Pasca tumbangnya rezim orde baru, sontak saja bangsa kita mengalami euforia dengan bermacam gagasan baru. Demi menyukseskan apa yang kita sebut sebagai reformasi, maka diujicobakanlah konsep-konsep yang lebih dulu sukses di negara-negara maju seperti desentralisasi, demokratisasi, good governance dan pemberdayaan masyarakat. Indonesia juga tidak mau ketinggalan mengejar Millenium Development Goals.
Selayaknnya anak kecil yang sedang belajar berjalan, Indonesia juga tertatih-tatih mengikuti berbagai wacana baru yang sebelumnya asing bagi kita. Lihat saja bagaimana kita mengejawantahkan demokrasi, masih sebatas prosedural dan abai terhadap hal-hal substansial.
Demokrasi semata dimaknai sebagai sebuah metode kelembagaan, maka proses-proses demokrasi diukur dalam parameter “bagaimana suara didapatkan”. Artinya, demokrasi adalah proses bagaimana untuk mendapatkan legitimasi publik, dalam hal ini, suara rakyat dalam Pemilu. Jangan heran jika pemilu, pilpres dan pilkada dianggap sebagai pencapaian brilian dari upaya demokratisasi.
Dalam logika demokrasi yang digunakan Indonesia, yang disebut dengan “demokrasi” terbatas pada persoalan pemilu, partai politik, parlemen, dan sekitarnya. Diskursus mengenai demokrasi di ruang-ruang informal belum menjadi domain dari “demokrasi”. Proses demokrasi cenderung sangat elitis dan bertumpu pada aktor-aktor utama di eksekutif serta legislatif.
Perlahan tapi pasti, partisipasi mulai ditumbuhkembangkan di negeri ini, salah satu di antaranya melalui musrenbang. Tujuannya adalah mengubah paradigma lama dalam perencanaan pembangunan/kebijakan publik yang melulu top down menjadi bottom up.
[caption id="attachment_164350" align="aligncenter" width="300" caption="Musrenbang tingkat kota di Jakarta Timur"][/caption] Akan tetapi, kekecewaan publik juga mengemuka di beberapa daerah. Bahkan, ada yang memelesetkan bottom up menjadi mboten up (alias tidak naik-naik). Musrenbang sejatinya adalah wahana untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat melalui proses yang mengusung semangat participatory planning and budgeting. Nyatanya, kerap kali apa yang diusulkan oleh masyarakat dalam arena musrenbang tidak pernah terealisasi dalam program yang nyata.
Walhasil, musrenbang tak ubahnya sebuah ritual rutin tahunan demi menggugurkan kewajiban Pemerintah Daerah. Lebih menyedihkan lagi jika acaranya justru menekankan pada aspek seremonial belaka, ditandai adanya sambutan dari para pejabat publik. Padahal bukan itu esensi dari musrenbang.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, praktek demokrasi di Indonesia masih sebatas aspek prosedural semata. Lalu bagaimana seharusnya sisi lain demokrasi ditumbuhkembangkan?
Adalah Jurgen Habermas, seorang ilmuwan sosial kritis Madzhab Frankfurt generasi kedua, menawarkan tentang demokrasi deliberatif. Habermas mempunyai keyakinan bahwa melalui tindakan komunikatif masyarakat modern dengan segala kompleksitasnya dapat diintegrasikan. Tindakan komunikatif adalah tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus.
Janette Hartz-Karp (2005) mengidentifikasi demokrasi deliberatif butuh setidaknya tiga hal berikut ini: (1) pengaruh: kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dan pembuatan keputusan; (2) keterbukaan (inclusion): perwakilan penduduk, keterbukaan pandangan dan nilai-nilai yang beragam, serta kesempatan yang sama untuk berpartipasi; (3) deliberasi: komunikasi terbuka, akses informasi, ruang untuk memahami dan membingkai ulang berbagai isu, saling menghormati, dan gerakan menuju konsensus.
Keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Menurut Reiner Forst, “Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif.”[1] Dengan demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas.[2]
Semangat dari pelaksanaan musrenbang sejatinya sejalan dengan demokrasi deliberatif. Secara sederhana, demokrasi deliberatif ditandai dengan adanya ruang untuk curhat, usul, atau kritik bagi seluruh elemen masyarakat, tanpa pandang bulu, agar segala sisi kemanusiaan dapat diserap sistem politik-ekonomi atau ekonomi-politik.
Jika dilihat dari relasi antara pemerintah dan masyarakat/rakyat, partisipasi dapat dibagi menjadi tiga model: partisipasi yang diundang (invited participation), partisipasi rakyat banyak dari bawah (popular participation) atau dapat disebut gerakan sosial dan permusyawaratan bersama (deliberative participation) antara pemerintah dan masyarakat.
