Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanti ‘Plan B’ Partai Demokrat

6 Maret 2014   20:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:10 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Terlepas dari bagaimana jalan yang ditempuh, kemenangan Partai Demokrat di pesta demokrasi 2009 (red: keikursertaan kedua PD pada pemilu) adalah sebuah kejutan.  Bagaimana nasib PD di pemilu 2014? Mampukah mengulangi kegemilangan lima tahun lampau?

[caption id="attachment_315431" align="aligncenter" width="470" caption="SBY "][/caption]

Sejumlah pengamat memprediksi PD akan mengalami penurunan perolehan suara secara signifikan. Reputasi partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyoni ini semakin merosot dalam beberapa tahun belakangan. Berbagai kasus korupsi yang menjerat kader-kader Demokrat menjadi faktor penentu.

Titik nadir PD adalah saat Ketua Umum mereka, Anas Urbaningrum dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Hambalang. Walaupun tidak langsung ditahan oleh KPK, gejolak langsung terjadi di internal partai. Setelah didesak banyak pihak, Anas akhirnya dilengserkan. SBY pun rela ‘turun gunung’ memimpin langsung misi penyelamatan partai.

Sebuah partai memang bertujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Bagi PD, konteksnya tentu saja melanggengkan kekuasaan. Caranya adalah dengan memenangkan kembali pileg dan pilpres. Sungguh merupakan tantangan yang tidak mudah. Memenangkan yang pertama (baca: pileg) saja sulit, apalagi mewujudkan target kedua.

Dua pemilu tersebut sejatinya sangat erat kaitannya. PD tak bisa mengusung jagoan di pilpres jika perolehan suara di pileg tidak memenuhi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Sejauh ini nampaknya PD optimistis bisa menembus PT. Entah apakah mereka memang sudah punya ‘strategi’ khusus, atau malah salah membuat perhitungan.

Kepercayaan diri PD terlihat saat mereka menjalankan Konvensi Demokrat. Mekanisme konvensi dipilih oleh pengurus partai untuk menentukan siapa calon presiden yang akan mereka usung. Animo kader maupun non kader ternyata cukup tinggi menyambut konvensi. Setidaknya bisa dilihat dari jumlah peserta konvensi yang mencapai 11 orang.

[caption id="attachment_315433" align="aligncenter" width="300" caption="11 peserta konvensi"]

1394087147967439966
1394087147967439966
[/caption]

Nama-nama beken dari berbagai latar belakang turut meramaikan konvensi. Mulai dari gubernur, menteri, mantan duta besar, bahkan sampai praktisi pendidikan (rektor) tak mau ketinggalan. Tahapan konvensi antara lain adalah debat publik di sejumlah kota. Selain itu, elektabilitas dari semua kandidat juga terus dipantau melalui survei yang dilakukan pihak eksternal.

Selain demi menyiapkan capres yang akan diusung, konvensi juga dimaksudkan untuk mengerek popularitas PD. Dengan menyelenggarakan mekanisme pemilihan yang demokratis, PD berharap mendapat atensi positif dari masyarakat. Ujung-ujungnya ya tentu saja dukungan kongkrit yaitu dicoblos pada 9 April.

Sayangnya, harapan tinggal harapan. Konvensi tidak cukup berhasil mengembalikan reputasi partai ini yang kadung tercemar. Ekspos di media pun tenggelam oleh tokoh fenomenal saat ini, Joko Widodo. Kekhawatiran terbesar elite PD saat ini adalah perolehan suara mereka tidak bisa menembus PT. Jika itu yang terjadi, maka konvensi akan menjadi kesia-siaan belaka.

Sedari awal, penulis melihat beberapa kelemahan mendasar konvensi PD. Bahkan, konvensi yang pernah dilakukan Partai Golkar satu dekade lalu jauh lebih baik. Secara konsep, konvensi PD memang lebih menyerupai acara serupa di Amerika Serikat.

Perbedaan mendasarnya terletak pada sasaran jajak pendapat. PD melakukan konvensi yang sama persis dengan di AS, yaitu dengan menguji tingkat keterpilihan kandidat di grassroot. Sedangkan pada konvensi Golkar, mekanisme pemilihan di internal partai yang menentukan kandidat jagoan.

Well, boleh jadi hasil pilihan pengurus partai tidak merepresentasikan suara rakyat secara keseluruhan. Meski begitu, pengurus partai dari tingkat paling bawah sampai paling atas akan satu suara dan satu aksi dalam memenangkan kandidat yang sudah mereka tetapkan.

Sedangkan dalam konvensi PD, keterlibatan pengurus di setiap tingkatan sangat minim. Sehingga bisa saja mereka nanti tidak merasa penting untuk memenangkan kandidat pemenang konvensi, apalagi jika ternyata capresnya bukan berasal dari kader Demokrat, sebut saja Anies Baswedan.

Selain itu, perilaku pemilih di Indonesia berbeda sekali dengan di AS. Identifikasi kepartaian di AS sangat kuat, jadi mudah saja untuk menyortir sasaran jajak pendapat. Sedangkan di Indonesia justru swing voter yang dominan. Sangat mungkin sasaran survei konvensi PD sekarang malah bukan pemilih PD. Jika sudah begitu, tentu hasil survei tidak bisa dijadikan acuan untuk pemilu sebenarnya.

Melihat keadaan seperti ini, PD seharusnya menyiapkan rencana cadangan alias Plan B. Tentu tidak bijak jika ujug-ujug langsung menyetop tahapan konvensi. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mekanisme ini harus tetap dilanjutkan. Hanya saja, PD sudah harus siap dengan kemungkinan terburuk tidak bisa mengusung jagoannya sendiri.

Apabila ngotot tetap ingin mengincar kursi RI-1, maka PD kiranya mulai menjajaki koalisi yang akan dibangun demi mencapai syarat minimal 20% suara nasional. Atau, jika cukup puas dengan mengincar posisi wapres, pilihannya adalah merapat dengan partai yang memiliki kans meraih suara terbanyak. Nah, sudikah para peserta konvensi saat ini nantinya hanya dicalonkan sebagai orang nomor dua?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun