap dua tahun. Ibarat manusia, Harian BOLA yang berumur balita ini masih akan dihadapkan banyak tantangan.
Kalau mau ekstrim, kita bisa bertanya seberapa lama lagi Harian BOLA bisa bertahan? Setidaknya ada dua tantangan terberat Harian BOLA saat ini. Pertama, rivalitas dengan kompetitor. Saingan terberat Harian BOLA adalah Top Skor, yang sejak pertama kali terbit pada 2005 sudah dalam format harian. Tidak heran kalau mereka sudah memiliki pelanggan setia. Harga jual Harian BOLA yang ‘cuma’ Rp.1.500 boleh jadi merupakan strategi merebut pembaca.
Selain Top Skor, Harian BOLA kini juga harus head too head dengan Super Ball dari Tribunnews Group, yang notabene masih satu keluarga besar Kompas Gramedia (KG Group). Bukankah dengan menerbitkan Super Ball akan semakin menyulitkan Harian BOLA? Apa iya pasar pembaca media olahraga sedemikian besar sehingga KG Group pede menerjunkan dua produknya untuk ‘baku hantam’?
Kedua, tantangan dari media online. Perkembangan teknologi informasi sangat pesat. Pengaruhnya juga terasa di dunia pewartaan. Media daring tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Kecepatan menyajikan berita menjadi persaingan. Dalam hitungan menit pascakejadian, media online bisa langsung mewartakan kepada khalayak. Oleh karena itu, mustahil bagi media konvensional untuk mengalahkan media online dalam hal kecepatan penyajian berita. Hal ini yang membuat saya heran ketika BOLA memutuskan terbit harian. Apa yang mau dikejar? Update berita setiap hari yang ditampilkan koran jelas saja kalah dengan informasi dari detik.com, kompas.com, goal.com, dll.
Para pakar media internasional meramalkan media konvensional akan tergerus zaman. Suatu saat nanti koran, tabloid, dan mungkin majalah diyakini akan punah. Keyakinan tersebut bukan sekadar asumsi tanpa data. Di Amerika Serikat sejumlah media menghentikan penerbitannya. The Rocky Mountain News yang berusia 153 tahun, dan The Seatle Post Inteligence (146 tahun) kini sudah almarhum. Sebagian media tidak benar-benar mati tapi bertransformasi, dengan tidak lagi menerbitkan dalam bentuk cetak tapi beralih ke online.
Dave Ross, pengamat media asal Australia, menyebut bahwa surat kabar di AS mungkin akan bertahan hingga 2017. Sementara di Inggris dan Islandia sampai 2019, Kanada dan Norwegia pada 2020, sementara Australia hingga 2022. Ross melihat, keberlangsungan surat kabar juga dipengaruhi oleh ketersediaan tinta dan pohon-pohon penghasil kertas yang semakin terbatas.
Kebijakan suatu negara turut menjadi variabel yang menentukan. Prancis dan Jerman yang pemerintahnya banyak memberi dukungan untuk media konvensional mungkin bisa bertahan lebih lama lagi, diperkirakan sampai 2029 atau 2030. Puncaknya, pada 2040 nanti kertas dianggap tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam menyebarkan informasi di 52 negara.
Bagaimana dengan di Indonesia? Tampaknya media konvensional belum akan kehilangan tempat di masyarakat. Walaupun pengguna internet di Indonesia terus meningkat persentasenya, namun dengan banyaknya jumlah penduduk, masih besar pula peluang untuk menggarap pembaca konvensional.
Persoalan klasik di Indonesia justru masih rendahnya tingkat literasi. Jika dilakukan survei kecil-kecilan, saya yakin jumlah pembaca media olahraga proporsinya sangat kecil dibandingkan akumulasi penggemar olahraga yang hobi mengikuti pertandingan maupun berita di media televisi. BOLA dengan berbagai varian produknya banyak berkontribusi meningkatkan aliterasi tersebut, dan semoga bisa terus berlanjut.
Selamat Ulang Tahun, BOLA. Semoga selalu sukses menghadapi berbagai tantangan ke depan. Salam Olahraga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H