[caption caption="Anak sekolah berlari riang di sebuah taman di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan"][/caption]
Pertumbuhan penduduk kota, urbanisasi, dan tekanan ekonomi masyarakat perkotaan adalah fenomena global yang terjadi hampir di semua kota-kota besar di dunia. “Saat ini, 54 persen dari populasi dunia tinggal di wilayah perkotaan, proporsi yang diperkirakan akan meningkat menjadi sebesar 66 persen pada tahun 2050,” Divisi Populasi Departemen PBB Urusan Ekonomi dan Sosial mengatakan dalam Laporan Revisi Prospek Urbanisasi Dunia 2014.[1]
Secara fisik keruangan, fenomena tersebut berpengaruh pada pola penggunaan lahan perkotaan. Makin tingginya kebutuhan lahan di perkotaan membuat harga lahan makin tinggi. Akibatnya, proses eksploitasi lahan besar-besaran oleh kelompok/lembaga yang memiliki kekuatan modal hampir tidak menyisakan ruang publik yang memadai.
Padahal, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah secara tegas mengamanatkan penyediaan 30 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan yang terdiri dari 20 % RTH publik dan sisanya 10 % RTH privat. Bagaimana dengan Jakarta? Di tengah himpitan gedung-gedung pencakar langit dan padatnya kawasan permukiman, ruang terbuka publik semakin langka. Total RTH di Jakarta saat ini hanya di kisaran 10-11 %.[2]
Sebelum bicara terlalu jauh, mungkin perlu kita sepakati bersama apa yang dimaksud dengan ruang publik. Secara sederhana, yang dimaksud ruang publik adalah ruang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum sepanjang waktu, tanpa dipungut bayaran (Danisworo, 2004). Baskoro Tedjo (2005) mendefinisikan ruang publik sebagai ruang yang netral dan terbuka untuk siapa saja, untuk berkegiatan dan berinteraksi sosial.
Semakin langkanya ruang terbuka publik di Jakarta bertolak belakang dengan kian bertambahnya jumlah mall. Bahkan Jakarta menjadi salah satu kota besar di dunia dengan jumlah mall terbanyak yaitu mencapai 170.[3] Apakah mall bisa menjadi ruang publik alternatif? Tidak. Ruang publik membutuhkan kebersamaan terbuka (publicness) sebagai prasyarat, yang pada gilirannya membutuhkan suatu tingkat kesetaraan paling tidak dalam hal kesejahteraan ekonomi (Kusumawijaya, 2004). Sedangkan mall memiliki sifat selektif dan isolatif terhadap pengunjungnya yang didominasi kelas menengah ke atas. Hak berkota sejatinya tidak dimiliki segelintir orang toh.
Meski jumlahnya tidak banyak, Jakarta sebetulnya juga punya sejumlah taman kota yang cukup bagus. Sebut saja Taman Surapati dan Taman Menteng (Jakarta Pusat), Taman Barito (Jakarta Selatan), atau Taman Catleya (Jakarta Barat). Waduk Pluit dan Waduk Ria-Rio pun disulap menjadi kawasan terbuka hijau.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/09/29/taman-560a045c549373f205a8cd51.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Dari sejumlah taman tersebut, Taman Surapati merupakan salah satu ruang publik yang paling ‘hidup’. Berbagai komunitas rajin beraktivitas di sana, mulai dari bermain musik (Taman Suropati Chambers), olahraga (Komunitas Yoga Gembira) dan masih banyak lagi. Warga yang sekadar berolahraga pun bisa sambil menikmati suasana dan berinteraksi di sana.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/09/29/tamsur-560a01f5e422bd660557bd26.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Istilah city (kota) sangat erat kaitannya dengan citizen (warga). Keduanya berkembang secara interaktif, inkremental, dan gradual (Budiharjo, 2014). Kota adalah sebentuk karya seni warganya. “We shape our cities and the cities will shape us,” demikian kata Winston Churcill. Kota yang sumpek akan membentuk warganya untuk bersikap buas dan beringas. Kita sama-sama berharap Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia semakin sadar akan pentingnya ruang publik.