Saat ini, musrenbang di banyak daerah (termasuk Jakarta) hanya dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari invited participation yang dijalankan oleh pemerintah daerah atau biasa disebut executive led articulation. Tidak salah jika ada yang mengatakan musrenbang merupakan merupakan mekanisme standar artikulasi, agregasi dan partisipasi dalam perencanaan pembangunan daerah yang ditempuh pemerintah.
Idealnya, suatu saat nanti dapat terbentuk sebuah bentuk baru dari permusyawaratan antara pemerintah dengan masyarakat yang benar-benar mencerminkan deliberative participation. Selain tetap mempertahankan invited articipation, perlu dipikirkan bagaimana bisa meningkatkan popular participation.
Partisipasi seperti ini hanya bisa terwujud pada warga masyarakat yang terdidik dan terorganisir sehingga mereka mempunyai kesadaran kritis dan kompetensi terhadap masalah-masalah publik. Ia tumbuh ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi masyarakat, berbagai komunitas, ruang-ruang publik yang semarak, jaringan sosial yang padat, media yang bebas dan kritis, dan seterusnya. Berbagai elemen masyarakat itu mengorganisir kepentingan mereka, melahap berbagai informasi publik yang terkait dengan kepentingan mereka, mempunyai peta masalah dan ide-ide alternatif untuk kebijakan, aktif mencermati dan merespons kebijakan publik, aktif melakukan watch dog terhadap lembaga-lembaga publik, dan lain-lain.
Pada saat popular participation sudah tumbuh subur, maka musrenbang kelak bertransfromasi dari invited participation menjadi deliberative participation. Demokrasi deliberatif adalah sebuah asosiasi yang memiliki banyak urusan yang dikelola dengan deliberasi publik di antara para anggotanya, sekaligus sebuah asosiasi yang memiliki sejumlah anggota yang saling berbagi komitmen untuk menyelesaikan masalah dan menentukan pilihan kolektif melalui dialog publik (Cohen, 1989).
Habermas dalam karya fenomenalnya, The Structural Transformation of the Public Sphere, telah meletakkan dasar-dasar demokrasi deliberatif. Setidaknya ada tiga argumen penting Habermas yang menyokong teorisasi yang dia bangun berdasarkan narasi sosiologi-sejarah tentang kemunculan, perubahan, dan disintegrasi ruang publik.
Pertama, demokrasi memerlukan arena ekstra-politik dalam masyarakat politik yang di dalamnya ia mengembangkan dan mensosialisasikan sebagian besar orang, khususnya kelompok yang kurang memperoleh perhatian. Kedua, sebuah ruang publik yang kritis diperlukan untuk menjembatani kesenjangan yang tumbuh antara masyarakat sipil dan basis sentralitasnya dalam perdebatan demokrasi deliberatif. Ketiga, demokrasi semakin rusak dan mengalami pembusukan ketika ia dilembagakan secara formal.
Apa yang paling mendasar dalam demokrasi deliberatif adalah sebuah proses pelibatan publik dalam membuat keputusan/kebijakan. Baik pengambil keputusan maupun unsur warga masyarakat melakukan dialog secara bersama, terbuka, dan kritis mengidentifikasi persoalan, mencari solusi pemecahan masalah, dan mengambil kesepakatan bersama, yang semua itu dijadikan sebagai basis pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
Banyak pihak yang pesimis atau malah skeptis terhadap eksistensi musrenbang saat ini. Realitanya, musrenbang lebih banyak menghadirkan kekecewaan publik. Tapi, terlalu dini jika kita nyatakan bahwa exercise yang sedang kita lakukan sudah gagal dan harus ditinggalkan. Partisipasi publik tetap harus didorong, salah satunya melalui musrenbang.
Partisipasi bukan sekadar kehadiran sekelompok warga atau masyarakat dalam proses musrenbang saja. Dalam musrenbang warga didorong untuk terlibat mengambil keputusan. Musrenbang bukan hanya alat tetapi juga sebuah ruang yang menjamin warga dijamin memiliki hak dan kebebasan berpendapat serta terlibat dalam setiap pengambilan keputusan. Lebih dari itu, musrenbang dapat sangat bermanfaat untuk membangun mutual trust, kebersamaan, kemitraan, dan penyelesaian masalah yang tepat dan efektif.
Pertanyaannya, mengapa sudah cukup lama kita melakukan musrenbang tapi demokrasi deliberatif murni tak kunjung terbentuk? Civil society yang kuat juga hingga kini masih dalam tataran wacana. Kelambatan itu boleh jadi karena di dalam upaya yang sekarang kita lakukan sedang berlangsung proses penyadaran dan internalisasi hak-hak kerwargaan di dalam diri peserta musrenbang.
SAF
[1] Reiner Forst, Kontexte der Gerechtigkeit, Frankfrurt a.M., 1994, Hlm. 192.
[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 127.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H