Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Posisi Wagub DKI Jakarta Kurang 'Seksi'?

12 Agustus 2011   07:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:52 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilukada Provinsi DKI Jakarta baru tahun depan akan berlangsung. Tapi sejumlah tokoh sudah melakukan manuver politik. Mereka mengintip peluang untuk bisa menjadi orang nomor satu di Ibukota Negara. Fauzi Bowo sebagai Gubernur petahana juga sepertinya masih ingin melanjutkan kepemimpinannya satu periode lagi.

Sejauh ini, sejumlah tokoh yang sudah menunjukkan sinyalemen akan maju di Pilkada tahun depan adalah Nachrowi Ramli, Priya Ramadhani, Tantowi Yahya dan Djan Faridz. Faisal Basri dan Firman ‘Dibo Piss’ Abadi dikabarkan juga akan maju dalam persaingan melalui jalur independen. Mengenai kans mereka, sudah pernah saya sampaikan dalam tulisan saya sebelumnya ‘Rano Karno ke Banten, Foke Diuntungkan’. Kali ini saya justru ingin menyoroti posisi Wakil Gubernur (Wagub).

Dari sejumlah nama yang sudah saya sebutkan, tidak satupun mereka yang menyatakan siap menjadi Wagub. Apakah posisi Wagub sama sekali tidak ‘seksi’? Sebetulnya bukan hanya posisi Wagub DKI Jakarta, bahkan jabatan Wakil Presiden sekalipun acap dianggap sebagai pelengkap belaka. Kurang jelasnya pembagian peran dan wewenang adalah salah satu penyebabnya.

Tugas Wakil Gubernur sesungguhnya sudah diatur dengan gamblang dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tapi dalam prakteknya, sepak terjang Wagub seringkali jadi terbatas karena hanya menjadi orang nomor dua.

Situasinya bisa berbeda jika sosok mandiri, tegas dan independen yang menjadi wakil. Jusuf Kalla (mantan Wapres 2004-2009) dan Prijanto (Wagub Jakarta 2007-2012) adalah contohnya. Mereka tetap bisa memainkan peran maksimal walaupun hanya menempati posisi wakil. Jabatan wakil bukan berarti mereka menjadi ‘pemain cadangan’.

Kembali ke konteks Pemilukada Jakarta, menarik untuk dinantikan siapa kelak yang akan dicalonkan menjadi wagub. Mengacu pada pengalaman 2007, sepertinya calon wagub mendatang juga baru akan muncul saat pemilukada sudah kian mendekat, dan sang kandidat bukanlah orang yang sudah punya nama besar alias kurang diperhitungkan. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Prijanto dan Dani Anwar, harus diakui bahwa mereka berdua sebelumnya kurang populer. Saya jadi kembali bertanya, sebegitu tidak pentingnyakah posisi wagub?

Mumpung sedang membicarakan ‘pembantu’ Gubernur, saya juga tertarik menyoroti posisi Deputi Gubernur (diatur dalam UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia). Hingga saat ini saya masih tidak mengerti apa bedanya wakil dengan deputi. Dari segi pengisian jabatan tentu saya paham. Wagub adalah jabatan politis yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilukada. Sedangkan deputi gubernur adalah jabatan struktural dalam rantai birokrasi Pemprov DKI Jakarta.

Yang saya pertanyakan adalah dari segi terminologi dan juga dalam aspek pembagian tugas atau wewenang. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, deputi adalah orang yg diangkat sebagai wakil atau pengganti dengan kuasa jabatan untuk bertindak. Arti lainnya adalah, orang kedua dalam organisasi yang mengambil alih pimpinan jika atasannya tidak di tempat. Lalu apa bedanya deputi dengan wakil?

Sementara itu, dalam Pasal 1 (Ketentuan Umum) UU Nomor 29 Tahun 2007, Deputi Gubernur adalah pejabat yang membantu Gubernur dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah yang karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2008 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Deputi Gubernur Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, disebutkan bahwa Deputi Gubernur adalah pejabat struktural eselon I b (baca: sejajar dengan Sekretaris Daerah). Dalam melaksanakan tugasnya, Deputi dibantu oleh masing-masing dua Asisten Deputi (eselon II b).

Tidak heran jika muncul kritik bahwa keberadaan Deputi dan Asisten hanya sebuah pemborosan, karena sekadar menambah banyak jumlah pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta yang konsekuensinya adalah menambah pengeluaran APBD untuk membiayai mereka.

Gubernur Jakarta dibantu empat orang Deputi, masing-masing membidangi Tata Ruang dan Lingkungan Hidup; Pengendalian Kependudukan dan Permukiman; Industri, Perdagangan dan Transportasi; dan Budaya dan Pariwisata. Lalu jika semua bidang sudah terbagi habis oleh para Deputi ini, tugas apa lagi yang perlu dibantu oleh Wagub?

Memang dalam prakteknya para deputi juga tidak terlalu signifikan memainkan peran, namun tetap saja definisi operasional dari jabatan mereka malah lebih jelas daripada wagub sendiri. Oleh karena itu, menurut hemat saya, posisi yang lebih tepat adalah Deputi Wakil Gubernur bukan Deputi Gubernur. Jadi, hanya ada satu orang Wakil Gubernur yang dibantu oleh empat orang Deputi.

Well, apapun yang terjadi, wagub seharusnya mendapatkan porsi tugas dan peran yang proporsional. Sayangnya, dalam persiapan pemilukada biasanya calon gubernur yang banyak bermunculan, dan baru kemudian meminang calon wakil gubernur. Tahapan seperti itu menimbulkan kesan bahwa calon wagub hanyalah ‘diajak’ alias melengkapi calon gubernur yang sudah sejak awal menyiapkan diri dalam pemilukada.

Ayo, siapa mau jadi Wagub Jakarta 2012-2017?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun