Sabtu (12/10) kemarin, saya terkejut saat membaca berita di laman berita daring, seorang rekan sejawat ditangkap karena kesandung kasus korupsi. Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menahan Lurah Ceger dan bendahara sejak hari Jumat (11/10). Pasal korupsi disangkakan kepada keduanya, setelah jaksa menemukan adanya indikasi penggunaan uang negara sebesar Rp.450 juta.
Sontak saja berita ini cepat menyebar. Segala sesuatu terkait Jakarta memang menjadi sangat 'seksi' bagi media, apalagi jika sudah dihubung-hubungkan dengan gubernur kami. Kebijakan seleksi terbuka camat dan lurah yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta pun diragukan keberhasilannya.
Kami para lurah ikutan gelisah. Tapi, saya tak punya banyak waktu untuk larut dalam kegelisahan itu. Banyak tugas yang tetap harus saya lakukan. Anda nggak usah bingung, camat dan lurah sebagai pamong memang tidak mengenal hari libur. Waktu kerja kami 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Sabtu itu saya diundang menghadiri resepsi pernikahan putri salah satu ketua RW di wilayah kami. Undangan seperti ini seringkali datang ke kantor saya. Apalagi di saat bulan Dzulhijjah seperti sekarang, siap-siap deh merogoh kocek lebih dalam untuk 'angpau' ke pengantin. Acara seperti ini jelas tidak ada kaitannya dengan kedinasan, tapi demi menjaga hubungan baik dengan warga (khususnya tokoh masyarakat), mau tak mau saya harus datang. Lalu, dari mana uangnya untuk memenuhi kebutuhan ini? Yah, tebak sendiri aja deh.
Pengeluaran tak terduga (istilah kerennya non budgeter) bagi camat dan lurah masih banyak lagi. Sebenarnya saya malas untuk ceritain ini semua. Lha wong saya sendiri terkaget-kaget waktu baru dilantik sebagai lurah. Tapi supaya teman-teman pembaca bisa lebih memahami, nggak apa-apa saya share sebagian.
Di kalangan pejabat pamong, ada satu istilah yang cukup beken : 'proyek bikin patung'. Apaan tuh? Sebetulnya ini hanyalah anekdot satir, untuk menggambarkan betapa kami selalu dimintai uang patungan untuk berbagai kegiatan yang tak ada habisnya.
Setiap ada kegiatan baik di tingkat kecamatan, kota atau provinsi, kami harus patungan untuk memenuhi kebutuhan biayanya. Mulai dari penilaian adipura, berbagai perlombaan, perayaan, sampai acara PKK menjadi beban lurah. Itu baru yang resmi, belum lagi kalau ada permintaan untuk kebutuhan personal para atasan kami. hufff!!
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Pak Gubernur, sesungguhnya ada juga kegiatan beliau yang 'memaksa' kami harus menyediakan dana di luar anggaran Kelurahan. Contoh paling mutakhir adalah kegiatan Jakarta Night Religious Festival, Senin (14/10) kemarin. Dalam acara takbiran gaya baru itu, setiap kelurahan diminta untuk mengirimkan perwakilan penabuh bedug sebanyak 4 orang. Tentu saja biaya pembuatan/penghias bedug serta operasional anak-anak penabuh bedug menjadi tanggunan kami. Kelihatannya sepele, tapi acara seperti itu saja bisa menguras uang jutaan rupiah. Lagi-lagi ini tak ada di anggaran kelurahan.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai justifikasi atas penyalahgunaan anggaran oleh oknum lurah. Apapun alasannya, anggaran harus digunakan sebagaimana mestinya. Namun, pak gubernur dan pak wagub harus tahu kondisi riil seperti ini. Siapapun camat dan lurah, dengan cara apapun mereka diseleksi, tidak akan bisa terhindarkan dari jerat ini.
Sekadar sumbang saran, perubahan kultur dan sistem ada baiknya dimulai dari atas. Sehingga tidak menjadi beban di bawah. Jangan sampai nanti LP Cipinang akan penuh oleh 44 camat dan 267 lurah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H