Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menakar Peluang Kandidat di Pilkada Jakarta (Bagian 1)

26 September 2016   08:26 Diperbarui: 26 September 2016   08:32 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: akun twitter @basuk_btp

Tiga pasang calon gubernur dan calon wakil gubernur sudah resmi mendaftar ke KPUD DKI Jakarta. Pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat akan ditantang oleh duet Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni serta Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno.

Jauh sebelum ketiga pasang nama ini terang benderang, dalam tulisan di sini Bang Adam sudah memprediksi bahwa tiga tokoh besar nasional akan memainkan peran sentral dalam pengambilan keputusan menjelang pilkada Jakarta. Mereka adalah Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto.

Adalah Megawati yang mengambil langkah paling awal. Ketua Umum PDI Perjuangan ini memutuskan partainya akan mengusung Basuki berduet dengan Djarot. Keputusan ini agak di luar perkiraan karena sebelumnya di internal PDIP menunjukkan sinyalemen penolakan terhadap Ahok. Mereka juga pernah hadir dalam pertemuan awal koalisi kekeluargaan.

Koalisi itu sendiri akhirnya bubar karena enam partai tersisa tidak menemukan kata sepakat. Gerindra yang sejak awal ingin mencalonkan Sandiaga Uno terlihat mesra dengan PKS, sedangkan Partai Demokrat, PPP, PAN dan PKB memilih jalannya sendiri. Ternyata empat partai yang disebut belakangan ini justru mengambil keputusan lebih cepat. Di bawah komando Ketua Umum Partai Demokrat, SBY, poros Cikeas memilih Agus Harimurti Yudhoyono yang tidak lain putra sulung Pak Beye. Sylviana Murni, birokrat senior dari Pemprov DKI Jakarta yang menjadi tandemnya.

Tinggallah Gerindra dan PKS galau berdua. Bergabung dengan poros Cikeas sepertinya tidak menjadi opsi bagi mereka. Entah karena gengsi atau merasa kans duet Agus-Sylvi tidak cukup kuat untuk menjungkalkan Basuki-Djarot. Dalam satu-dua pekan terakhir, nama Anies Baswedan santer disebut memiliki elektabilitas tinggi untuk menantang Ahok. Terutama setelah Pol-Tracking merilis hasil survei terbaru mereka, yang kemudian diikuti laporan dari majalah Tempo. Akhirnya, Gerindra memutuskan memberikan tiket terakhir untuk Anies. Sandi pun legawa menjadi kandidat orang nomor dua.

Tiga pasang ini tentu memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Apakah Basuki-Djarot akan dengan mudah mempertahankan kursi mereka saat ini? Belum tentu juga. Bagi saya, hitung-hitungan elektoral hampir serupa dengan prediksi pertandingan di sepak bola.

Selama bola itu bundar, tiada jaminan sebuah tim akan menang atas tim lainnya. Begitu juga dengan pemilihan umum. Apalagi perilaku pemilih di Indonesia sangat unik, terbukti dengan fenomena swing voter maupun split voter yang tinggi jika melihat studi-studi terdahulu.

Pilkada sebagai Penghakiman Publik untuk Petahana

Dalam analisis kali ini, saya mau memulainya dengan melihat peluang petahana untuk tetap bertahan sebagai DKI 1 dan DKI 2. Status petahana sendiri ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, sebagai incumbent memang bisa mengklaim berbagai program yang sudah dijalankan sebagai keberhasilannya. Tapi, di sisi lain pilkada merupakan ajang evaluasi publik terhadap petahana. Jika warga tidak puas, apalagi misalnya ada janji yang diingkari, jangan harap mereka sudi memilih orang itu lagi. Artinya, Basuki tidak serta merta di atas angin karena statusnya sebagai petahana.

Empat tahun lalu, Basuki mendampingi Jokowi menantang petahana. Selain faktor internal, pasangan ini diuntungkan dengan kekecewaan publik terhadap kinerja petahana saat itu, Fauzi Bowo. Situasinya berbeda dengan saat ini. Berdasarkan survei Poltracking, 11,03% responden menyatakan sangat puas dan 57,69% responden cukup puas terhadap kinerja Basuki. Hanya 21,03% yang kurang puas dan 6,67% sangat tidak puas. Begitu juga dengan penilaian kinerja Djarot.

Sumber: Poltracking (2016)
Sumber: Poltracking (2016)
Timses pasangan ini sangat optimis Basuki-Djarot akan menang pilkada satu putaran. Selain karena alasan tingkat kepuasan publik terhadap petahana, pesaing yang ada saat ini dianggap bukanlah lawan terberat.  Sosok yang dianggap paling kuat untuk menaklukkan Basuki adalah Tri Rismaharini dan Ridwan Kamil. Tidak majunya Wali Kota Surabaya dan Bandung itu dianggap sebuah keuntungan oleh timses Basuki-Djarot.

Basis massa utama Basuki adalah pemilih pasangan Jokowi-Basuki di pilkada 2012 lalu, khususnya dari kelas menengah perkotaan. So, artinya di atas kertas pasangan Basuki-Djarot akan menang mudah? Tidak juga. Sebagian pemilih Jokowi-Basuki di 2012 juga berasal dari kelompok marjinal. Jokowi saat itu berani menandatangani kontrak politik di beberapa lokasi yang menyatakan keberpihakannya terhadap rakyat miskin kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun